Selasa, 29 September 2015

Berpetualang ke Banyu Anjlok Bersama Balita

Banyu Anjlok merupakan salah satu objek wisata alam yang terletak di pesisir selatan arah perbatasan Malang - Lumajang,  berupa air terjun yang langsung bersebelahan dengan pantai. Unik bukan? Bukan hanya itu, dengan mengunjungi lokasi ini kita akan dapat menikmati beberapa spot wisata sekaligus karena letaknya yang berdekatan antara lain Pantai Lenggoksono, Banyu Anjlok, pantai Bolu-Bolu, dan Teluk Kletekan .

Untuk mencapai lokasi wisata ini diperlukan waktu perjalanan kurang lebih 2,5-3 jam dari kota Malang  menggunakan mobil (dengan catatan jika arus lalu lintas lancar). Kami berangkat dari rumah pukul 06.45 pagi dan tiba di pantai Lenggoksono sekitar pukul 10.15, itu sudah dengan insiden tertahan 30 menitan karena ada pengerjaan aspal jalan di dekat pantai  Lenggoksono. Tetapi, hal yang harus diingat bahwa kami menuju pantai Lenggoksono pada hari kerja sehingga jalanan cukup sepi.
Dari kota Malang ambilah arah menuju Dampit terus ke arah piket nol. Nanti jika kita menemui pertigaan patung garuda (kelihatan jelas kok patung garudanya) berbeloklah ke kanan menuju Tirtoyudo.  Setelah melewati gapura selamat datang Tirtoyudo, kita tinggal mengikuti jalan aspal sambil sesekali mencari tanda / petunjuk arah menuju desa Pudjiharjo / Lenggoksono / Banyu anjlok. Cukup mudah diikuti karena penduduk setempat telah mebuat petunjuk arah di setiap persimpangan, tetapi jika masih bingung jangan segan bertanya.

Ruas jalan setelah pertigaan garuda sampai ke pantai Lenggoksono dapat dibilang mulus. Di kilometer terakhir sebelum pantai Lenggoksono jalanan masih berupa cor semen, tetapi ketika itu sedang dalam proses pengaspalan. Dan hal itulah yang menghambat perjalanan kami karena mesti menunggu proses aspal jalan di depan kami selesai (menuang adonan aspal, meratakan, sampai menggilas dengan mesin giling sehingga siap dilalui kendaraan...).  Yang menjadi hambatan adalah kondisi  jalan yang sempit sehingga kalau papasan dengan kendaraan besar seperti truk harus mengalah salah satu. Di samping itu medan alam yang penuh dengan tanjakan / turunan panjang dan cukup ekstrim, serta belokan curam dengan jurang di kanan kiri. Jadi, jika sedang merencanakan perjalanan ke Lenggoksono persiapkanlah kendaraan dalam kondisi sehat siap pakai, tidak kelebihan beban muatan, dan driver yang handal. Kondisi jalan berkelok-kelok menuju sendang Biru belum ada apa-apanya.

Jalanan sempit menuju Lenggoksono

Truk pengangkut aspal

Pemandangan laut dari ketinggian jalan
Pantai pertama yang kita jumpai adalah pantai Lenggoksono. Ketika tiba di Lenggoksono, suasana amatlah sepi (maklum bukan hari libur), hanya ada 1 mobil yang sedang parkir  dan 1 keluarga yang tampak jalan-jalan di tepi pantai. Padahal tadi saat kami terhambat di pengaspalan jalan, ada beberapa sepeda motor yang mendahului mobil kami dan tampaknya mau ke Lenggoksono juga. Perahu-perahu  yang biasanya (nebak nih) dipakai untuk mengantar wisatawan juga berderet parkir, tidak nampak 1 perahupun yang ada di pantai. Setelah celingak-celinguk sebentar, kami menghampiri bapak-bapak yang sedang duduk ngobrol dan dari beliaulah kami mendapat beberapa penjelasan. Untuk mencapai Banyu anjlok ada tiga pilihan cara : naik perahu jungjung (perahu kecil dengan sayap di kanan kiri), naik ojek atau jalan kaki. Naik perahu atau naik ojek biayanya sama : 50 ribu / orang, sedangkan jalan kaki free.

Untuk kami yang membawa anak kecil (Pio 7 tahun dan Deo 2,5 tahun), inilah pertimbangan kami memilih cara transportasi ke Banyu Anjlok. Sebenarnya saya dan suami sudah banyak mendiskusikan hal ini sebelum kami memutuskan untuk pergi ke Banyu Anjlok membawa Pio yang semangat 45 ngidam berat kepingin pergi. Beberapa malam sebelumnya  kami juga  melihat di you tube mengenai suasana ketika berperahu menuju Banyu Anjlok, termasuk mewawancarai teman saya yang sudah pernah ke sana.
  1. Cara mencapai banyu anjlok  yang tanpa biaya alias jalan kaki / trecking otomatis kami hapus dari daftar. Tidak mungkin membawa Pio dan  Deo berjalan kaki melalui medan yang cukup berat dengan durasi waktu sekitar 1,5 - 2 jam.
  2. Alternatif kedua dengan ojek juga dengan terpaksa kami coret. Menurut bapak yang kami tanya medan yang dilalui ojek ternyata cukup berat naik turun melalui jalan setapak kecil dengan jurang disampingnya. Ada yang memotong sungai juga. Mempertimbangkan Deo yang saya ragu bisa duduk diam sehingga tidak mengganggu keseimbangan sepeda, daripada ada apa-apa mending tidak. Ditambah lagi jika mencapai Banyu Anjlok dengan sepeda motor, kita masih harus menuruni tebing dengan tangga kayu sembari berpegangan tali tampar. Coret! Pio pun pasti belum sanggup apalagi si kecil, padahal sasaran utamanya main di grojogan air terjunnya yang terletak di bawah (bagian pantai).
  3. Alternatif terakhir yang masih mungkin untuk membawa anak-anak ke sana adalah dengan perahu. Pio tetap tak terpatahkan keinginan ke Banyu Anjlok dan sudah nyeret saja untuk cepat-cepat naik perahu. Deo? Nah si kecil ini yang saya agak kuatir berhubung dia selalu takut ketika mendengar debur ombak, dan apesnya saat kami berkunjung ke sana, ombak di Lenggoksono sedang besar walau masih bisa dilalui. Akhirnya saya memutuskan untuk mencoba mengajak Deo naik perahu, jika belum-belum  sudah ketakutan, ya saya sempat berpikir akan tinggal di Lenggoksono. Biarlah Pio dan Papa yang ke Banyu Anjlok, nanti lain kesempatan gantian saya (atau sebaliknya). Ternyata Deo diam saja ketika saya naikkan perahu dan saya pangku .... go...bisa lanjut nih! Pertimbangan lain kami memilih naik perahu adalah kami berempat sudah memiliki life jacket sendiri-sendiri.  Sebenarnya masing-masing perahu  telah menyediakan jaket pelampung yang mencukupi untuk dikenakan masing-masing penumpang. Untuk anak sesusia Pio kayaknya ada (pengalaman teman), tetapi yang benar-benar pas untuk ukuran anak usia Deo saya tidak tahu.
Seperti info sebelumnya biaya naik perahu adalah 50 ribu / orang (PP), dan minimal 350 ribu per satu kali keberangkatan. Waah..karena kami hanya berlima dengan driver, berarti kurang dua orang dong..atau kami harus menutup kekurangan biaya menjadi 350 ribu. It,s oke. Gapapalah kami menambah ekstra 100 ribu. Eeeh dasar dewi fortuna masih menyertai, datanglah dua orang lagi muda-mudi yang berniat naik perahu..jadinya pas memenuhi kuota minimal.

Saya memilih area bangku yang paling belakang, dekat nahkoda utama perahu. Pertimbangan saya adalah tempat duduk di dalam area sayap perahu harusnya adalah yang paling minim goncangan, saya bisa mendapatkan ekstra sandaran bambu untuk mengokohkan posisi memangku Deo, plus dekat dengan bapak pengemudi (lebih tenang saja di hati).

Di atas perahu

Pemandangan dari perahu
Perjuangan perahu menuju tengah laut saat itu benar-benar saya akui sebagai perjuangan berat, dan saya sangat menghargai usaha  nahkoda untuk membuat perahu tetap tenang walau melalui ombak yang cukup besar mengingat saya membawa balita. Empat jempol untuk bapak nahkoda. Lama sekali kami berada di pantai, mencari celah ombak untuk bisa dilalui dengan smooth. Beberapa kali perahu kami naik terangkat ombak dan turun terseret ke tepian lagi. Ombak reda, mesin dinyalakan, kami maju sedikit dan berhenti menunggu lagi. Di ujung depan perahu ada asisten nahkoda yang berfungsi untuk menjaga arah perahu tetap ke arah yang benar saat dimainkan gelombang pantai. Ombak demi ombak kami lalui, sampai gulungan terakhir mereda, dan perahu langsung tancap gas menuju tengah laut. 
Walau menembus ombak yang cukup besar, pakaian kami tidak basah tersiram air laut. Hanya sedikit cipratan air yang mampir di wajah kami, dan itu cukup membuat Deo tidak suka dan meminta saya menutupi wajahnya dengan tangan. 
Pio? Ketika kami yang dewasa diam seribu bahasa deg-degan mengamati ombak, suara Pio lah yang memecah keheningan berseru-seru kegirangan saat perahu naik turun mengikuti alunan ombak.

Ombak yang cukup tinggi di pantai Lenggoksono
Di tengah laut kondisi perjalanan jauh dari kata mengerikan. Perahu dijalankan dengan kecepatan sedang, tidak ngebut sehingga jalannya pun juga tenang. Kami bisa enjoy menikmati perjalanan dan pemandangan laut.

Tujuan pertama kami adalah Banyu Anjlok. Perahu mendarat dengan mulus dan kami diberi kesempatan untuk bermain sepuasnya di sana.  Berhubung saat ini adalah musim kemarau, dan tidak ada hujan dalam tiga bulan terakhir, debit air Banyu Anjlok menjadi kecil sehingga kami tidak dapat menikmati keindahan tirai air terjun yang melebar memenuhi permukaan dinding tebing. Walaupun demikian, bukan berarti Banyu Anjlok kehilangan keindahannya. Pemandangan dan keasyikan bermain di sana tetaplah menakjubkan. 

Banyu Anjlok
Banyu Anjlok tampak samping



















Sangat menyenangkan untuk berdiri di tengah guyuran air tawar yang dingin menyegarkan, serasa seperti dipijat. Pio dan Deo pun suka bermain dibawah  air terjun. 








Selain itu kedua lelaki kecil kami juga doyan banget bermain di aliran sungai kecilnya. Membendung air, ciprat-cipratan, sampai tiduran di tengah aliran sungai. 






Bermain pasir dan berjemur di bawah cahaya matahari juga nggak kalah asyik.



Atau sekadar bersantai menikmati pantai dan duduk di bebatuan








 Ketika Pio dan Deo tengah asyik bermain pasir bersama driver kami, saya dan suami sempat mencuri waktu sebentar untuk memanjat tebing melihat pemandangan di atas air terjun. Suami mah enak saja memanjat tali dan berjalan di antara batuan tebing, sedangkan saya setengah mati mengikutinya karena rada-rada serem buat berjalan di cekukan batu di ketinggian.

Tangga kayu dan tali tampar yang digunakan untuk turun naik tebing batu air terjun

Tetapi setelah sampai di atas, pemandangan yang tersaji benar-benar indah. Ada kolam air tawar di sana, dan dari atas pula kita dapat memandang laut lepas. Dalam hati saya kecewa sekali jalan serta tangga untuk naik belum tersedia dengan layak. Coba jika tersedia jalan yang mudah dilalui untuk naik turun tebing batu air terjun, saya membayangkan Pio bakal girang sekali mengetahui ada kolam renang di atas sini dan bakalan berlama-lama berenang didalamnya.

Pemandangan dari atas air terjun
Pemandangan dari atas air terjun

Kolam air tawar di atas air terjun
Mengikuti papa menuruni tebing batu

Kami menghabiskan waktu lamaa sekali untuk bermain air di Banyu Anjlok. Oya, sebelum naik perahu anak-anak sudah makan siang dulu, memakan bekal yang saya bawakan dari rumah karena di Banyu Anjlok tidak ada warung yang menjual makanan dan minuman. Selain itu saya juga membawa bekal berbotol-botol air mineral untuk minum, roti jika krucil-krucil masih lapar, serta beberapa stel pakaian ganti untuk anak-anak. Saya tetap menjaga agar jangan sampai anak-anak berperahu dengan mengenakan pakaian basah. Kuatir kedinginan lalu malah sakit. Dengan memperhitungkan 2 tempat bermain air bagi anak-anak (minus tempat snorkeling yang tidak saya masukkan ke dalam daftar) saya membawakan Pio 2 set pakaian ganti lengkap dan untuk deo saya membawa 3 set pakaian ganti. Juga tidak lupa topi,  handuk kecil, kain jarik (jaga-jaga kalau mereka masih kedinginan di perahu), dan minyak kayu putih.

Saking kerasannya Pio bermain di Banyu anjlok, Papa sampai punya banyak waktu jagongan dengan bapak pengemudi perahu, sampai ditinggal juga sama perahu kami untuk menjemput turis lain dari Lenggoksono. Begitupun Pio masih menangis ketika kita minta untuk menyudahi acara bermain air terjun dan pindah ke lokasi lain (sudah pukul 2 siang lewat yang berarti kami sudah bermain 3 jam lebih di Banyu Anjlok).

Menangis
Setelah melalui bujuk rayu, akhirnya kami berhasil menaikkan Pio ke atas perahu menuju destinasi selanjutnya yaitu pantai Bolu-Bolu yang terletak di suatu teluk, tidak terlalu jauh dari Banyu Anjlok. Karena kondisi geografisnya yang menjorok ke daratan, ombak di pantai ini tidaklah besar sehingga relatif aman untuk bermain air. Juga ada beberapa penduduk yang mendirikan beberapa warung kecil  untuk berjualan makanan minuman.

Deo tidur pulas selama kami berada di pantai Bolu-Bolu...


Sedangkan Pio nyemplung lagi di pantai ini....padahal airnya dingin lho.....



Pemandangan di pantai Bolu-Bolu juga cukup indah. Ombak mengalun tenang,  air bening berwarna biru kehijauan, pemandangan bukit karang di lepas pantai, batu-batu besar yang tersebar di tepian pantai...cukup layak untuk dikujungi.





Batu-batu besar di Bolu-Bolu :


 



Kami meninggalkan pantai Bolu-Bolu sekitar pukul empat sore, sekali lagi diiringi tangisan Pio yang belum rela menyudahi sesi bermain airnya (sampai-sampai pak perahunya bilang Pio ini anak segoro karena betahnya bermain di laut dari pagi sampai sore).
Sebenarnya masih ada 1 tempat lagi yang belum kami kunjungi, yaitu teluk Kletekan. Spot ini dikenal sebagai tempat snorkeling menikmati pemandangan bawah lautnya. Bagi kami yang tidak bermain snorkeling, bukan berarti tidak ada cara lain untuk menikmatinya. Bapak perahu bertanya apakah kami membawa roti, karena dengan menaburkan remahan roti akan memancing ikan-ikan hias untuk naik ke permukaan air. Sebenarnya tawaran yang cukup menarik, tapi berhubung waktu yang sudah sore sekali kami memutuskan untuk kembali saja ke pantai Lenggoksono. Lain kali saja kami akan kembali dan bermain bersama ikan hias..

Setelah mendarat kembali dengan selamat di pantai Lenggoksono, saya melihat ada perahu lain yang baru berangkat. Rupanya mereka berniat untuk menginap..dan disitulah saya melihat perbedaan kondisi dengan pengalaman saya ketika berangkat. Perahu ini menurut perasaan saya kok agak tidak sabaran dalam menunggu celah ombak sehingga saya melihat perahu ini terangkat ombak cukup tinggi dan byuurr terbanting kembali dengan cipratan air yang cukup besar.
Rupanya selain kondisi ombak, faktor keahlian nahkoda perahu juga amat menentukan kenyamanan berperahu. Sehingga mungkin tidak terlalu berlebihan jika si bapak perahu kami bercerita kepada kami bahwa tidak semua pemgemudi berani membawa rombongan dengan anak kecil apalagi dalam kondisi ombak besar. Dan bapak nahkoda perahu kami adalah salah satu dari sedikit orang yang menjadi spesialis pembawa anak kecil.

Perahu yang membawa kami dengan latar belakang ombak Lenggoksono yang cukup besar

Bapak pengemudi perahu kami
Di pantai Lenggoksono, Pio masih bermain lagi 




 


Satu tips lagi yang diberikan oleh pengemudi perahu kepada kami supaya dapat berwisata dengan nyaman ke Banyu Anjlok dengan balita kami : malam sebelum jadwal keberangkatan, kami disarankan untuk mengontak beliau guna menanyakan bagaimana kondisi laut di wilayah Lenggoksono. Jika pas dalam kondisi air pasang, daratan pasir pantai di Banyu Anjlok akan terendam air laut sehingga air terjun akan jatuh langsung ke laut (bukan pantai lagi) sehingga tidak ada lagi pantai pasir di Banyu Anjlok yang nyaman untuk anak kecil. Demikian juga beliau juga bisa menginfokan apakah kondisi ombak akan memungkinkan tidak untuk membawa balita. Suami masih mengingat kata-kata dari si bapak ini : walau kami mencari nafkah dengan membawa turis dengan perahu kami, tetapi kami masih berpikir tentang keamanan apalagi jika ada anak kecil didalamnya. Kalau kami rasa berbahaya, kami akan memilih untuk tidak berlayar sehingga jika tidak mau naik ojek atau jalan kaki turis harus puas dengan pantai Lenggoksono saja.

Tidak perlu terlalu khawatir mengenai tempat bilas. Telah tersedia cukup kamar mandi air tawar, walau masih sederhana. Dan sebelum pulang kami masih sempat mengisi perut di warung ikan bakar Pak To yang terletak paling ujung di pantai Lenggoksono. Rekomended dah. Ikan bakarnya enak dan murah.
Berbanding terbalik dengan saat berangkat, perjalanan pulang kami diwarnai macet parah karena adanya pawai takbiran menyambut Idul Adha. Sehingga dengan meninggalkan pantai Lenggoksono pukul 17.20, kami baru sampai di rumah pukul 21.40.

Lenggoksono di waktu senja
Lenggoksono di waktu senja