Sabtu, 25 April 2015

Kehamilan dan Kelahiran My Boys

Melihat anak-anak saat ini, rasanya waktu berlalu begitu cepat. Sepertinya baru kemarin mereka lahir, kok sudah jadi sebesar ini :)
Inilah kenangan kehamilan dan kelahiran dari 3 orang permata kami, yang masih bisa saya kumpulkan dari memori :

PIO 
Setelah menikah, saya dan suami sepakat untuk menunda mempunyai anak karena kita ingin membereskan rumah terlebih dahulu agar lebih layak untuk ditinggali, terutama kalau ada bayi. Saya hamil di awal tahun 2008, dan di kehamilan pertama ini saya mengalami muntah sampai dengan melahirkan alias full 9 bulan, dan tidak hanya morning sickness tetapi full day sicness - muntah bisa datang kapan saja tidak ada perbedaan apakah pagi, siang, sore, ataupun malam. Saya hanya bilang muntah karena mual jarang terasa, dia datang sesaat sebelum muntah. Berita baiknya saya masih mempunyai celah untuk mengurangi frekuensi muntahnya yaitu dengan menghindari makanan tertentu.

Selama saya hamil Pio saya benar-benar tidak bisa mengkonsumsi segala macam produk pangan olahan pabrik, kue,syrup, ataupun makanan yang mengandung penyedap. Saat makannya sih no problemo, baik-baik saja, masuk ke perut dengan lancar..tetapi tidak berselang lama pasti akan akan keluar dan tidak bisa berhenti sampai benar-benar habis semua isi perut.Tidak jarang saya muntah sampai keluar bercak darah. Sehingga, kalau saya tidak ingin sering-sering lemas nganggur akibat muntah hebat, saya harus benar-benar selektif menyortir bahan yang masuk ke mulut. Konsekuensinya, paling aman adalah memakan makanan home made yang saya tahu persis bahan dan proses pembuatannya. Saya juga tidak bisa makan di acara, seminar, ataupun undangan pernikahan. Ceritanya selalu sama jika saya langgar : lemas akibat muntah hebat, tenggorokan nyeri untuk menelan karena iritasi di tenggorokan. Selain muntah, saya juga sering mengalami kontraksi saat kehamilan trimester pertama, sehingga demi menghindarkan sesuatu yang tidak diharapkan, saya harus mengkonsumsi "penguat kandungan" sampai awal bulan ke 4,saat placenta diperkirakan sudah kuat. Selebihnya kehamilan pio berjalan aman-aman saja.

 Saya bersyukur dokter SpOG pertama saya adalah orang yang melihat pasiennya tidak terbatas hanya pada seputar urusan reproduksi wanita. Ada banyak detil kecil yang diperhatikan, dan sangat bermanfaat bahkan sampai kehamilan kedua. Contoh, beliau sangat memperhatikan perawatan kulit perut saya. Sejak kunjungan pertama saya sudah diajarin bagaimana caranya merawat kulit perut supaya tidak terjadi striae akibat kehamilan. Setiap hari saya harus melembabkan kulit perut dengan mengoleskan minyak zaitun, atau jika tidak tahan baunya bisa diganti dengan baby oil, atau bahkan hanya dengan pelembab hand body biasa. Pokoknya jangan sampai kulit terasa kering. Entah bagaimana, beliau selalu tahu kalau saya lalai, dan selalu berkata : "Hayo, kulitnya ga bener nih ngrawatnya. Yang telaten lho ya, nanti nyesel kalau nggak telaten ngrawat dari awal gini". Kulit perut akan melar sesuai berjalannya umur kehamilan, dan untuk menyiapkan kulit mengalami peregangan harus dijaga selalu lembab sehingga tidak mengalami "pecah" sehingga menghasilkan striae / strechmark akibat kehamilan. Sudah terlambat jika kita baru merawat kulit setelah perut membuncit besar, apalagi kalau sudah terasa gatal. Rasa gatal di kulit perut disebabkan peregangan dari kulit yang "kering".

