Kamis, 30 Juli 2015

Deo, 2 y.o

Kali ini saya hanya ingin meninggalkan memori tentang masa kecil Deo hingga usia 2 tahun. Semoga menjadi kenangan manis baginya :)

Deo lahir dengan didahului pecah ketuban saat saya masih enak-enak menyapu di rumah, untunglah semua berjalan lancar sehingga Deo tetap dapat lahir secara normal. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.
Deo semasa newborn sempat kuning, tetapi setelah beberapa kali kontrol dapat membaik dengan bantuan obat sehingga tidak perlu fototerapi.

 


 




 Memasuki masa MPASI, saya mulai mencobakan satu per satu bahan makanan dan sebagian besar dilahap oleh Deo tanpa penolakan.  Deo menelan habis pure brokoli tanpa protes (padahal dalam lidah saya rasanya aneh ada langu-nya) dan menolak pure ubi ungu (mungkin terlalu manis ya? entahlah kenapa kok tidak suka)...Deo suka makan sendiri, sehingga ketika tiba waktu makan dia selalu saya cuci tangannya, dudukkan, dan beri mangkuk kecil berisi buburnya lengkap dengan sendok. Walau super duper berantakan lucu juga melihat dia berusaha keras menyendok buburnya. Tumpah semua pasti (kan didorong-dorong sampai keluar mangkuk), terbang tinggi juga iya (sampai mendarat di tembok pun pernah), dan yang pasti wajah dan sekujur tubuh celemot makanan semua. Makannya bagaimana?  Tetap saya suapi : sekali ronde butuh dua mangkuk, satu untuk Deo satu untuk mamanya :)
Akhir-akhir ini Deo gemar sekali dengan acar. Seperti kalap kalau sudah lihat benda satu itu, kemanapun disembunyikan bakal dicari terus.....

Masih bersih, belum cemot-cemot

Mulai sekitar usia 6-7 bulan, Deo sudah berespon dengan musik. Tubuhnya bergoyang-goyang naik turun jika saya atau suami mendendangkan lagu dengan irama melayu yang rancak..lucu sekali... Sampai saat ini Deo masih responsif dengan musik. Suka sekali menyetel CD lagu anak kemudian menari berputar-putar di depan layar sampai gobyos keringat. Akibatnya jika Deo menari malam-malam, dia terpaksa saya mandikan lagi sebelum tidur karena badannya jadi lengket semua.
Sayang saya tidak tahu caranya mengupload video di sini (maaf)

Mainan yang kami belikan untuknya cepat sekali rusak, kalau sudah bosan lempar begita saja tiiiuungg..rusak dah. Deo juga tidak betah duduk manis di dalam stroller, sebentar saja sudah usreg dan mlorot ga karuan (beda dengan Pio kecil). Jadi kalau sendirian saya tidak berani mengajak jalan-jalan keliling perumahan terlalu jauh karena kalau sudah jenuh duduk di stroller yang ada minta gendong. Bisa membayangkan kemengnya  1 tangan menggendong Deo sedangkan tangan yang lain mendorong stroller?

Deo penggemar binatang, hobby sekali mengamati tingkah laku binatang yang dia temukan tetapi tetap takut kalau disuruh  menyentuh.  Jika diajak ke Taman Safari  saya harus membawa kain extra untuk melapisi sprei kasur supaya tidak kotor dengan rontokan batang dan daun wortel. Saat melintasi area karnivora yang tidak memungkinkan untuk membuka jendela mobil, wajahnya akan sering menempel ke kaca.

Tak berkedip memandang sampai wortelnya lenyap

Memanjat kursi supaya jelas melihat ikan

Deo juga penggemar kipas seperti kakaknya. Sepanjang perjalanan (apalagi kalau malam hari)  yang dicari adalah kipas raksasa Holland. Jika menemukan kipas, Deo bisa berlama-lama berdiri di depannya, dimatikan --dinyalakan--dimatikan--dinyalakan lagi dst sampai-sampai kalau menurut saya sudah terlalu lama harus saya bopong untuk menyingkir dari depan kipas.

Perkembangan bicaranya termasuk cepat. Di usia 2 tahun ocehannya sudah bergemerincing memenuhi sudut-sudut rumah, belum lagi kalau marah atau menangis...mungkin tetangga pun bisa jelas mendengar teriakannya (hehehe). Inilah perbedaan mencolok antara Pio dan Deo. Jika Pio menangis, dia akan diam dan melelehkan air mata. Paling banter dia menyingkir ke kamar dan menangis tanpa suara di tempat tidur. Nah, kalau Deo yang menangis, bisa dipastikan seluruh rumah akan mendengarnya.

Sambil menempel tembok
Sudah keras nangisnya
Tahap awal



Untuk urusan belajar "menulis" Pio dan Deo idem, lantai, sprei, lemari, tembok semua pernah jadi sasaran coretan mereka



Deo termasuk anak yang keras kepala (sama kayak mamanya tuh)... Contohnya, kalau sudah kadung maunya tidur ... dibangunkan tidak mau. Berhubung sudah keburu berangkat mengantar Pio sekolah (telat nanti kalau nunggu Deo bangun), bajunya dilepasi, dimandikan (sambil didekap), dihanduki, dipakaikan baju lagi tetap tidur....


Setelah dimandikan, lagi dipakaikan baju : tetap tidur


Tetapi, sifat keras kepala dan ngotot dari Deo kadang bermanfaat untuk mendorongnya belajar.

Membuka pintu

Hup Hup nggak sampai......


Memakai sepatu

Lebih enak memakai sepatu Papa


Membuka kulkas dan merampok isinya

Nggak sabar nunggu dipotongkan..
Mengupas buah

Makan jeruk langsung sahut langsung hap..


Serius menekuni kulit pisang


Horee...bisa kupas sendiri....


Deo gemar sekali bermain dengan air..kalau belum basah kuyup belum puas dah






Termasuk berenang, jika belum kedinginan tidak mau mentas


Dan ini adalah momen-momen lain Deo bersama kami


Tidur pulas

Belajar duduk
Yiippiii..sudah bisa tegak

Tengkurap
Ikutan demam vampir 





Walau lagi sakit tetap main sama Papa



Gendong mama
3 jagoan




Main ayunan
 





















Senin, 27 Juli 2015

Salatiga (Lebaran 2015)

Masa-masa menjelang Lebaran tahun ini adalah masa-masa ruwet bagi saya dan suami.  Kalau saya sih memang sudah biasa dikejar-kejar kerjaan yang herannya kok tidak ada habis-habisnya walau dibelani  mengerjakan di rumah setelah semua krucil tidur. Tapi kali ini kok ya kerjaan suami ikut-ikutan ruwet terkait mengejar sisa waktu sebelum Lebaran dan tahun ajaran di mulai. Missing point nya adalah proyek yang sudah distop karena melebihi anggaran proposal (rencana awal mengerjakan A-B merembet ke C-D-dst), tiba-tiba minta dilanjutkan lagi hanya berselang 1,5 - 2 minggu sebelum Lebaran padahal posisi kami juga sedang mengerjakan area lain.  Bayangkan bagaimana pusingnya mencari tambahan tenaga tukang plus asistennya (kuli) saat mepet-mepet Lebaran. Untungnya adalah karyawan kami kecepatan dan kualitas kerja selama bulan puasa tidak berbeda dengan biasanya. Jam datang, istirahat, dan pulang mereka tetap sama tanpa diminta oleh suami.  Kami sempat menambah 3 tenaga baru, tetapi tidak lama karena tidak cocok dengan cara dan hasil kerja mereka. Tidak mungkin dipaksakan hanya untuk mengejar target selesai tanpa memperhatikan kualitas..ya sudah mau bagaimana lagi daripada nama baik yang dipertaruhkan.. jalan satu-satunya adalah dilembur kerja malam. Jadilah suami selalu pulang di atas jam 10 malam selama hampir 2 minggu terakhir. Pertolongan Tuhan : ada 2 orang datang kepada suami meminta pekerjaan, berhubung karena mereka sama sekali tidak memiliki keterampilan tukang (baik bangunan  maupun kayu), maka pekerjaan yang bisa diberikan adalah sebagai asisten tukang. Oke, mereka setuju, lalu kabar baiknya adalah mereka cepat beradaptasi dengan ritme pekerjaan yang sedang hectic dan suami cocok dengan kinerja mereka (fuuuhh... bisa bernafas lagi). Hasilnya : Happy ending. Target terpenuhi, pekerjaan suami selesai tepat dua hari sebelum hari H Lebaran ; konsumen puas; dan kami lega.


Jadinya begitu mendapat kesempatan untuk berlibur, ini adalah kesempatan untuk menikmati hidup dan melupakan sejenak segala keruwetan. Tujuan kali ini adalah kota asal suami : Salatiga -Jawa Tengah.
Kalau biasanya kami menginap di Laras Asri saat berkunjung ke Salatiga, kali ini kami memilih Hotel Grand Wahid. Pertimbangannya adalah hotel ini terletak persis di pusat kota Salatiga, harapan saya tidak sulit mencari makan di saat Lebaran seperti ini.


Berangkat Kamis jam setengah dua belas malam (pas malam takbiran), jalanan super duper lancar dan lengang. Sehingga di luar dugaan perjalanan Malang - Salatiga bisa kami tempuh hanya sekitar 9 jam dipotong 1 jam tidur.  Niat awal mau mencarikan sarapan buat anak-anak di kota Solo sehingga kami tidak memilih jalur Gemolong yang lebih singkat, tapi apa mau dikata kami tidak menemukan depot yang buka (kalau tendaan pinggir jalan kok nggak tega ya...). Akhirnya bablas dan menemukan foodcourt buka di kota Salatiga.

3 hari kami lalui dengan menikmati hidup, kegiatan yang kami lakukan selain mengunjungi rumah saudara adalah berenang, nemanin anak-anak main seluncuran di kolam renang, dan berendam di jacuzzi. Benar-benar tanpa beban.


Sampai hotel Papa langsung tewas
Bermain di bangku taman

Yang menarik bagi anak-anak di hotel Grand Wahid ini adalah kolam renangnya yang dilengkapi dengan seluncuran baik untuk anak-anak maupun seluncuran betingkat dan berliuk.

Seluncur kolam tampak dari kamar

Pio jadi ketagihan meluncur! Awalnya meluncur berdua dengan saya semi dipangku menggunakan luncuran berliuk, lama-lama minta dilepas di akhir-akhir luncuran, lama-lama berani meluncur sendiri walau tetap saya temani (cuma sudah tidak dipangku dan dipegangi lagi). Melihat kakaknya keasyikan meluncur, si kecil kepingin juga...Jadilah saya naik turun tangga berkali-kali sambil menggendong Deo (BB nya 13 kg---asli setelah yang kesekian kali saya ngos-ngosan sampai di atas). Untuk Deo beneran saya pangku dan saya dekap, ketika jatuh di air pun badannya saya angkat sedikit supaya hidungnya tidak kemasukan air. Untungnya Deo lebih hobby berendam di jacuzzi sama Papa daripada meluncur. Kalau sama-sama gila meluncur seperti kakaknya mungkin saya jadi langsing sepulang dari Salatiga (hihihihi)..



Dingin nggak ya?

Bersama dua jagoan

Berendam air hangat di Jacuzzi

Peace....


O, ya... berenang kali ini adalah kesempatan pertama mencoba pelampung  baru Pio dan Deo. Sangat terlihat bedanya dengan pelampung renang mereka. Stabil banget untuk dipakai berenang, nggak pakai acara ngguling-ngguling akibat pelampung tidak seimbang. Kelihatan sekali di Deo yang biasanya harus dijaga ketat karena belum mahir menyeimbangkan pelampung tiupnya sehingga miring ke sana kemari, dengan menggunakan life vest bisa langsung bergerak ke sana kemari dengan mantap. Pio malah bisa tiduran di air menggunakan headrestnya. Pak pool guard-nya juga berkomentar yang sama. Rupanya tertarik dengan pelampung yang dipakai anak-anak. Oya, ini salah satu point plus untuk hotel ini : Pool Guard
Saya sempat melihat ribut-ribut saat bapak penjaga kolam mengangkat seorang anak yang hampir tenggelam di kolam dewasa. Si anak dengan menggunakan pelampung tiup berbentuk kotak yang dinaiki seperti perahu masuk ke kolam dewasa, rupanya upaya menggerakkan pelampung ini menjadikan posisi badan tidak seimbang dan pelampung terbalik. Entah orang tuanya di mana..
Sore hari ketika suami berbincang dengan bapak penjaga kolam ini, sepanjang hari itu dia mengalami 3 kejadian anak kecil hampir tenggelam termasuk yang di atas. Yang 1 si anak ditinggal orang tuanya berenang  tanpa pelampung dan terjatuh di kolam anak dengan kedalaman 50 cm (benar dah, sedangkal apapun kedalaman air tetap berbahaya bagi anak kecil apalagi yang tidak bisa berenang), kemudian yang satu lagi bapak pool guard tidak menceritakan kronologisnya bagaimana, tetapi yang disesalkan adalah si anak dilepas bermain di kolam (juga tanpa pelampung pengaman) sementara orang tua nya asyik bermain HP.  Itulah kenapa bapak pool guard terkesan dengan pelampung yang dipakai Pio dan Deo. Jaket pelampung tiup memang membuat tubuh anak tidak akan tenggelam, tetapi karena keseimbangan pelampung yang kurang bagus wajah si anak bisa nyungsep ke air yang berarti sama saja dengan tenggelam. Jadi kesimpulannya tetap butuh supervisi dari orang dewasa.

Deo dan pelampungnya



Gaya konvensional oke

Gaya punggung juga oke
Dijemur setelah dipakai

Satu lagi pengalaman tak terlupakan di Salatiga : terdampar!
Hari ke dua, setelah selesai makan malam kami berencana jalan-jalan keliling kota naik dokar.  Pio dan Deo sepertinya kepingin "naik"  kuda, disamping suami juga malas mengeluarkan mobil karena super crowdednya area pakir...daripada nanti malah nggak dapat tempat dan musti parkir di jalan ?
Jadilah kami berempat naik dokar. Papa di depan di samping pak kusir, saya bersama Pio-Deo di belakang. Pertama yang saya rasakan begitu dokar mulai berjalan adalah gerakan kereta yang terlalu keras ke arah samping. Tebakan saya : nih roda keretanya pasti sudah uglik-uglik (kalau roda mobil sudah butuh spooring balancing gitu). Dua jagoan kami menikmati sekali naik dokar, ketawa-ketiwi sepanjang jalan. Setelah berjalan agak jauh, saya dan suami merasa kudanya kok  mulai gelisah ya? Jalannya tidak tenang lagi, sebentar menghentak ke kanan sebentar menghentak ke kiri dengan kepala yang terus menerus mendengus ke kanan dan kiri.. pokoknya gelisah sekali. Puncaknya ketika kami mendekati alun-alun kota di mana banyak petasan dor-dor-dor... sudah deh kegelisahan si kuda benar-benar menjadi seperti pingin lepas berlari. Pak kusir mulai membentak kudanya...
Saya sudah cemas bin panik membayangkan kalau kuda lepas kendali dengan kondisi roda kereta yang tidak seken ..... (aduuhhhh...).  Turun! Sudah, daripada ada apa-apa kita minta berhenti saja ! Turun ! Turun!  Dan bayangkan saudara-saudara, untuk menghentikan si kuda yang gelisah ini ternyata tidak mudah juga..nyeret terus. Entah saya tidak memperhatikan bagaimana usaha pak kusir menghentikan kudanya karena sibuk memegangi Pio dan Deo, sehingga rasanya lega sekali ketika kami berempat sudah selamat turun dari dokar (fiuuhhh).

Berjalan-jalan sejenak di alun-alun kota Salatiga sambil menenangkan dua lelaki kecil yang protes kenapa turun dari kuda ...mau naik kuda lagi .... (Ugh ...Ugh...Ugh...). Setelah beberapa saat kami baru menyadari dari tadi celingak celinguk mencari tidak tampak ada dokar lain yang lewat atau angkutan umum atau becak melintas. Ditunggu lamaaa di pinggir jalan tetap nihil padahal baru pukul delapan malam. Mau jalan kaki ke  hotel terlalu jauh buat Pio, digendong siapa yang sanggup beratnya sudah 25 kilo lebih. Akhirnya suami memutuskan akan berjalan kaki mencari becak ke arah hotel, kalau tidak ketemu ambil mobil untuk menjemput kami bertiga (Saya, Pio, dan Deo) yang ditinggal menunggu di alun-alun. Benar-benar serasa orang hilang duduk bengong malam-malam (hicks). Suami berhasil mendapatkan becak tapi cuma 1, jadi saya dan anak-anak yang naik, suami balik jalan kaki lagi ke hotel ....

Sesuai dengan yang saya harapkan, ternyata sangat mudah mencari makan di sekitaran hotel Grand Wahid. Penjual makanan dan buah-buahan tetap banyak yang menggelar dagangannya walau hari Lebaran. Satu hal lagi, suami mendapatkan info dari salah satu karyawan hotel yang diajak ngobrol...jika suatu saat kami menginap kembali disarankan request di lantai 6 karena dari sana akan tampak pemandangan Rawa Pening...Hhmmmmm....boleh deh, jika ada kesempatan akan kami coba sarannya.

Pemandangan dari teras kamar kami di lantai 2
Senja terakhir di Salatiga (sesaat sebelum check out)

Untuk perjalanan pulang kami tidak terlalu beruntung. Macet panjaang di jalur Madiun-Caruban, sehingga walau meninggalkan Salatiga sekitar pukul 20.00 kami baru sampai rumah jam sepuluh pagi. Itu sudah lewat Pujon, kalau lewat Pandaan mungkin lebih lama lagi. Sempat berhenti sih di pom untuk tidur dan di Pujon untuk makan pagi.
Berita baiknya, malam hari setelah kami tiba di rumah kami mendapat kiriman kare mentok (Itik) 1 ekor full dari tukang kayu kami .. Yummy....enak! Terima kasih banyak Pak...sering-sering ya ....

Masih ada 2 PR Lebaran yang belum kami lakukan : berkunjung ke rumah para tukang kami di daerah Jabung (Singosari masuuukk lewat kebun-kebun tebu yang gelap pekat saat malam) dan ke rumah mbak ART kami di daerah Sumbermanjing sana (harusnya sekalian ke pantai ya). Kalau para tukang sih sudah biasa kami kunjungi walau bukan hari Lebaran, nah si mbak ini berhubung baru kali ini melewati momen Lebaran bersama kami sepertinya sangat excited saat suami bilang kami akan ke rumahnya waktu dia pamit pulang.







Kamis, 23 Juli 2015

Jaket Pelampung / Lifevest

Berita tentang seorang wisatawan yang terseret ombak saat berfoto di tepi salah satu pantai Malang selatan membuat saya merinding  karena di hari yang sama saya juga berada di tepi laut (sama-sama Malang selatan tetapi beda pantai). Sudah cukup lama (sekitar 1 bulan) saya tidak mengunjungi pantai Malang selatan karena kegiatan kami yang cukup padat, dan tentu saja sudah berkali-kali Pio merengek minta diajak ke pantai. Kondisi ini cukup memberi saya waktu untuk memikirkan ulang mengenai kemanan bermain di air termasuk pantai..apa yang harus kami lakukan supaya Pio dan Deo tetap bisa bermain di pantai kesukaan mereka tetapi juga aman terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kami memang tidak pernah sengaja menantang bahaya seperti berenang di laut, atau bermain sampai melebihi batas area aman, tapi namanya musibah bisa datang di saat tak terduga. Sama dengan kasus di atas, ybs tidak dalam kondisi berenang atau mandi di laut. Hanya berfoto di tepi pantai, dan celahnya adalah membelakangi laut sehingga tidak waspada terhadap kemungkinan ombak yang datang.

Kunjungan ke pantai Bandengan Jepara baru-baru ini memunculkan ide di kepala kami. Mungkin karena kali ini kami cukup lama menginap di sana dan anak-anak sudah doyan banget bermain pasir sama air, jadi saya memiliki waktu cukup banyak untuk mengamati hal-hal di sekitar pantai (Desember tahun lalu Pio dan Deo lebih banyak menghabiskan waktu di sekitaran hotel, tidak sampai bermain lama di pantainya). Di kawasan pantai umumnya, terpampang tulisan yang kurang lebih bunyinya begini : Setiap wisatawan yang berenang dan bermain di pantai wajib menggunakan pelampung.

Point awalnya adalah : Pelampung.

Pio dan Deo punya jaket pelampung sih, tapi hanya rompi pelampung tiup yang kayaknya cuma cocok dipakai di kolam renang. Jelas tidak bisa dipakai sebagai instrumen keselamatan. Terpikirlah oleh kami bagaimana jika membeli jaket pelampung penyelamat seperti yang dipakaikan kepada kami berempat saat menyewa perahu dayung di pantai Bandengan.
Maka, dimulailah kegiatan browsing setiap malam mencari tentang info di mana kami bisa membeli jaket pelampung (life vest). Sempat juga terpikir kami ini lebay banget nggak sih, sampai segitunya hanya untuk berlibur ke pantai, mana selama ini jarang sekali melihat orang bermain di pantai sambil mengenakan pelampung. Hanya satu kali : saya pernah melihat 2 orang anak kecil bermain air di Pantai Gua Cina sambil mengenakan jaket pelampung. Tetapi jaket pelampung yang dikenakan adalah jaket pelampung tiup seperti punya Pio dan Deo untuk di kolam renang.  Keraguan saya akhirnya terjawab oleh artikel  ini yang secara tidak sengaja saya temukan sewaktu mencari info penjualan life vest.  Mantap sudah hati saya untuk membeli 4 life vest : 2 kids dan 2 adults, tinggal cari barangnya. Ribetnya bawa-bawa pelampung ke mana-mana, biaya ekstra yang harus saya keluarkan untuk membeli pelampung, menjadi "aneh dan lebay" dalam pandangan orang lain dapat diletakkan di urutan paling buncit dalam prioritas safety..

Selama proses mencari penjual life vest, ternyata banyak informasi lain yang saya dapatkan.
Saya baru tahu kalau ternyata life vest ada bermacam tipe dengan berbagai variasi merk dan harga. Saya juga baru nyadar kalau selama ini saya dan suami  bermain-main dengan nyawa dalam hal keamanan kegiatan air. Iya! Betul ! Saya dan suami pernah berwisata naik perahu sampan maupun perahu motor di bendungan daerah Ngantang Malang serta  di telaga Sarangan, dan semuanya dilakukan tanpa mengenakan jaket penyelamat (saya tidak punya, pemilik perahu pun tidak menyediakan).  Mengingat kembali saat itu rasanya miris sendiri. Sembrono sekali kami..untunglah kami masih dilindungi Tuhan. Bagaimana jika seandainya saat itu terjadi kecelakaan air? Walau saya bisa berenang tapi benar-benar tidak dapat digolongkan dalam kategori "ahli" dan belum pernah sekalipun berenang di luar kolam renang, apalagi di alam bebas dalam kondisi panik. Suami? Sampai saat ini kemampuan bertahan di air-nya lebih payah dari saya. Hiiiiiiiii......tidak bisa membayangkan. Untung saat itu aman-aman saja ...(uhhgh...masih bergidik kalau ingat-ingat).
Saya juga mendapat ilmu baru yang sebenarnya harus diketahui oleh siapa saja yang suka bermain di pantai : RIP current : bagaimana cara mengenali adanya RIP current dan bagaimana cara meloloskan diri dari jebakan RIP current (astaga..kemana saja saya selama ini kok baru tahu info seperti ini setelah berkali-kali bermain ke pantai?)

Balik soal perburuan Life vest!
Buta soal toko yang menjual life vest, keliling Malang kok tidak berhasil menemukan, akhirnya memutuskan untuk membeli secara online.
Pertama-tama dapat salah satu situs online penjual life vest yang bermarkas di Malang. Saya coba kontak untuk minta alamat kantornya. Maksud saya supaya bisa datang dan mencoba langsung sebelum beli (toh satu kota), dengan begitu saya bisa tahu duluan pas dan enak tidak pelampung itu dipakai di badan kami, terutama untuk yang anak-anak. Penonton kecewa, ternyata mereka tidak melayani pembelian langsung di toko mereka, tetap lewat online (padahal satu kota lhooo)...yang ditawarkan ke saya adalah pelampung merk Atunas dengan ukuran yang tersedia S, M, L dan XL.  Okkay, simpan dulu dan cari info lainnya.
Ada beberapa situs yang saya ublek-ublek..tetapi rasanya kok mahal sekali ya. Perbandingannya adalah sama-sama pelampung rompi renang tiup dengan merk seperti punya Pio-Deo tapi kok selisih harganya jauh sekali? Diamat-amati rupanya situs-situs ini rasanya tidak bermarkas di Indonesia, tetapi area penjualannya melingkupi wilayah Indo juga. Pantesan harga dicantumkan dalam dollar. Ada yang range harganya masih wajar, tetapi ada minimal order yang jumlahnya nggak cuma sekadar 5 biji tetapi puluhan sampai ratusan unit.

Tahu area penjualan online yang sedemikian luas sampai lintas negara, kata kunci saya persempit lagi menjadi life vest / jaket pelampung lokal. Dari beberapa situs yang saya temukan, saya tertarik dengan 1 situs penjualan life vest yang bermarkas di Jogjakarta, dengan merk : Aquatics. Kalau melihat yang ada sepertinya life vest mereka terkesan lebih kokoh dan nyaman, ada headrest (bantalan kepala) dan khusus untuk yang anak-anak ditambahkan harnest (pengait kaki yang menjaga agar pelampung tidak terangkat ke atas).  Ayo, coba kontak!
Setelah berdiskusi panjang lebar tentang keperluan pelampung, usia dan berat badan pemakai, serta pilihan warna (rupanya mereka produksi sendiri) akhirnya saya memutuskan untuk membeli 2 pelampung dewasa dan 2 pelampung anak-anak, warna hitam-biru dan hitam-merah. Tipe untuk dewasa ada beberapa tergantung kegunaan, kenyamanan, dan daya apungnya. Pelampung yang saya pesan memiliki  potongan foam yang lebih flexible mengikuti bentuk tubuh dengan daya apung s/d 100kg, sedangkan pelampung anak memiliki daya apung s/d 45kg. Harga (price list) untuk pelampung dewasa @Rp. 260.000,- dan pelampung anak @Rp. 195.000,- karena beli sekaligus 4 unit, saya masih mendapatkan diskon lagi.



Life vest pesanan saya siap dikirim dari Jogja
Keberuntungan saya, life vest pesanan datang dua hari sebelum Lebaran...padahal info dari Jogja kantor pos sedang overload sehingga tidak menjamin kiriman akan tiba tepat waktu di tujuan. Pelampung milik Deo masih agak kebesaran terutama panjangnya, karena kalau ukuran lebar dapat diatur dengan gasper di bagian depan, pinggang, dan bahu. Excited sekali Pio dan Deo mencoba pelampungnya, Deo bahkan tidak mau melepas pelampung yang dicobakan dan memakainya berkeliling di jalanan depan rumah....

Berhubung sudah datang, ayo sekalian dibawa ke Salatiga untuk dicoba di kolam renang................


Senin, 20 Juli 2015

Bandengan (again)

Tidak ada bosannya menikmati  pantai, rasanya lega dan plong melihat hamparan air tak terbatas sampai ke ujung cakrawala. Untuk yang kedua kalinya, pada akhir Juni 2015 kami menginap di tepi Pantai Bandengan Jepara.

Sama dengan kujungan pertama kami ke pantai Bandengan Desember 2014, kali ini pun kami menginap di Palm Beach Resort. Seperti biasa begitu tiba di hotel, Pio dan Deo langsung menikmati kamar mereka,  lari ke sana kemari, untuk kemudian mengajak nyemplung ke kolam renang. Jadilah saya momong dua anak kecil berenang sementara suami mengantar driver (yang menyupiri kami dari Salatiga-Jepara) ke tempat pemberhentian bus.


Pada kujungan pertama lalu, kami sempat membeli ikan bakar di sebelah kawasan SunSet Beach...dan rasanya tidak enak. Untuk kali ini kami mendapatkan info bahwa ikan bakar yang enak di kawasan pantai Bandengan adalah ikan bakar mbok Gipah, sehingga setelah mandi kami pergi mencarinya. Dari Palm Beach menyusuri pantai ke arah kanan, teruuuusss saja sampai habis-habisnya pantai.





Di ujung pantai kami menemukan satu penjual ikan bakar yang ramai orang dan berjejer mobil..bertanya-tanya apa ini ya mbok Gipah? Habisnya juga tidak ada papan nama..   Yup! Betul! Setelah memastikan bahwa tujuan kami benar, langsung saja memilih ikan untuk dibakar, pesan kelapa muda, dan bawa pulang ke kamar (daripada jadi santapan nyamuk)..
Memang enak karena ikannya masih segar.. Pio dan Deo ngemos!

Salah satu sudut ikan bakar Mbok Gipah

Inilah rutinitas kegiatan kami :
Anak-anak sarapan roti (di Palm Beach menu sarapan hanya ada dua : Roti atau Nasi Goreng, dan pengalaman yang lalu mengajarkan untuk kids lebih baik memilih menu roti)



Menikmati pantai



Berangkat mau main perahu di kawasan pantai umum-nya



Santai-santai di depan kamar










Berenang

Bobok



Dalam kunjungan ke Jepara kali ini kami juga berkeliling ke Pantai Kartini dan masuk ke museum kura-kuranya.. Bangunan ini menjadi ikon pantai Kartini, berbentuk kura-kura raksasa yang didalamnya berisi akuarium hewan laut.

 2 foto di bawah ini adalah hasil jepretan mas-mas yang menawarkan jasa foto langsung cetak :)




Nah, kalau yang di bawah ini adalah suasana di dalam bangunan kura-kura raksasa







Kesan saya terhadap pantai Kartini yang juga merupakan dermaga penyeberangan ke pulau Karimunjawa : kurang terawat. Sebenarnya desain awal pantai Kartini cukup bagus dan lengkap, termasuk arena bermain anak dan tulisan Pantai Kartini sebagai spot foto (semacam tulisan Pantai Losari itu loooo), cuma ya ituuuu ...tidak terawat sehingga kesannya jadi agak kumuh kayak bangunan mangkrak. Sayang ya?

Selain pantai Kartini kami juga mengintip pantai-pantai lain di seputaran Jepara seperti Pantai Teluk Awur, Pantai Mororejo, dan beberapa pantai lain yang saya lupa namanya termasuk pantai yang berfungsi sebagai TPI. Deo sempat menonton kapal nelayan yang berangkat berlayar mencari ikan.
Secara pribadi, saya tetap memilih pantai Bandengan untuk berlibur bersama anak-anak di Jepara..Next time jika Pio dan Deo sudah gedean, saya pingin menyeberang ke Karimunjawa..

Satu hal yang baru saya nikmati di pantai Bandengan : indahnya matahari terbenam. Ketika kujungan pertama, tidak sekalipun kami melihat pemandangan ini berhubung saat itu adalah musim hujan. Jadi sering kali kalau tidak hujan deras ya mendung tebal.
Cantik ya?



Di 2 hari terakhir, kami berburu oleh-oleh kerajinan kayu jati di sentra ukiran. Tak dinyana Pio tertarik dengan kursi lipat kecil ini

Begitu sampai langsung dicoba untuk duduk berdua di pantai


Keesokan paginya, begitu membuka mata yang dilakukan Pio adalah membawa kursi lipatnya dan duduk bengong di tepi pantai (masih kepet >_<)