Jumat, 30 Desember 2022

Wisata Sungai (Bedengan)

Tidak jauh dari tempat tinggal saya saat ini, ada tempat menyepi yang menurut saya cukup menyenangkan sebagai wahana escape dari hiruk pikuk kota. Lumayan untuk  merelaxkan pikiran dan memuaskan hasrat main air anak-anak : sungai. 

Tinggal berkendara beberapa menit dari rumah, melintasi kebun-kebun jeruk dan yah, sampai di aliran sungai  yang jernih plus dikelilingi pepohonan. Bisa membayangkan suasanannya kan? Vibe lembah yang dikelilingi pepohonan dan ditemani suara aliran air sambil sesekali merasakan hembusan angin. Kalau saya, sebagai orang yang suka dengan suasana alam dibanding mall, kondisi ini nyaman untuk melepas penat asal tidak ramai orang .....

Sungai ini dangkal, jadi lupakan saja jika tujuan utamanya berenang. Hanya bisa untuk keceh (main air), paling banter di beberapa tempat cekungan bisalah untuk berendam merasakan pijatan aliran arus. Kami pertama kali menemukan tempat ini  sudah lama, sekitar tahun 2017.  Waktu itu mobil belum bisa masuk ke lokasi sungai, sehingga kami harus berjalan jauh dari lokasi parkir untuk bisa menjangkau lokasi wisata.  Terakhir kami mengunjungi sungai ini di awal tahun 2022, mobil sudah bisa masuk sampai tempat dengan menyeberangi sungai dan parkir di lokasi yang disediakan. Jangan khawatir, aliran sungai di tempat mobil atau sepeda motor menyeberangi amat sangat dangkal...tidak sampai semata kaki tenggelam. Fasilitas yang ada  lengkap, mulai tempat parkir yang luas, tanah perkemahan, toilet, dan warung yang menjual makanan minuman. 

Setelah memarkir mobil, kami biasanya tidak bermain air di sekitar lokasi parkir karena mempertimbangkan tingkat kepadatan orang. Kami akan berjalan ke arah hulu, sampai menemukan tempat yang sepi orang dan nyaman untuk anak-anak bermain air. Biasanya anak-anak akan memilih tempat di mana ada aliran air terjun mini karena di tempat itu ada kubangan yang cukup untuk duduk berendam.. Pio suka berendam di cekungan air bersama Deo. Mereka berdua sering kali perang siram air di situ. Sementara Ion masih kami tahan di pinggiran sungai karena apapun, aliran air sungai tetap berisiko untuk anak sekecil dia. Untungnya, jagoan kami mempunyai karakter yang sama soal air : entah itu kolam renang, pantai, waterpark, atau sungai sekalipun, di mana mereka bisa berbasah-basah di situ mereka happy.

Ini kondisi tahun 2017, Deo masih kecil...

                                                                                                                                                                                                                            


air terjun mini favorit anak-anak 





Setelah hampir 5 tahun berlalu, sudah banyak perubahan yang terjadi saat kami kembali mengunjungi sungai ini. Salah satunya adalah kontur bebatuan sungai yang berubah akibat banjir (lupa tahun berapa). Bermain dengan alam memang tetap harus berhati-hati. Waktu bermain di sungai yang paling aman ya tetap saat musim kemarau.

Kami menyadari letak batu-batu sungai berubah karena air terjun mini kesukaan anak-anak tidak dapat ditemukan lagi. Yang kami temukan sebagai pengganti air terjun adalah kolam kecil dengan aliran air yang lebih besar karena tata letak batu di sekitarnya. 


kolam sebagai pengganti air terjun 
 
Pio dan Deo senang duduk di kolam ini sambil merasakan pijatan arus air di punggung nya. Seperti ini jadinya ..berendam di kubangan.....
                                                                                                                                                                                             

Ion, walaupun dia merengek terus minta bermain bersama kakak-kakaknya, area bermain nya tetap diisolir di pinggiran saja..tetap ada banyak hal yang bisa dilakukan si kecil di situ.. 





                                                                                    
Ketika Ion merangsek ingin ke tempat kakaknya bermain, jadinya kami juga ikut berendam bersamanya 
                                                 
                                                                                                

Selain bermain air, anak-anak juga doyan mengamati tumbuhan dan hewan yang mereka temukan di sungai dan mengambil gambarnya 


Tidak suka basah-basahan? Bisa kok buat foto cantik ala-ala 😎


Kalau buat anak-anak, foto cantik berbasah yang disukai (termasuk papa sih) 😁





Dan seperti biasa, begitu bertemu air...susah sekali diajak pulang. Sudah berhasil dibujuk kembali ke tempat mobil diparkir, melihat air yang tidak mau berhenti mengalir akhirnya nyemplung lagi ..


di tempat parkir, Ion nyemplung lagi 


Di sungai dekat tempat parkir di mana airnya super dangkal sekali, saya mencoba mengambil gambar Ion dengan berbagai sudut. Hasilnya bisa  bagus juga ternyata.

Ini gambar yang diambil acak tanpa pengaturan sudut pengambilan


  
                                                                                                                                                                        Dengan sedikit putar ke kanan dan ke kiri, jadinya seperti ini .....Lumayan kan ?                                                         



Tertarik? Wisata keluarga  murah meriah 😊
































































Jumat, 29 Oktober 2021

Me and Covid-19

Bulan Agustus menjadi bulan spesial bagi saya. Setelah satu setengah tahun Covid 19 menimbulkan pandemi dengan segala dinamika up & down nya, tubuh saya akhirnya berkenalan juga dengan si dia.

29 Juli pagi, ketika bangun tidur saya merasa tidak enak badan dan setelah diukur ternyata benar saya demam. Sesuai dengan aturan rumah sakit jika karyawan mengalami keluhan demam, gejala saluran nafas, atau gejala saluran pencernaan, kami diminta untuk melakukan swab antigen terlebih dahulu. Singkat cerita, saya positif Covid 19 dan harus melakukan isolasi mandiri.


Benar-benar tidak menyangka. Semalam saya masih ikut webinar, masih menerima panggilan telepon, wa-an dengan banyak orang hingga tengah malam, masih menyimpan janji untuk konsultasi, dan pagi harinya saya mendadak punya banyak waktu untuk diri sendiri. Berikut adalah beberapa hal yang saya pikirkan, renungkan, dan lakukan selama duduk diam menunggu pemeriksaan lebih lanjut di poli ISPA :
  1. Mau isoman di mana? Sempat mempertimbangkan isoman di rumah sakit sebagai opsi pertama. Terpisah dari keluarga sehingga memperkecil kemungkinan penularan ke mereka selama isoman. Isoman di rumah daya tariknya adalah saya tetap berada di lingkungan familiar, lebih nyaman secara psikologis, dan saya bisa memantau gejala atau keluhan yang timbul di anggota keluarga yang lain. Akhirnya setelah menimbang-nimbang ditambah dengan saran dari teman-teman, saya memilih isoman di rumah dengan sederet catatan.
  2. Lapor ke mana saja?  Ketika mengabarkan ke suami bahwa saya positif Covid 19, sekalian titip pesan untuk lapor ke RT.  Tugas saya untuk lapor ke Puskesmas. Permasalahannya saya tidak punya kontak person puskesmas wilayah saya sendiri. Yang ada di HP saya adalah CP puskesmas yang ada di sekitar rumah sakit atau yang pernah menghubungi saya untuk satu dua hal yang perlu dikoordinasikan. Tidak masalah, melalui teman-teman puskesmas yang saya kenal, dengan cepat saya mendapat CP petugas puskesmas penanggung jawab wilayah domisili saya. So, jadilah hari itu saya yang proaktif menghubungi dan melapor ke puskesmas.
  3. Bagaimana keluarga saya? Rasa yang langsung timbul  ketika mengetahui swab antigen saya positif adalah kekhawatiran mengenai status anggota keluarga saya yang lain. Bagaimana dengan mereka, apakah mereka negatif atau juga positif Covid 19. Bagaimana jika ada yang positif juga. Bagaimana jika saya dan suami positif sedangkan anak-anak negatif, mau dikemanakan mereka, dan bagaimana mereka selama saya dan suami isoman. Bagaimana jika begini...bagaimana jika begitu... Sudahlah, lebih baik mereka juga cek saja daripada kami bertanya-tanya tidak jelas. Sore itu rencananya suami dan anak-anak akan PCR mengingat mereka masih dalam kondisi sehat segar bugar tanpa gejala sama sekali. Jika swab antigen, kalau hasilnya negatif tetap saja kami akan ragu. Dari mereka berempat, yang paling saya khawatirkan adalah si kecil yang masih menyusu ke saya, tidur dengan saya sehari-harinya. Harapan terakhir saat itu adalah  kebiasaan saya yang selalu bermasker di rumah dapat menyelamatkan mereka. Masa-masa awal pandemi dan ketika terjadi kenaikan angka Covid 19 dapat dibilang saya bermasker 24 jam kecuali saat mandi, makan dan minum. Tapi mengingat saat ini varians yang dominan adalah varians delta, saya pesimis mereka PCR negatif walau berdoa semoga karena viral load yang rendah mereka cukup sampai OTG saja. 
  4. Persiapan tempur di rumah. Selama belum terbukti positif, anggota keluarga harus dianggap negatif. Jadi ketika saya memutuskan untuk isoman di rumah ada aturan strik yang harus ditaati bersama. Tidak boleh ada kontak fisik dalam bentuk apapun antara saya dan anggota keluarga. Ruangan yang saya tempati benar-benar harus terpisah dan tidak ada jalur lalu-lalang saya yang akan bertabrakan dengan jalur yang akan dilalui anggota keluarga lain. Ventilasi baik, tetapi kami harus meminimalisir kebocoran udara dari kamar isolasi ke area dalam rumah. Tidak boleh ada pemakaian barang bersama. 
Persiapan rumah harus segera dilakukan dan harus segera siap, sehingga ketika saya pulang saya bisa langsung masuk ke kamar isolasi saya. Ada untungnya juga kondisi rumah saya saat ini yang masih setengah jadi. Rumah baru ini asalnya adalah 2 ruko lantai 1 yang kami tempati sebagai rumah tinggal. Karena pandemi, kami belum banyak melakukan renovasi perubahan. Ada satu kamar yang kami siapkan di sisi kiri depan sebagai kamar terpisah lengkap dengan kamar mandi dalam walaupun kecil. Kamar ini kami sekat sebenarnya untuk persiapan sekolah tatap muka, untuk jaga-jaga jika nanti ada yang batuk pilek, tapi kok ya akhirnya saya yang pertama kali menggunakannya sebagai kamar isolasi. PR darurat untuk suami dan anak-anak adalah mengeluarkan semua benda yang mereka butuhkan dari kamar itu karena begitu saya masuk tidak ada orang yang boleh memasuki kamar dan / atau  barang yang keluar dari dalam kamar. Kasur bantal guling yang saya gunakan semalam dioper ke kamar ini. Menyiapkan segala printilan kebutuhan hidup di kamar isolasi : peralatan makan minum, masker bedah,  peralatan mandi, deterjen, chlorin, sabun dan perlengkapan cuci piring, pakaian ganti, peralatan bersih-bersih kamar, panci listrik, dan air minum. Kamar isolasi saya memiliki 2 pintu dan 2 jendela. Pintu yang saya gunakan adalah pintu keluar ke teras depan rumah, sedangkan pintu penghubung ke dalam rumah saya kunci dan saya lakban tepinya (sisi sebaliknya juga dilakban). Satu jendela yang berdekatan dengan pintu utama rumah juga saya kunci dan lakban karena di teras depan jendela diletakkan meja kecil tempat makanan saya. Kami juga membeli 2 hepa portable untuk kamar isolasi saya dan kamar tidur dalam. 

Saya pulang, mobil saya parkir di luar pagar dulu di panas matahari, desinfeksi dengan alkohol, semprot desinfektan udara, tutup sebentar lalu buka jendela dan pintu supaya udara berganti. Keluar mobil saya langsung masuk ke kamar isolasi. Mandi keramas, baju saya rendam dengan deterjen dan chlorin, masker bekas pakai juga saya rendam chlorin dulu baru dibuang ke kresek sampah. Semua keperluan dan kegiatan saya lakukan benar-benar terbatas di kamar isolasi, serta nyaris 24 jam menggunakan masker.  Untuk makan minum, gelas/piring/mangkuk saya letakkan di meja kecil di teras, nanti suami akan menuang makan minum saya di situ. Setelah keluar ke teras isolasi, biasanya saya akan menyemprotkan desinfekstan udara sebelum menutup pintu serta jendela, baru sekitar lima belas menit setelahnya  suami keluar untuk meletakkan makanan dan minuman..tentu dengan menggunakan masker. Selesai makan, peralatan saya cuci di kamar mandi supaya siap digunakan lagi. Demikian pula dengan pakaian akan saya rendam dan cuci di kamar mandi lalu saya jemur di depan rumah.  Bersih-bersih dan beberes kamar biasanya saya lakukan 1x sehari atau lebih jika dirasa butuh. Pintu, jendela, meja, atas lemari TV, tempat tidur, serta lantai akan saya lap dengan obat pel yang saya campur chlorin. Bisa dibayangkan banyaknya aktivitas yang dilakukan di kamar mandi mungil itu, tapi demi keamanan semua ya harus dilakukan. Semua sampah yang saya hasilkan apapun itu harus dipastikan telah didisinfektan dengan alkohol dan chlorin, masukkan  ke dalam kresek, semprot alkohol, dobel kresek, dan  semprot alkohol lagi baru dikeluarkan. Setelah saya letakkan di luar, seluruh permukaan kresek saya semprot ulang dengan alkohol, demikin pula semua benda yang saya sentuh seperti pagar, handel pintu, dll. 

Follow up puskesmas juga saya alami. Siang hari setelah saya melaporkan diri, petugas puskesmas menelpon saya menanyakan detail riwayat, keluhan, sudah menerima obat-obatan apa, dan apakah masih ada kebutuhan obat yang belum didapat. Pertanyaan yang sama pun juga diajukan  untuk suami dan anak-anak. Pemeriksaan terhadap suami dan anak-anak sebagai kontak erat saya juga saya komunikasikan dengan puskesmas. Rencananya, jika dari puskesmas tidak ada  pemeriksaan PCR, kami akan cek PCR sendiri. Setelah beberapa kali kontak dan menunggu keputusan puskesmas, saya menerima kabar bahwa suami dan anak-anak akan di PCR oleh puskesmas 4 hari lagi, sekalian menunggu masa inkubasi.

Gejala yang saya alami cukup lengkap. Diawali dengan demam yang muncul pertama dan diikuti dengan sakit kepala, nyeri otot, mual, serta batuk. Demam yang timbul cukup tinggi dan bandel bertahan di 38-39 C, hanya turun sebentar setelah minum obat penurun panas untuk kemudian naik kembali. Dengan adanya mual, nafsu makan otomatis merosot. Namun saya tetap menghabiskan semua makanan dan minuman tambahan (susu, teh jahe, kacang hijau, dll) yang diberikan. Batuk kering tanpa dahak mulai muncul pada hari ketiga, dan anosmia juga tidak luput menghampiri saya sekitar hari kelima. Untungnya indra pengecap saya tidak kehilangan fungsinya, sehingga saya masih bisa merasakan asin manis nya makanan minuman walau tanpa aroma. 

2 Agustus malam, saya mulai merasakan nafas menjadi pendek-pendek dan saturasi oksigen beberapa kali turun di 94% namun masih bisa kembali dan bertahan cukup lama di 95%.  Saya sudah merasa tidak nyaman bermasker karena  ampeg, akibatnya  masker sering saya lepas supaya bisa lebih lega bernafas. Kontak dokter paru, beliau  menyarankan untuk dirawat inap namun akhirnya diputuskan observasi kondisi saya malam itu hingga besok pagi sambil antri ruang isolasi. Beruntung sejak awal saya telah menginformasikan kepada beliau bahwa saya konfirm Covid 19 berikut obat-obatan yang saya terima sehingga ketika terjadi penurunan kondisi seperti ini, saya tidak sungkan menghubungi beliau. Bukan hanya itu, saya juga  melaporkan kondisi tersebut kepada atasan saya dan juga puskesmas.  Malam itu saya tidur dengan posisi proning, berharap esok pagi kondisi akan lebih baik. 

Keesokan harinya, subuh saat bangun tidur, hal pertama yang saya rasakan adalah tubuh yang basah dengan keringat dan dada yang terasa berat. Ambil oxymeter, saya mengukur saturasi oksigen. Dag-dig-dug menunggu angka muncul di layar. Mak deg rasanya saat angka pertama yang terbaca di indikator saturasi ada di kepala delapan, saya lepas, saya pasang lagi di jari lain hingga akhirnya nilai saturasi yang paling sering muncul berkisar di 91-92, kadang di 93. Sambil menunggu waktu saya mencoba berubah posisi, menarik nafas dalam, namun saturasi tetap berada di kisaran 92. Dengan berat hati  saya melaporkan penurunan saturasi kepada dokter paru  dan  instruksi rawat inap tidak bisa dihindarkan, demikian pula direktur saya yang sudah gelisah dari semalam. Saya kontak puskesmas untuk melaporkan perkembangan terbaru dan meminta bantuan mereka untuk mengantar saya ke rumah sakit, dan juga menghubungi IGD mengabarkan bahwa saya jadi rawat inap. 

Selesai sarapan saya mandi, menyempatkan diri untuk keramas dulu karena  tidak tahu kapan saya bisa keramas lagi. Cuci baju yang sudah saya rendam di kamar mandi, beberes kamar isolasi, dan packing tentunya. Kegiatan rutin yang rasanya sepele di saat sehat sudah terasa berat. Saya berulang kali  berhenti karena harus menata nafas yang tersengal. Oleh suami baju-baju saya diletakkan di teras, saya ambil dan pilah untuk dibawa ke rumah sakit. Juga kebutuhan pribadi seperti handuk, perlengkapan mandi, sisir, masker bedah, dan printilan lain.  Dijemput ambulans puskesmas sekitar pukul 10 pagi, dan hari itu untuk pertama kali nya saya naik ambulans sebagai pasien. 

Sampai di IGD saya masuk ke ruang airborne (ruang khusus di IGD yang digunakan untuk pasien-pasien Covid 19). Sama seperti tadi pagi, saturasi pertama yang muncul adalah di kepala delapan, dan setelah  menunggu beberapa lama untungnya tetap mau naik ke kepala sembilan. Oksigen dipasang, infus, foto dada ulang, swab PCR, ambil darah, masukkan beberapa obat, dan kembali saya harus naik ambulans. Kali ini ambulans rumah sakit untuk diantar ke ruang isolasi. Pengantaran pasien rawat inap Covid 19 memang agak spesial karena menggunakan ambulans, keluar ke jalan raya memutari rumah sakit, masuk melalui gerbang satunya di sisi gedung yang berbeda untuk bisa mengakses ruang isolasi Covid 19.  Pertanyaan pertama yang terbersit di kepala saat dipindahkan ke tempat tidur ruangan adalah berapa lama saya akan menghuni kamar ini...

Kamar isolasi darurat tempat saya dirawat

Begitulah,  sejak tgl 3 Agustus 2021 siang saya dirawat di ruang isolasi Covid 19. Bed rest total, tidak boleh turun  tempat tidur, termasuk untuk keperluan BAB /BAK harus dilakukan di atas tempat tidur. Saya tidak mau menyalakan AC karena saya kedinginan ditambah badan ini selalu basah oleh kucuran keringat. Hari-hari awal dirawat saya susah tidur karena setiap kali memejamkan mata, dalam kondisi setengah tidur selalu ada sensasi aneh. Terasa digoyang-goyang serta badan seperti dipukul dan ditarik-tarik...tidak nyaman. Jika saya bisa bertahan ya lanjut terlelap, tetapi jika tidak tahan dan membuka mata...sensasi itu hilang tapi saya batal tidur. Untuk tidur, posisi paling nyaman sebenarnya  tengkurap... dada rasanya paling ringan dan batuk juga paling minimal.  Saya bisa bertahan bahkan tertidur dalam posisi ini dalam hitungan jam... hanya ya itu, kelemahannya ada di leher... kemeng, ngilu jika terlalu lama tengkurap. Posisi lain yang cukup nyaman adalah tidur dengan posisi kepala agak tinggi. Jika rebahan dengan bantal rendah, miring kiri maupun kanan rasanya sesak dan batuk akan terpicu. Demikian juga dengan perubahan posisi dari berbaring ke duduk, pasti akan memicu batuk yang ngekel dan ujung-ujungnya dada terasa ampeg.

Dirawat di ruang isolasi Covid 19 tanpa ada keluarga yang menunggu, tidak diperkenankan untuk turun tempat tidur, dan tidak bisa melepas asupan oksigen membuat saya menjadi amat bergantung kepada teman-teman perawat. Mandi, membersihkan diri setelah BAK / BAB, bahkan berganti pakaian pun, saya membutuhkan bantuan mereka. Setiap pagi dan sore saya diseka, diganti pakaiannya, pampers, serta linen teratas tempat tidur. Sekali dalam sehari (biasanya siang hari), petugas linen akan mengganti seluruh linen tempat tidur dan sarung bantal. Jika saya beruntung,  saya terkadang mendapat bonus berupa ekstra seka dan berganti pakaian. Lumayan menyegarkan badan yang berkeringat. Persoalan BAK juga merepotkan. Walau sudah mengenakan pampers tetap saja setiap kali BAK harus diganti karena penuh bahkan sering sampai merembes membasahi pakaian dan sprei tempat tidur. Mungkin karena sudah hafal, tidak jarang jika perawat saya kontak untuk mengganti pampers mereka datang sudah dengan membawa pakaian dan linen ganti. Jika dihitung-hitung cukup sering frekwensi perawat masuk ke ruang perawatan. Mulai dari mengantar dokter paru visite, mengukur tanda vital, kontrol infus, memasukkan obat (belum kalau obatnya didrip botol kecil), mengantar dan mengambil makanan, seka, membantu saya setiap kali BAB/BAK, dan mengantar titipan-titipan dari keluarga atau sahabat-sahabat. Beberapa kali di hari awal perawatan, mereka menawarkan diri untuk menyuapi saya, hanya saya tolak karena masih sanggup melakukannya sendiri. Juga supaya lebih nyaman saja ketika saya harus berhenti sebentar untuk meredakan mual. Dengan kondisi perawatan seperti itu, saya tidak terlalu merasa kesepian dan terisolasi karena masih ada orang yang kontak dengan saya...hanya penampilannya saja yang berbeda dibandingkan ruang perawatan biasa terkait hazmat dan APD lain yang dikenakan. Berbagai macam nuansa teman perawat, mereka dengan tampilannya masing-masing. Ada yang formal, ada yang bersemangat tinggi sehingga ketika dia yang masuk ke kamar kesannya jadi meriah, ada yang gemar bercerita, ada yang berjalan mengendap-ngendap ketika kontrol infus karena tidak ingin saya terbangun (padahal saya belum tertidur hehehe). Membayangkan sekian banyak pasien seperti saya yang harus mereka layani, dan banyak diantaranya dengan kondisi yang lebih buruk hingga membutuhkan pendampingan lebih. 

Benar-benar luar biasa Covid ini. Seumur hidup, baru kali ini saya mengalami sakit yang mengharuskan mendapat terapi dalam jumlah banyak. Setiap hari ada banyak obat yang harus saya minum, disuntikkan, atau dimasukkan melalui infus. Mungkin karena itu juga, usia infus saya tidak pernah panjang. Kurang lebih dua hari sekali saya harus ditusuk ulang untuk memindah jalur infus yang bengkak atau macet. Bahkan beberapa jam sebelum saya boleh pulang saya masih harus ditusuk ulang karena infus macet ditengah perjalanan drip obat terakhir. Demikian pula untuk pemeriksaan laboratorium. Ada banyak pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan dan sebagian diantaranya memerlukan pengecekkan ulang. Kasihan juga melihat teman-teman analis yang membolak-balik tangan saya untuk mencari area yang bisa dijadikan sasaran tusukan mengambil sampel darah. Selama dirawat, dua kali saya harus difoto dada ulang untuk melihat perkembangan paru, juga hidung tenggorokan tidak luput diswab ulang untuk evaluasi PCR. 

BAB pun bisa menjadi problem besar bagi saya. Susah sekali mensugesti otot dubur untuk mau membuka agar si pup bisa keluar, ditambah efek samping obat batuk yang memang mempersulit BAB. Jangankan untuk BAB, BAK saja saya tidak bisa melakukannya dengan posisi tidur. Minimal saya harus duduk di  tempat tidur, baru bisa keluar. Setiap kali perut terasa mulas, berbagai posisi sudah saya coba agar pup bisa keluar mulai dari duduk, berlutut, jongkok, bahkan merayap turun ke lantai sebelah bed. Kadang saya berhasil BAB walau tidak banyak, namun lebih sering gagalnya hanya dapat gobyos keringat. Puncak kisruh perBAB-an ini  adalah saya merasa sakit perut terus-menerus. Mules banget, makan tidak enak, tidur tidak bisa. Tengah malam terpaksa saya ngrepoti teman-teman perawat dan membuat kehebohan karena urusan pup ini. Untuk membantu bisa BAB, malam itu saya diijinkan ke kamar mandi dengan tetap menggunakan oksigen, ditemani perawat. Tetap tidak berhasil, malah darah yang merembes karena si ambeien ikutan beraksi. Setengah dua dini hari akhirnya dimasukkanlah pencahar dari dubur yang menyebabkan saya nangis-nangis karena nyeri dan si obat ini ternyata tidak bisa mulus masuk, sebagian mengalir keluar kembali saking kerasnya pup di dalam sana. Jam dua lebih dini hari drama kamar kecil ini berakhir, saya bisa BAB. Setelah membersihkan diri, diganti pakaian, saya akhirnya bisa tidur walau hanya sebentar karena sekitar jam lima saya sudah dibangunkan untuk seka dan kontrol tanda vital.

Kontak dengan keluarga otomatis hanya bisa dilakukan via WA, telepon atau videocall. Durasi telepon biasanya singkat karena nafas yang belum bersahabat untuk bicara. Kabar menggembirakan mengenai kondisi keluarga saya terima dari Puskesmas di hari kedua rawat inap. Hasil PCR suami dan anak-anak yang dikirimkan via WA menginfokan bahwa mereka semua negatif Covid19. Legaa rasanya karena saya sama sekali tidak menyangka mereka semua negatif. Terbayar sudah upaya saya melindungi mereka dengan tetap memakai masker di rumah selama puncak gelombang kedua ini, dan yang pasti tidak bisa dilepaskan dari  perindunganNya yang luar biasa kepada keluarga kami. Selama saya dirawat di ruang isolasi, suami mendapatkan laporan perkembangan kondisi  melalui WA dari perawat ruangan di setiap shiftnya. Pernah dia merasa khawatir karena saya tidak membalas WA hingga malam, sampai akhirnya kontak ruangan, dan dijawab bahwa saya tidur sambil dikirim foto saya dari layar cctv.  

Hingga saat ini saya pun masih tidak bisa memastikan kapan, dimana, bagaimana saya tertular Covid 19. Saya bukan orang yang menyepelekan Covid 19. Saat harus membantu di pelayanan APD lengkap saya pakai, tidak pernah makan bersama, cuci tangan juga sudah tidak terhitung. Namun, pasti ada titik lengah yang saya lewati sehingga akhirnya benteng pertahanan ambruk juga. Apakah saat saya mundur dari tempat pelayanan untuk minum sehingga saya lepas masker? Walau tidak ada orang di ruangan tersebut, kita tidak pernah tahu kondisi udara nya. Apapun, harus semangat lebih ketat lagi prokes dari yang sudah-sudah. Masih terheran-heran juga bahwa saya akhirnya jatuh ke kondisi berat sampai membutuhkan rawat inap, meleset dari keyakinan awal bahwa saya cukup isoman saja. Usia belum lansia, tidak ada komorbid, vaksin lengkap dua dosis, tidak obesitas juga. Satu hal yang saya yakini, seandainya saat saya tertular saya belum vaksin, mungkin kondisi saya akan jauh lebih buruk. Dari penjelasan dokter yang merawat, saya harus bersyukur bahwa paru-paru dan tubuh saya saat itu merespon oksigen dan obat-obatan dengan baik sehingga tidak terjadi perburukan kondisi selama perawatan. 

Sangat besar kasih Tuhan pada saya saat itu. Semua yang saya butuhkan untuk sembuh disediakan dengan caraNya. Banyak sekali cinta yang saya rasakan dari orang-orang disekitar saya, bahkan dari mereka yang jauh atau jarang berhubungan. Keluarga pasti. Tapi disamping mereka, masih ada dokter paru dan perawat yang menangani saya, atasan, teman-teman rumah sakit, teman sekolah, sahabat, bahkan mereka yang hanya sekedar mengenal saya. Tiada hujan tiada angin, beberapa orang tetiba menghubungi saya walau selama ini mereka bukanlah yang rutin berkomunikasi dengan saya...bahkan ada yang bertemu fisikpun belum pernah. Ketika saya tanya kenapa kok tiba-tiba kontak, jawabannya sama : "Entahlah, tiba-tiba ingin nelpon..ingin wa". Membaca atau mendengar jawaban ini ada rasa hangat di dalam hati dan mau tidak mau saya jadi tersenyum sendiri.

Demi menjaga agar saya tidak stres dan turun kondisi, ada kesepakatan tidak tertulis untuk tidak memberitahu saya kondisi yang sesungguhnya. Sebenarnya saya sempat curiga karena beberapa kali bertanya mengenai hasil foto dan laboratorium tidak dijawab, hanya saja saat itu saya sendiri juga berniat untuk tidak berfikir apa-apa dan menyerahkan sepenuhnya kepada dokter paru yang merawat saya. Beliau bilang oke saya oke, beliau berkata jangan sayapun akan mengikuti. Saya sempat sampaikan bahwa untuk kali ini saya minta ijin manja kepada beliau. Dua labu plasma konvalesen yang dibutuhkan dapat diperoleh walaupun dari luar kota. Demikian pula Actemra, obat yang pada masa itu menjadi sasaran perburuan tingkat tinggi karena sulit didapat. Awalnya saya tidak tahu menahu sama sekali mengenai pontang pantingnya rekan-rekan saya mencari Actemra. Secara tidak sengaja saya membaca di whatsapp group (sepertinya mereka lupa saya belum dikeluarkan dari wag) mengenai koordinasi pencarian Actemra yang akhirnya diperoleh dari salah satu rumah sakit di Solo. Sempat tertegun ketika membaca teman-teman Solo memutuskan untuk mengantar obat tersebut ke Malang alih-alih menunggu driver Malang mengambil ke Solo. Dari situ pula saya menerka bahwa indikator laboratorium saya kacau balau. Campur aduk rasanya membaca semua itu...

Setiap hari, saya selalu menantikan kedatangan dokter paru yang merawat saya. Senang saja rasanya melihat dan mendengar suara beliau. Pernah suatu malam saya bertahan untuk tidak tidur dulu karena menunggu kedatangannya di jam-jam kebiasaan visite. Di saat saya menyerah karena berfikir mungkin hari ini tidak datang dan berancang-ancang tidur, beliau muncul. Seperti anak kecil entah mengapa saya merasa bahagia. Sempat terselip rasa bersalah karena beliau tergesa-gesa ke ruangan saya begitu melihat dari cctv saya sudah bersiap-siap tidur. Jauh setelahnya  ketika saya sudah lebih sehat, saya  mendapat cerita betapa  beliau khawatir dengan kondisi saya, juga takut saya drop ketika mengetahui pasien-pasien lain silih berganti meninggal dunia. 
Demikian pula kasih sayang atasan saya terasa sekali saat itu. Beliau yang mengambil alih peran keluarga untuk memberikan persetujuan tindakan medis yang dilakukan ke saya. Beliau yang menjadi sasaran banyak orang yang menanyakan kondisi saya, beliau yang mengirimi saya lagu-lagu untuk diputar di kamar isolasi, dan yang rutin mengirim wa menanyakan kabar tetapi menolak dihubungkan via telepon ketika melihat saya melalui cctv ruang perawatan karena takut tidak mampu menahan emosi. 
Ada lebih banyak lagi kisah mengenai  kekhawatiran dan perhatian beliau berdua kepada saya yang diceritakan oleh orang-orang di sekitar saya. Ketika mendengar semua  ini, seandainya saat ini bukan masa pandemi, ingin rasanya memeluk erat sebagai tanda terima kasih.

Banyak kiriman susu, roti, makanan berat maupun kecil, kaldu daging, kaldu kutuk, rangkaian bunga yang cantik, bahkan permasalahan BAB saya menyebabkan aliran buah-buahan dan salad. Begitu banyaknya hingga saya tidak mampu menghabiskan semua, apalagi makanan yang tidak tahan lama. Beberapa kali saya meminta tolong untuk dibagikan ke pasien lain yang mau dan boleh. Hal sederhana seperti titipan setermos teh panas rasanya luar biasa manis di hati. Begitu juga kiriman segelas ramuan jahe dari teman-teman instalasi gizi..sparkling.

Salah satu memo yang mampir ke tempat tidur saya 

Genap tiga belas hari saya harus menghabiskan waktu di ruang rawat inap. Hari demi hari kondisi saya membaik. Saya yang semula kedinginan mulai merasa kepanasan sehingga meminta AC ruangan untuk dinyalakan. Oksigen perlahan diturunkan dengan segala dinamikanya. Kadang saturasi turun lagi sehingga oksigen terpaksa dinaikkan kembali hingga stabil dan saya harus kembali bersabar  menunggu aman untuk diturunkan. Kegembiraan yang luar biasa ketika saya diijinkan untuk turun ke toilet, mandi dan keramas. Belajar disapih dari oksigen yang semakin hari durasinya semakin lama. Belajar berjalan di sekitar tempat tidur hingga boleh berkeliling kamar. Belajar bersahabat dengan batuk yang ngekel setelah saya berhenti meminum obat batuk, dan belajar bersabar untuk menantikan ijin pulang. 
Tgl 15 Agustus 2021 akhirnya saya boleh pulang setelah menyelesaikan infus obat terakhir dan dijemput petugas puskesmas. Sepanjang perjalanan pulang saya merasa amazing bisa melihat jalanan lagi, langit sore dan hembusan angin, dan bersyukur masih diberi kesempatan untuk boleh bernafas dan pulang ke rumah dalam kondisi yang lebih baik.

Di rumah, di dalam kamar isolasi, untuk pertama kalinya saya mengetahui hasil foto dan laboratorium selama rawat inap. Merinding rasanya melihat gambaran foto paru di awal saya masuk rumah sakit yang dipenuhi bercak bercak putih, juga nilai laboratorium yang kacau. 
Pada akhirnya, pengalaman dua minggu di rumah sakit karena infeksi Covid 19 bukanlah pengalaman menyenangkan yang bisa dirindukan, tetapi masa itu menunjukkan kepada saya besarnya kasih Tuhan kepada saya melalui banyak tangan disekitar saya.




💖Terima kasih banyak atas segala doa, dukungan, dan bantuan yang diberikan kepada saya baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga kita semua selalu dalam perlindunganNya💖









Sabtu, 12 Oktober 2019

S2- MMRS 2016 FKUB

Sudah lama pakai buuangeeet saya vakum menulis. Hampir 3 tahun draft ini tetap sebagai draft tanpa sempat saya sentuh. Rasanya sudah sulit sekali menyisihkan waktu di antara kuliah, bekerja, mengganti jam kuliah, mengerjakan segala tugas yang berdatangan, termasuk umek dengan krucil-krucil. Saya lebih memilih menyisihkan waktu untuk membuat kue bersama para krucil untuk menebus kurangnya waktu bersama mereka...
Suka tidak suka, apapun risikonya, begitu masuk ke bangku perkuliahan, ya harus dijalani dengan target lulus tepat waktu. Begitu kegiatan di kampus mulai, itu menandakan bahwa masa-masa saya harus lembur juga dimulai. .

Saya memulai masa perkuliahan di Magister Manajemen Rumah Sakit UB pada pertengahan tahun 2016. Perkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai macam daerah dan  penyesuaian diri dengan kengiatan ataupun lingkungan kampus menjadi hal yang mutlak dialami.  Untunglah di program pasca sarjana ini tidak ada agenda orientasi yang aneh-aneh (males banget deh), kami hanya diwajibkan menempuh matrikulasi dan acara outbond. Kegiatan outbond diselenggarakan di PWEC selama 1 hari penuh dari pagi hingga sore. Acara sama dengan kegiatan outbond lainnya, didominasi oleh permainan beregu untuk melatih teamwork.









Kebanyakan hari perkuliahan diadakan setiap Jumat Siang dan Hari Sabtu. Jadi sering kali jam 12 setiap Jumat saya pergi meninggalkan umah sakit untuk menjalani perkuliahan hingga sore / malam. Kuliah hari Sabtu biasanya berlangsung sehari penuh dan pada beberapa kesempatan kuliah bisa dilangsungkan diluar waktu tersebut untuk mengganti pertemuan yang berhalangan. Perkuliahannya normal seperti umumnya kuliah, yang  unik menurut saya adalah tugas kuliah selain tugas pribadi lebih banyak tugas kelompoknya. 



 


Kelompok tugas ini  anggotanya tetap dari awal sampai akhir perkuliahan, termasuk ujian akhir juga dikerjakan berkelompok. Untuk ujian akhir kami selalu membuat semacam paper dengan tema yang ditentukan oleh prodi, mencakup semua mata kuliah semester terkait, serta berdasarkan data real rumah sakit lahan. Ujiannya dilakukan secara berkelompok, dihadapan seluruh dosen mata kuliah dan perwakilan rumah sakit, plus tetap ada  tanya jawab individunya. Semacam ujian tesis lah, hanya saja materinya jauh lebih luas dan ada barengannya hehehe...



Yang ini adalah kenangan menunggu maju UAS dan saat maju UAS semester 1 

Menunggu ujian...dag dig dug nya ituuu

On fire UAS semester 1
Bersama penguj dan Direktur RS setelah ujian berakhir 

Kami pernah mempunyai cita-cita untuk berfoto di jam UB setiap kali selesai ujian semester, tetapi ya begitu....tidak pernah bisa lengkap 1 kelompok. Ada saja halangannnya ...
Pasca UAS semester I hanya kami berdua yang foto. Hambatannya adalah hujan deras setelah UAS selesai. Akhirnya buyar, pulang ke tempat masing-masing. Kami berdua masih tinggal di kampus menunggu hujan reda  dan akhirnya berangkat ke jam UB untuk berfoto walaupun masih rada-rada gerimis 


Untuk semester 2 lumayan lengkaplah personel yang ikut berfoto di jam UB setelah selesai UAS hehehehe...
Setelah ujian UAS semestrer 2




 



Naaaa.....setelah UAS semester 3 yang kami sama sekali tidak memiliki foto bersama di jam UB.  UAS semester 3 adalah persiapan proposal tesis, jadi kami harus presentasi sendiri-sendiri di waktu dan hari yang berbeda.. Demikian pula dengan ujian final kami di semester 4, kami tidak memiliki foto bersama karena ujian semester 4 adalah ujian tesis yang benar-benar terpencar...

Ngomong-ngomong soal tesis, yang paling berkesan untuk saya adalah 'statistik'. Entah bagaimana, dan mungkin memang jalan yang harus saya lalui dalam pengolahan data, mulai uji kuesioner hingga pengolahan data kok ya adaaa saja. Uji validitas kuesioner saya mengulang 2 kali hingga akhirnya memiliki kuesioner yang layak pakai. Begitu jalan, data yang dihasilkan membuat bingung banyak pihak dan saya disarankan mengulang pengambilan data. Setelah  pengambilan data ulang bukan berarti masalah selesai. Tetap saja ada hasil yang tidak dapat dijelaskan dengan enak  sampai-sampai dengan pertimbangan pembimbing, saya memasukkan data penelitian di lembaga statistik lain. Hasilnya tidak sama persis, dan lagi-lagi tetap ada hal yang tidak dapat dijelaskan dengan memuaskan (bagi pembimbing dan saya) kenapa bisa begitu. Lumayan juga saya merogoh dompet untuk analisis statistik, karena metode pengolahan data yang saya pakai adalah PLS (mahallll...). Di tengah putus asa belum mendapatkan hasil analisis yang bisa saya pahami, terima, dan dapat menjelaskan kenapa bsa muncul ketidakvalidan hasil...akhirnya saya browsing mengenai pengolahan data statistik PLS, dan menemukan tempat pengolahan data PLS di Solo. Tidak tahu apa yang mendorong saya waktu itu untuk kontak beliau. ..kenal tidak, tahu juga baru itu saat browsing ....dan ternyata direspon. Setelah berbincang sedikit saya menceritakan masalah yang saya hadapi dan saya minta tolong untuk dilakukan analisis PLS ulang atas data-data saya. Singkat cerita seluruh data saya kirim via email kecuali hasil  PLS dari dua lembaga statistik Malang.  Saya ingat saat itu pas masa liburan Lebaran 2018. Pasrah...Analisis data PLS di Malang membutuhkan waktu beberapa minggu hingga hitungan bulan (antri juga sih soalnya). Laaa ini saya masukkan bertepatan dengan libur Lebaran, entah jadi berapa lama. Akhirnya karena saya tidak bisa mengerjakan apa-apa kecuali menunggu, laptop saya tutup, lupakan sejenak soal tesis, dan saya berlibur ke Jawa Tengah mencoba tol fungsional. Niat sih lupakan tesis...kenyataannya saat lewat daerah Solo, hati ini rasanya pingin nyari rumah si bapak statistik 😩

Kata-kata mutiara 'Pertolongan Tuhan tepat pada waktunya' rupanya terjadi pada saya saat itu. Setelah saya kembali dari liburan di Jawa Tengah, bapak statistik Solo  menelepon. Rupanya selama masa Lebaran, beliau masih menyempatkan diri ngutak atik data saya. Seingat saya (sudah lama sih...sudah lupa persisnya) saya mendapatkan kabar pertama hasil PLS dari Solo kurang lebih 1 minggu setelah data saya kirim...nggak lama...Rasanya terharu banget mengingat waktu itu adalah waktunya orang libur panjang, tetapi justru saya mendapatkan respon yang cepat. Hasil analisis PLS awal dikirim ke saya dan  bapak statistik (maaf ya tidak saya sebut nama) beberapa kali mengontak saya (atau saya yang kontak beliau untuk menanyakan banyak hal mengenai lingkungan kerja dan kondisi responden saya. Dari itulah beliau dapat menganalisis kenapa  hasil data PLS saya ada yang tidak valid.  Ada 1-2-3 faktor yang beliau simpulkan dari jawaban saya atas pertanyaan beliau yang menjelaskan ketidakvalidan tersebut...dan saya klik dengan jawaban tersebut. Masuk akal bagi saya dan menjelaskan banyak hal yang berputar-putar di kepala saya. Liburan berakhir dan saya menemui dosen pembimbing, beliau langsung oke dengan penjelasan PLS terbaru. Mau menangis beneran..tesis yang sempat terhenti berbulan-bulan bisa jalan lagi. Masih ada satu hal lagi yang membuat saya tercengang...biaya analisis statistik PLS  terakhir jauh lebih murah daripada 2 satistik awal saya. 

Dengan segala kerikilnya, saya sampai di perjuangan terakhir...ujian tesis ..punya barengan sesama rekan perjuangan seminar hasil..


 

Seleai ujian tesis, selesai sudah perjuangan akhir saya menyelesaikan S2. Revisi tesis tidak memakan waktu lama, dan saya bisa yudisium dan wisuda bersama teman-teman angkatan MMRS 2016.

 

Bersama bu Nia yang selalu menemani dan membantu perjuangan tesis saya 
Foto ijazah...bersama rekan seair mata  (ussh...lebay) saat magang dan seminar hasil



Tes TOEFL buat syarat wisuda .....



Dan akhirya wisuda...





 

Dan inilah foto terakhir saya di  jam UB bersama sahabat seperjuangan.  Kami  mengawali dengan foto berdua saat selesai UAS semester 1 dan kami menutup  perjalanan studi kami dengan foto berdua juga di jam UB..

 



Seluruh teman-teman MMRS 2016...miss u all...