Setelah lewat masa bahaya terkait kontraksi yang saya alami di trimester pertama, saya ditanya apakah masih ingin melakukan hubungan sexual dengan suami, kalau iya beliau akan mengajarkan cara dan posisi yang aman, batas dan tanda yang harus kami amati untuk menjamin keamanan kehamilan, tentu edukasi akan diberikan berdua dengan suami. Dokter SpOG juga rutin menanyakan olah raga apa yang saya lakukan, sehingga sampai H-1 dari persalinan saya dan suami masih jalan kaki ngelayap ke mana-mana. Teknik massage dan perawatan payudara tidak luput dari perhatian beliau. Bahkan pada bulan terakhir, saya diajarin dan dilatih teknik olah nafas dan cara mengejan yang benar. Pada kontrol terkhir (sebelum waktu melahirkan yang ternyata maju 2 minggu dari perkiraan partus awal) saya pulang dengan membawa PR melakukan latihan-latihan tersebut di rumah. Sangat memotivasi saya untuk melahirkan secara normal, sejalan dengan saya sendiri yang juga tidak berminat untuk sectio (SC). Saya bukan orang yang anti sectio, tetapi saya pribadi tidak mau di-sectio jika memang tidak ada indikasi medis yang jelas untuk itu.

Tanda awal persalinan sudah saya rasakan pagi hari ketika saya masih bekerja. Hanya terasa kemeng di boyok dan tidak enak seperti orang dilepen. Saya abaikan, bahkan pulang kerja saya masih sempat minta diajak jalan-jalan, puter-puter dulu baru pulang padahal sudah terasa sakit (hehehe..kata suami inilah yang menyebabkan Pio doyan banget kia-kia, lha wong mamanya mau melahirkan saja masih minta jalan-jalan). Semakin sore semakin terasa sakit, kontak dengan SpOG masih diijinkan di rumah asal tetap memperhatikan gerakan bayi, ke rumah sakitnya nanti saja kalau sudah keluar darah lendir. Jam 10 malam, darah keluar, berangkat ke rumah sakit dan dilihat masih bukaan 1. Niat hati sih pingin pulang lagi, tapi sama dokternya disuruh observasi di RS saja. Ditunggu sampai besok pagi masih tetap bukaan 1. USG ulang posisi bayi ternyata oblique, tidak pas betul dengan jalan lahir. Ini mungkin yang menyebabkan macetnya proses pembukaan. Ditunggu lagi sampai sore tidak berubah, tetap bukaan 1 padahal mulasnya sudah semakin menjadi. Akhirnya saya dipasang infus, rehidrasi, siapa tahu menolong. Tetap saja tidak maju-maju, dan posisi bayi juga tidak mau berubah. Opsi SC diajukan kepada saya dan suami dengan alternatif lain coba drip. Dikatakan coba karena dokter SpOG juga tidak berani menjamin bisa bermanfaat berhubung dengan posisi bayi; dan karena letak bayi yang tidak bagus ini, dosis drip tidak berani maksimal, hanya berani memberikan dosis kecil. Hasil berunding, kita putuskan coba drip. Kalau gagal ya apa boleh buat SC. Dosis pertama drip tidak memberikan kemajuan pembukaan, hanya menyebabkan mulas dan sakit yang semakin menjadi. Dosis naik, sakitnya juga semakin hebat, pembukaan nambah sedikit. Naik lagi dosisnya dan sudah dosis mentok yang berani diberikan, sakitnya sudah tidak karuan dan seakan tidak berjeda. Saya sampai tidak punya kesempatan istrirahat untuk mengatur nafas, seperti tidak ada jeda kontraksi. Saya tidak tahan lagi. Atas permintaan saya dan berdasarkan konsultasi dengan dokter SpOG, drip dilepas. Jika pembukaan yang sudah terjadi bisa berlanjut, saya masih punya kesempatan melahirkan normal. Jika pembukaan berhenti, mau tidak mau harus naik SC. Untunglah pembukaan masih tetap berjalan dan Pio dapat lahir secara normal.  

DEO
Untuk kehamilan kedua ini saya hanya mengalami mual dan muntah yang lumayan mengganggu sampai usia kehamilan 4 bulan, selebihnya tidak terlalu menonjol. Mual kali ini lebih terasa daripada saat hamil Pio,  bahkan bau-bauan pun bisa membuat saya muntah. Saya orang yang cukup tahan sakit dan ndableg. Begitu muntah saya makan lagi, muntah makan lagi, begitu terus menerus karena saya tahu masa pembentukan organ 3 bulan pertama tidak tergantikan. Tapi walau begitu 2 bulan pertama justru berat badan saya turun sehingga terpaksa harus memakai obat mual yang lebih kuat. Memasuki bulan ke empat, rasa mual saya sudah berkurang walau tidak bisa hilang, syukurlah karena waktu itu rumah sakit sedang menghadapi akreditasi versi terbaru sehingga cukup repot juga.

Permasalahan baru datang justru di usia kehamilan 5 bulan. Saya ingat, hari itu hari Senin dan 3 hari sebelumnya (Jumat-Minggu) saya ke Jember untuk bersih-bersih rumahnya mama dengan Dedi (adik no 2). Sebenarnya lebih tepat dikatakan yang bersih-bersih adalah Dedi, suami, dan tukang yang saya bawa dari Malang karena  saya lebih banyak bersantai di hotel dengan Pio. Perjalanan Malang-Jember PP juga tidak terlalu melelahkan karena mobil sudah disulap menjadi kamar tidur untuk saya dan Pio. Kami berdua bisa tidur selonjor nyaman di atas kasur di dalam mobil selama perjalanan.
Kembali lagi, hari itu  hari senin setelah saya pulang dari jember, saat bangun tidur mau mandi bersiap ke rumah sakit (kerja) saya melihat ada flek-flek darah kecoklatan. "Oo mau menstruasi nih" sesaat saya benar-benar lupa kalau sedang hamil, saya berpikir saya datang bulan. Setelah sadar bahwa saya hamil, dan itu berarti saya perdarahan, rasanya panik luar biasa. Bedrest 3 hari,  minum obat untuk mencegah kontraksi, oke membaik.

Beberapa minggu kemudian saya flek lagi, padahal masih rutin minum obat. Bedrest lagi 3 hari dan ditambah pemeriksaan kultur untuk mecari tahu barangkali penyebab perdarahan adalah infeksi karena letak placenta bagus. Yang paling menakutkan adalah perdarahan ketiga. Sore itu saat  baru pulang kerja dari rumah sakit, saya merasa ingin buang air kecil. Karena nanggung masih ngumek sesuatu di dapur saya tahan..dan syuurrr... aduh  ga bisa nahan nih pikir saya, dan bergegas ke kamar mandi. Ternyata, yang saya kira urin (air seni) ternyata adalah darah. Darah yang keluar cukup banyak sampai  membasahi  celana luar yang saya pakai. Tidak terima panik lagi, saya ketakutan sekali. Langsung berbaring tidak berani bergerak karena sedikit menggeser pantat saja darah sudah keluar lagi.  Yang ada dalam pikiran saat itu adalah saya akan kehilangan bayi saya. Konsultasi via telepon dengan dr. SpOG, disuruh bedrest lagi, kali ini tidak boleh turun dari tempat tidur. Jika perdarahan berkurang, saya bisa kontrol besok pagi. Tetapi jika perdarahan tetap atau semakin hebat, atau gerakan bayi berkurang,  harus segera  ke rumah sakit. Untunglah perdarahan yang saya alami membaik dengan tirah baring, namun kali ini saya harus di tempat tidur selama 1 minggu.

Khawatir kalau-kalau penyebab perdarahan trimester dua yang saya alami ini disebabkan karena adanya kelainan bawaan dari janin, saya direkomendasi untuk melakukan pemeriksaan USG 3 Dimensi. Hati ini seperti copot mendengar ada kemungkinan bayi saya menderita cacat bawaan, sehingga saat-saat menunggu antrian USG terasa seperti (mungkin) menunggu hakim menjatuhkan vonis. Proses USG 3D cukup lama, apalagi alasan saya melakukannya bukan untuk mengetahui jenis kelamin ataupun melihat wajah bayi tetapi mencari kelainan bawaan yang mungkin ada. Hampir dua jam sendiri berlalu untuk menghitung setiap ruas, mengukur panjang atau diameter, mengamati detail lubang yang tampak, serta mengevaluasi setiap pergerakan. Plong, lega, begitu mengetahui tidak ada kelainan bawaan pada bayi saya walau mata sudah sepet karena saya kelar USG mendekati pukul satu dini hari. Hebatnya, sampai jam segitu Pio tetap semangat menanyakan dan berkomentar tentang setiap gambar USG si adik  kepada dokter operatornya.

Proses kelahiran Deo diawali dengan pecah ketuban saat saya masih bersih-bersih rumah, pagi hari sekitar pukul setengah tujuh. Untungnya segala keperluan untuk melahirkan sudah saya packing dalam tas, jadi tinggal sahut dan berangkat ke rumah sakit. Teman-teman perawat dan bidan rata-rata meramalkan kalau kali ini saya bakal naik SC, bahkan segala tetek bengek persiapan SC sudah disiapkan oleh mereka tinggal bawa (Aduh, asem benar pikir saya waktu itu). Masalahnya ketuban saya sudah pecah, tapi tidak ada tanda-tanda progres persalinan. Mulas walau sedikitpun tidak. Bahkan ibu yang belakangan masuk ke kamar bersalin sudah lahir bayinya, saya masih tetap tenang-tenang tidak mulas. Deadline pukul 13.00 bayi harus lahir, kalau tidak pilihannya SC atau drip. Kapok dengan pengalaman melahirkan pertama, saya emoh jika harus didrip lagi. Mendekati batas akhir waktu, mulas yang ditunggu akhirnya datang dan dengan cepat berubah menjadi nyeri kontraksi kuat. Bidan dipanggil (saya memang tidak ditungguin ketat karena masih cengengesan kanan kiri, sama sekali ga kayak orang mau melahirkan), VT, ternyata sudah buka tujuh. Partus set (alat dan bahan untuk persalinan) disiapkan, dokter SpOG dipanggil, dan wups Deo lahir 5 menit sebelum batas waktu saya habis. Saat proses melahirkan placenta, dokter anak datang dan memandu IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Respon bayi bagus, tidak lama setelah diletakkan di dada saya, dia sudah mengeluarkan air liur banyak, walau total waktu yang dibutuhkan  sampai berhasil menemukan puting dan menghisapnya adalah dua jam.

ION 
Kehamilan Ion terjadi saat saya masih mengerjakan tesis, namun dapat dikatakan ini adalah kehamilan yang paling menyenangkan. Tidak ada mual-mual kecuali saya mencium asap rokok, bau badan (yang walaupun tidak hamilpun saya juga bakal mual), dan bau bawang pre mentah (ini yang masih berasa hamil hehehe). Di badan pun juga tidak ada rasa-rasa yang membuat jadi malas atau lemas untuk aktivitas. Sungguh-sungguh bersyukur deh..tesis dan pekerjaan tetap dapat berjalan tanpa gangguan. 

Gangguan waktu hamil ketiga ini datang di trimester kedua. Sama dengan saat hamil Deo, kali ini pun saya juga mengalami flek-flek hingga harus dua kali istirahat. Tidak semenakutkan waktu perdarahan hamil kedua. Yang membuat agak deg-deg an malah posisi bayi. Hingga usia kehamilan 8 bulan lebih  si kecil tetap tidak mau menempatkan kepalanya di bawah  hingga saya akhirnya direncanakan SC...ya sudahlah, pasrah..mungkin memang saya akhirnya harus mengalami masuk kamar operasi sebagai pasien (biasanya jalan-jalan ke kamar operasi sebagai karyawan RS). Tapi.... adik bayi rupanya tahu kalau mamanya ogah operasi, hingga saat kontrol kehamilan 9 bulan  ia sudah menempatkan diri dalam posisi bagus dan batal lah rencana operasi.  Siiipp...lahir normal saja  dek...

Ketika saya hamil tua, kegiatan saya justru semakin menjadi. Saya wisuda S2 dengan perut yang amat besar walau nggak terlalu kelihatan sih karena pakai toga. Cuti hamil saya juga terpaksa mundur karena ada tugas yang tidak dapat saya tinggal atau delegasikan saat itu (yang ini sih no problemo buat saya karena nantinya saya bisa lebih lama bersama si bayi setelah lahir). Saya baru memulai cuti sekitar 3 minggu sebelum perkiraan kelahiran. Baru saja saya cuti,  datang kabar nenek (dari papa) meninggal. Serba salah rasanya... nggak datang itu bagaimana, datang saya dalam kondisi hamil tua siap melahirkan. Akhirnya saya memutuskan untuk datang ke Jember saat kremasi. 1 koper persiapan persalinan saya masukkan ke mobil, saya juga mencatat lokasi rumah sakit dan bidan yang saya lalui sepanjang perjalanan Malang - Jember, in case ada apa-apa di jalan. Singkat cerita saya bisa kembali ke Malang dengan selamat dan koper persiapan persalinan saya tetap tertutup. Satu minggu sebelum perkiraan kehamilan saya kontrol karena semalaman saya sudah merasakan mulas walau ga nemen tapi tidak hilang-hilang. Selama trimester akhir saya sering mengalami kontraksi dan mulas palsu...jadi saya tunggu dulu kali ini mulasnya hilang atau tidak. Ketika kontrol diketahui bahwa air ketuban saya tinggal sedikit dan terlihat adanya lilitan tali pusat. Jam 10 saya kontrol, jam 12.30 saya sudah di kamar operasi. Rupanya air ketuban sudah merembes sedikit-sedikit, mungkin sudah beberapa hari dan saya tidak menyadarinya. Untunglah saya masih tetap sadar untuk mengontrol  gerakan bayi. Sejak hamil ketiga ini, produksi lendir memang lebih banyak daripada kondisi normal, jadi saya tidak merasakan adanya rembesan.

Karena saya SC, saya baru pulang dari rumah sakit setelah hari ke3,yang berarti tidak ada drama ASI  di rumah . Sama seperti kakak-kakaknya, ASI saya baru keluar dihari ke3, namun karena saya masih di rumah sakit, ada banyak teman yang membantu menenangkan si bayi yang menangis karena ASI belum keluar. Hari ketiga si kecil terlihat agak kuning, cek darah kadar bili memang meningkat walau tidak terlalu tinggi, dr anak menyarankan untuk fototerapi saja daripada pulang kemudian tidak bisa turun dan masuk lagi untuk fototerapi. Saya setuju, dan saya tetap bisa menyusui si kecil setiap beberapa jam. Sesuai jadwal yang ditetapkan oleh dokter anak, secara periodik saya datang ke ruang bayi menyusui. Beberapa sesi agak tertunda karena si kecil selama disinar boboknya kelewat pulas, jadi harus digelitik, ditepuk tepuk untuk mbangunin dia.  Satu sesi selesai, kuning lenyap, kami pulang dengan aman.

Ion ini bayi paling menyenangkan. Saya sudah bersiap-siap bergadang mengingat 2 pengalaman sebelumnya saya tidak tidur semalaman pada hari pertama mereka pulang dari rumah sakit. Namun, tidurnya si Ion sudah langsung terpola dan entah kenapa jam tidurnya pada malam hari sudah lebih panjang sedikit dari siang hari sehingga  saya relatif tidak bergadang. Bangun teratur untuk pipis, ganti popok,  minum, langsung tidur lagi...terlebih saya sudah biasa menyusui sambil tiduran..lebih enak lagi.
Hanya saja di siang hari Ion tidak mau ditinggal. Kalau dia tidur, saya ikut tiduran disampingnya, boboknya bisa lama. Tapi begitu ditinggal langsung eeekkk...ya sudahlah, kegiatan saya hanya di kamar melulu. Buku bacaan  saya tumpuk di samping tempat tidur  dan habis dilahap selama nungguin bayi bobok.  Kehabisan bahan bacaan akhirnya saya download aplikasi dan baca komik di HP hahahaha..Benar-benar masa menjaga bayi yang nyaman banget, tapi jadi susah kembali ke BB semula.  Kadang kalau saya bosan, si kecil yang lagi bobok siang malah saya cium cium dan coel-coel agar bangun (wkwkwk). Yah itulah emak emak..



 PIO


Dan dua foto di bawah ini adalah Deo



dan ini si Ion 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar