Senin, 27 Juli 2015

Salatiga (Lebaran 2015)

Masa-masa menjelang Lebaran tahun ini adalah masa-masa ruwet bagi saya dan suami.  Kalau saya sih memang sudah biasa dikejar-kejar kerjaan yang herannya kok tidak ada habis-habisnya walau dibelani  mengerjakan di rumah setelah semua krucil tidur. Tapi kali ini kok ya kerjaan suami ikut-ikutan ruwet terkait mengejar sisa waktu sebelum Lebaran dan tahun ajaran di mulai. Missing point nya adalah proyek yang sudah distop karena melebihi anggaran proposal (rencana awal mengerjakan A-B merembet ke C-D-dst), tiba-tiba minta dilanjutkan lagi hanya berselang 1,5 - 2 minggu sebelum Lebaran padahal posisi kami juga sedang mengerjakan area lain.  Bayangkan bagaimana pusingnya mencari tambahan tenaga tukang plus asistennya (kuli) saat mepet-mepet Lebaran. Untungnya adalah karyawan kami kecepatan dan kualitas kerja selama bulan puasa tidak berbeda dengan biasanya. Jam datang, istirahat, dan pulang mereka tetap sama tanpa diminta oleh suami.  Kami sempat menambah 3 tenaga baru, tetapi tidak lama karena tidak cocok dengan cara dan hasil kerja mereka. Tidak mungkin dipaksakan hanya untuk mengejar target selesai tanpa memperhatikan kualitas..ya sudah mau bagaimana lagi daripada nama baik yang dipertaruhkan.. jalan satu-satunya adalah dilembur kerja malam. Jadilah suami selalu pulang di atas jam 10 malam selama hampir 2 minggu terakhir. Pertolongan Tuhan : ada 2 orang datang kepada suami meminta pekerjaan, berhubung karena mereka sama sekali tidak memiliki keterampilan tukang (baik bangunan  maupun kayu), maka pekerjaan yang bisa diberikan adalah sebagai asisten tukang. Oke, mereka setuju, lalu kabar baiknya adalah mereka cepat beradaptasi dengan ritme pekerjaan yang sedang hectic dan suami cocok dengan kinerja mereka (fuuuhh... bisa bernafas lagi). Hasilnya : Happy ending. Target terpenuhi, pekerjaan suami selesai tepat dua hari sebelum hari H Lebaran ; konsumen puas; dan kami lega.


Jadinya begitu mendapat kesempatan untuk berlibur, ini adalah kesempatan untuk menikmati hidup dan melupakan sejenak segala keruwetan. Tujuan kali ini adalah kota asal suami : Salatiga -Jawa Tengah.
Kalau biasanya kami menginap di Laras Asri saat berkunjung ke Salatiga, kali ini kami memilih Hotel Grand Wahid. Pertimbangannya adalah hotel ini terletak persis di pusat kota Salatiga, harapan saya tidak sulit mencari makan di saat Lebaran seperti ini.


Berangkat Kamis jam setengah dua belas malam (pas malam takbiran), jalanan super duper lancar dan lengang. Sehingga di luar dugaan perjalanan Malang - Salatiga bisa kami tempuh hanya sekitar 9 jam dipotong 1 jam tidur.  Niat awal mau mencarikan sarapan buat anak-anak di kota Solo sehingga kami tidak memilih jalur Gemolong yang lebih singkat, tapi apa mau dikata kami tidak menemukan depot yang buka (kalau tendaan pinggir jalan kok nggak tega ya...). Akhirnya bablas dan menemukan foodcourt buka di kota Salatiga.

3 hari kami lalui dengan menikmati hidup, kegiatan yang kami lakukan selain mengunjungi rumah saudara adalah berenang, nemanin anak-anak main seluncuran di kolam renang, dan berendam di jacuzzi. Benar-benar tanpa beban.


Sampai hotel Papa langsung tewas
Bermain di bangku taman

Yang menarik bagi anak-anak di hotel Grand Wahid ini adalah kolam renangnya yang dilengkapi dengan seluncuran baik untuk anak-anak maupun seluncuran betingkat dan berliuk.

Seluncur kolam tampak dari kamar

Pio jadi ketagihan meluncur! Awalnya meluncur berdua dengan saya semi dipangku menggunakan luncuran berliuk, lama-lama minta dilepas di akhir-akhir luncuran, lama-lama berani meluncur sendiri walau tetap saya temani (cuma sudah tidak dipangku dan dipegangi lagi). Melihat kakaknya keasyikan meluncur, si kecil kepingin juga...Jadilah saya naik turun tangga berkali-kali sambil menggendong Deo (BB nya 13 kg---asli setelah yang kesekian kali saya ngos-ngosan sampai di atas). Untuk Deo beneran saya pangku dan saya dekap, ketika jatuh di air pun badannya saya angkat sedikit supaya hidungnya tidak kemasukan air. Untungnya Deo lebih hobby berendam di jacuzzi sama Papa daripada meluncur. Kalau sama-sama gila meluncur seperti kakaknya mungkin saya jadi langsing sepulang dari Salatiga (hihihihi)..



Dingin nggak ya?

Bersama dua jagoan

Berendam air hangat di Jacuzzi

Peace....


O, ya... berenang kali ini adalah kesempatan pertama mencoba pelampung  baru Pio dan Deo. Sangat terlihat bedanya dengan pelampung renang mereka. Stabil banget untuk dipakai berenang, nggak pakai acara ngguling-ngguling akibat pelampung tidak seimbang. Kelihatan sekali di Deo yang biasanya harus dijaga ketat karena belum mahir menyeimbangkan pelampung tiupnya sehingga miring ke sana kemari, dengan menggunakan life vest bisa langsung bergerak ke sana kemari dengan mantap. Pio malah bisa tiduran di air menggunakan headrestnya. Pak pool guard-nya juga berkomentar yang sama. Rupanya tertarik dengan pelampung yang dipakai anak-anak. Oya, ini salah satu point plus untuk hotel ini : Pool Guard
Saya sempat melihat ribut-ribut saat bapak penjaga kolam mengangkat seorang anak yang hampir tenggelam di kolam dewasa. Si anak dengan menggunakan pelampung tiup berbentuk kotak yang dinaiki seperti perahu masuk ke kolam dewasa, rupanya upaya menggerakkan pelampung ini menjadikan posisi badan tidak seimbang dan pelampung terbalik. Entah orang tuanya di mana..
Sore hari ketika suami berbincang dengan bapak penjaga kolam ini, sepanjang hari itu dia mengalami 3 kejadian anak kecil hampir tenggelam termasuk yang di atas. Yang 1 si anak ditinggal orang tuanya berenang  tanpa pelampung dan terjatuh di kolam anak dengan kedalaman 50 cm (benar dah, sedangkal apapun kedalaman air tetap berbahaya bagi anak kecil apalagi yang tidak bisa berenang), kemudian yang satu lagi bapak pool guard tidak menceritakan kronologisnya bagaimana, tetapi yang disesalkan adalah si anak dilepas bermain di kolam (juga tanpa pelampung pengaman) sementara orang tua nya asyik bermain HP.  Itulah kenapa bapak pool guard terkesan dengan pelampung yang dipakai Pio dan Deo. Jaket pelampung tiup memang membuat tubuh anak tidak akan tenggelam, tetapi karena keseimbangan pelampung yang kurang bagus wajah si anak bisa nyungsep ke air yang berarti sama saja dengan tenggelam. Jadi kesimpulannya tetap butuh supervisi dari orang dewasa.

Deo dan pelampungnya



Gaya konvensional oke

Gaya punggung juga oke
Dijemur setelah dipakai

Satu lagi pengalaman tak terlupakan di Salatiga : terdampar!
Hari ke dua, setelah selesai makan malam kami berencana jalan-jalan keliling kota naik dokar.  Pio dan Deo sepertinya kepingin "naik"  kuda, disamping suami juga malas mengeluarkan mobil karena super crowdednya area pakir...daripada nanti malah nggak dapat tempat dan musti parkir di jalan ?
Jadilah kami berempat naik dokar. Papa di depan di samping pak kusir, saya bersama Pio-Deo di belakang. Pertama yang saya rasakan begitu dokar mulai berjalan adalah gerakan kereta yang terlalu keras ke arah samping. Tebakan saya : nih roda keretanya pasti sudah uglik-uglik (kalau roda mobil sudah butuh spooring balancing gitu). Dua jagoan kami menikmati sekali naik dokar, ketawa-ketiwi sepanjang jalan. Setelah berjalan agak jauh, saya dan suami merasa kudanya kok  mulai gelisah ya? Jalannya tidak tenang lagi, sebentar menghentak ke kanan sebentar menghentak ke kiri dengan kepala yang terus menerus mendengus ke kanan dan kiri.. pokoknya gelisah sekali. Puncaknya ketika kami mendekati alun-alun kota di mana banyak petasan dor-dor-dor... sudah deh kegelisahan si kuda benar-benar menjadi seperti pingin lepas berlari. Pak kusir mulai membentak kudanya...
Saya sudah cemas bin panik membayangkan kalau kuda lepas kendali dengan kondisi roda kereta yang tidak seken ..... (aduuhhhh...).  Turun! Sudah, daripada ada apa-apa kita minta berhenti saja ! Turun ! Turun!  Dan bayangkan saudara-saudara, untuk menghentikan si kuda yang gelisah ini ternyata tidak mudah juga..nyeret terus. Entah saya tidak memperhatikan bagaimana usaha pak kusir menghentikan kudanya karena sibuk memegangi Pio dan Deo, sehingga rasanya lega sekali ketika kami berempat sudah selamat turun dari dokar (fiuuhhh).

Berjalan-jalan sejenak di alun-alun kota Salatiga sambil menenangkan dua lelaki kecil yang protes kenapa turun dari kuda ...mau naik kuda lagi .... (Ugh ...Ugh...Ugh...). Setelah beberapa saat kami baru menyadari dari tadi celingak celinguk mencari tidak tampak ada dokar lain yang lewat atau angkutan umum atau becak melintas. Ditunggu lamaaa di pinggir jalan tetap nihil padahal baru pukul delapan malam. Mau jalan kaki ke  hotel terlalu jauh buat Pio, digendong siapa yang sanggup beratnya sudah 25 kilo lebih. Akhirnya suami memutuskan akan berjalan kaki mencari becak ke arah hotel, kalau tidak ketemu ambil mobil untuk menjemput kami bertiga (Saya, Pio, dan Deo) yang ditinggal menunggu di alun-alun. Benar-benar serasa orang hilang duduk bengong malam-malam (hicks). Suami berhasil mendapatkan becak tapi cuma 1, jadi saya dan anak-anak yang naik, suami balik jalan kaki lagi ke hotel ....

Sesuai dengan yang saya harapkan, ternyata sangat mudah mencari makan di sekitaran hotel Grand Wahid. Penjual makanan dan buah-buahan tetap banyak yang menggelar dagangannya walau hari Lebaran. Satu hal lagi, suami mendapatkan info dari salah satu karyawan hotel yang diajak ngobrol...jika suatu saat kami menginap kembali disarankan request di lantai 6 karena dari sana akan tampak pemandangan Rawa Pening...Hhmmmmm....boleh deh, jika ada kesempatan akan kami coba sarannya.

Pemandangan dari teras kamar kami di lantai 2
Senja terakhir di Salatiga (sesaat sebelum check out)

Untuk perjalanan pulang kami tidak terlalu beruntung. Macet panjaang di jalur Madiun-Caruban, sehingga walau meninggalkan Salatiga sekitar pukul 20.00 kami baru sampai rumah jam sepuluh pagi. Itu sudah lewat Pujon, kalau lewat Pandaan mungkin lebih lama lagi. Sempat berhenti sih di pom untuk tidur dan di Pujon untuk makan pagi.
Berita baiknya, malam hari setelah kami tiba di rumah kami mendapat kiriman kare mentok (Itik) 1 ekor full dari tukang kayu kami .. Yummy....enak! Terima kasih banyak Pak...sering-sering ya ....

Masih ada 2 PR Lebaran yang belum kami lakukan : berkunjung ke rumah para tukang kami di daerah Jabung (Singosari masuuukk lewat kebun-kebun tebu yang gelap pekat saat malam) dan ke rumah mbak ART kami di daerah Sumbermanjing sana (harusnya sekalian ke pantai ya). Kalau para tukang sih sudah biasa kami kunjungi walau bukan hari Lebaran, nah si mbak ini berhubung baru kali ini melewati momen Lebaran bersama kami sepertinya sangat excited saat suami bilang kami akan ke rumahnya waktu dia pamit pulang.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar