Jumat, 28 Agustus 2015

Masa Kuliah

Perjalanan hidup saya di Malang dimulai saat saya membuka koran mencari pengumuman hasil tes UMPTN. Yang pertama kali dicari tentu ada atau tidak  saya dalam daftar nama peserta yang diterima di perguruan tinggi negeri. Sebagai anak pertama dari seorang ibu single parent, tentu bisa diterima di perguruan tinggi negeri adalah hal yang "mutlak"  harus saya usahakan jika masih ingin kuliah. Jauh hari sebelum waktu kelulusan SMU, mama saya sudah berkata dengan jelas bahwa beliau tidak akan sanggup membiayai saya jika kuliah di perguruan tinggi swasta berhubung gaji sebagai seorang guru smu kejuruan  saat itu pasti sangat pas-pasan untuk membiayai hidup dan pendidikan 3 orang anak (apalagi saya adalah anak pertama). Oleh karena itu, di saat teman-teman SMU saya berlomba-lomba mendaftar jalur prestasi perguruan tinggi swasta, saya hanya bisa menonton saja. Lama-lama gelisah juga, bagaimana jika ternyata saya tidak lulus UMPTN? Cari-mencari akhirnya ketemulah pengumuman pendaftaran STAN, dan berbeasiswa walau nanti ada ikatan dinasnya. Oke  saya coba untuk ikut tes-nya, dan ternyata tidak lulus. Sempat down juga, saya tidak berhasil di  tes masuk STAN apakah saya bisa menembus UMPTN? Tidak menemukan jalan keluar, ya sudah pasrah saja sambil belajar.

Jadi bisa dibayangkan betapa leganya saya saat menemukan nama saya termasuk mereka yang lolos UMPTN. Baru setelah itu saya melirik dimanakah saya bakal kuliah. Yah, begitulah ternyata saya diterima di FK Unibraw Malang. Lega? Pasti iya karena ternyata saya masih bisa kuliah. Tapi takut!! Lho kenapa? Jujur saja kedokteran bukan pilihan saya. Itu adalah harapan dari mama, dan karena perhitungan saya waktu itu bakal sulit menembus kedokteran maka saya oke-oke saja meletakkan fk sebagai pilihan pertama. Sebenarnya sasaran awal saya adalah pertanian. Pertimbangannya dunia itu bukan dunia asing bagi kami karena bidang orang tua adalah pertanian, juga karena dulunya sebelum meninggal papa adalah dosen, maka buku-buku pertanian dan statistik tersedia melimpah ruah di rumah. Pikiran saya, bisa hemat uang tidak perlu beli text book terlalu banyak. Bagaimana tidak takut mau sekolah di fk berhubung setiap kali melihat darah saya selalu jatuh pingsan?

Hidup tetap harus jalan, takut atau tidak saya tetap harus sekolah. Pingsan urusan belakang dah...
Kos pertama saya persis di perempatan jalan Veteran - Sutami, turun di bawah tanah. Satu kamar kos diisi dua orang, 1 lemari triplek dipakai bersama, dan masing-masing mendapatkan dipan single kasur kapuk dengan 1 bantal dan 1 meja kursi. Singkatnya kamar kos saya yang pertama dalah kamar kos sangat sederhana. Tidak ada dapur, tidak ada tempat jemuran, tidak ada tempat cuci-cuci (apalagi mesin cuci), hanya ada 2 kamar mandi yang lokasinya campur jadi satu dengan gudang. Saya lupa berapa harga kamarnya, tetapi itulah kamar paling lumayan yang bisa saya dan mama temukan dengan harga yang masih terjangkau.

Ketika melalui masa Ospek (ini nih yang menyebabkan saya setuju perploncoan dihapuskan), ada satu orang tua teman yang tidak tega saya kepontalan mencari berbagai benda aneh dalam kondisi sendiri dan buta kota Malang. Saya dijemput ke tempat kos dan diboyong ke rumahnya. Selamatlah saya terbantukan mencari dan mengerjakan berbagai tugas aneh khas ploncoan.

Ketakutan terpendam saya akhirnya mau tidak mau terjadi juga. Perjumpaan pertama saya dengan darah adalah saat praktikum patologi klinik di mana kami harus saling mengambil darah teman sebagai bahan praktikum. Asli semalaman saya tidak bisa tidur, takut membayangkan bagaimana besok saya bakal jatuh pingsan di tengah praktikum.
Kalau tidak salah ingat kami dibagi menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 2 (atau 3 orang ya? Lupa). Kok ya apes saya kebagian tugas mengambil darah, padahal kalau bisa saya lebih memilih jadi yang diambil saja (kan bisa duduk dan  merem). Sambil berkeringat dingin saya berdoa supaya tidak pingsan (apa jadinya coba kalau saya pingsan saat menusukkan jarum atau saat menyedot sampel darah?). Dan saya terselamatkan oleh kebingungan karena pasangan saya justru duluan pusing hampir pingsan, juga kehebohan adanya teman lain yang beneran jatuh pingsan.  Dengan adanya keributan di kanan kiri, saya justru melupakan ketakutan saya sendiri ...

Stigma mahasiswa kedokteran biasanya identik dengan orang kutu buku. Mungkin saya pun juga begitu, tetapi kealiman saya  sedikit banyak juga disebabkan keterbatasan financial. Waktu itu kiriman dari mama berkisar di angka 200 ribu all in. Ya itulah biaya kuliah saya, biaya kos, dan juga biaya hidup sehari-hari. Untuk jaga-jaga biaya kuliah, saya mewajibkan diri entah bagaimana caranya harus bisa menyisihkan uang kiriman. Mungkin di mata teman-teman saat itu saya benar-benar sosok yang aliiiim pol. Soalnya saya lebih memilih perpustakaan daripada kantin kampus jika ada waktu kosong. Kalau ikut nongkrong di kantin kampus, sering kali saya hanya pesan minum saja (kan ada makanan di kos yang saya masak pagi-pagi gelap?). Pernah sih sekali sekali pesan makan juga apalagi jika ada rencana kegiatan yang lanjut sampai sore. Saya juga akan lebih memilih pulang ke kos daripada ikut jalan-jalan. Yang ada di dalam otak saya : jajan / jalan-jalan = pengeluaran ekstra.  Untuk memonitor keluar masuknya uang (lebih banyak keluarnya sih), semua pengeluaran saya tercatat detail di buku khusus. Sekecil apapun nilai rupiah yang saya belanjakan pasti ada catatannya.

Pada akhir tahun pertama, salah seorang kakak kelas saya mengajak pindah kos ke tempat yang juga tidak mahal tetapi jauh lebih bersih dan layak. Jadilah saya pindahan dari kos lama ke asrama mahasiswi milik Keuskupan Malang. Dan yang terjadi adalah saya memboyong semua barang tetek bengek kehidupan plus buku-buku saya kardus demi kardus dengan berjalan kaki dari perempatan Bendungan Sutami  ke jalan Pandeglang dekat Taman Makam Pahlawan. Setelah semua selesai dan saya sudah pindahan total, teman-teman pada bertanya tentang proses migrasi  saya...dan semuanya pada ngomel kenapa saya tidak minta tolong mereka untuk membantu pindahan...

Sehari-hari saya bangun jam empat pagi, memasak nasi sambil saya tinggal mandi, kemudian memasak makanan untuk 1 hari itu, berbelanja bahan  untuk dimasak besok pagi, sarapan, ganti baju, dan berangkat kuliah. Menu makanan saya selama kuliah yang pasti adalah nasi dan sayur. Untuk lauknya paling sering tahu tempe, sesekali telur, dan kalau pas kepingiiin makan ayam saya membeli ceker atau sayap untuk dimasak. Berangkat kuliah saya selalu berjalan kaki, pulangnya diantar oleh teman sampai di depan gerbang asrama.

Sebagaimana anak kuliah perantauan pada umumnya, saya paling menunggu datangnya waktu-waktu liburan panjang untuk pulang kampung. Walau urusan kampus baru kelar sore hari ya tetap langsung cabut ke terminal cari bus jurusan Jember. Oya, saat itu jika saya mencari bus selalu cari bus ekonomi , duduk dekat jendela yang saya biarkan terbuka. Alasannya, saya selalu mabuk kalau harus naik bus ber AC (sekarang sudah nggak lagi lho..). Hari-hari di rumah biasanya terasa ngebut, tahu-tahu masa liburan sudah berlalu dan harus kembali ke Malang lagi. Kalau sudah begini, rasanya malaaasss banget yang mau balik. Bekal yang sering dibawakan oleh mama saya saat kembali ke kehidupan anak kos adalah ayam goreng atau kering tempe.
Paling seneng kalau pas waktu balik ke Malang saya dapat barengan mobil gereja karena ada romo / bruder yang ada keperluan di Malang. Lumayan tidak perlu susah membawa tas besar berdesakan di bus atau angkutan kota (biasanya awal dan akhir masa liburan, bus dan angkutan kota selalu berebut dan berdesakan, serta tak jarang berdiri)

Selama kami masih menempuh perkuliahan di kampus sebelum fase dokter muda di rumah sakit, saya memiliki suatu kelompok belajar. Sering kami berkumpul untuk belajar bersama dan ini sangat membantu dalam mempelajari materi kuliah yang bejibun  banyaknya. Saat ini hampir seluruh anggota kelompok belajar saya sudah menjadi dokter spesialis. Yang masih menjadi GP hanya saya dan satu teman lagi..tapi teman saya yang satu ini sudah melang-lang buana keliling dunia. Sukses  untuk kalian semua ya guys ... Hal yang sama juga terjadi di kelompok kecil fase dokter muda. Dari empat orang, hanya saya yang masih GP. Tiga lainnya sudah menyandang gelar spesialis semua.

Selama kuliah, beberapa kali saya keluyuran bareng teman-teman  KBMK. Yang menjadi agenda rutin tahunan adalah kegiatan semacam retret untuk menyambut mahasiswa baru. Keseruan usaha mencari dana, menyiapkan acara dan lokasi, sampai asyiknya berkumpul bakar jagung malam-malam akan tetap menjadi kenangan manis tersendiri. Ada satu rekan kuliah di fk sering menjadi partner saya keluyuran mengikuti acara sosial entah unit universitas entah keuskupan. Yang paling saya ingat adalah dua kali saya diseret dalam acara muda mudi katolik katedral Malang : pengobatan masal di Blitar, dan yang paling seru adalah menyeberang ke pulau garam ikut serta bakti sosial bagi pengungsi kerusuhan Sampit. Yang tidak dinyana ternyata dokter rombongan kloter kami saat itu sekarang menjadi rekan kerja saya di rumah sakit (hehehe...dunia memang sempit).

Saya bersyukur saya dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu, dan apa yang saya alami selama itu telah banyak memberikan pelajaran hidup yang menempa saya untuk menjadi lebih dewasa. Suatu harta yang tak ternilai bukan?

Kamis, 20 Agustus 2015

Pantai Batu Bengkung

Perjalanan kami menuju pantai Batu Bengkung --atau bisa disebut juga pantai Mbengkung-- bermula dari ketertarikan saya dan Pio kepada kolam renang alami yang ada di sana. Awalnya kami ragu untuk memutuskan berkujung ke pantai ini, maklumlah pantai Batu Bengkung belum sepopuler pantai-pantai mainstream Malang seperti Balekambang, Gua Cina, Bajulmati / Ungapan, Sendang Biru, Ngliyep atau pantai yang mulai naik daun seperti Kondang Merak, Lenggoksono, Banyu Anjlok, Tiga Warna, dll....kesimpulan dari kalimat panjang ini adalah kuatir belum ada fasilitas umum yang memadai. Bisa dibayangkan mengajak anak kecil pecinta pantai seperti Pio yang pasti basah kalau main air laut dan tidak menemukan tempat bilas? Pasti tidak menyenangkan bukan?
Namun, rasa penasaran saya dan Pio akan Batu Bengkung mengalahkan keraguan tersebut. Ayo dicoba saja. Jika nanti sesampainya di pantai ternyata benar-benar masih perawan tidak ada fasilitas penunjang apapun, kami akan jalan-jalan menikmati pemandangan sebentar kemudian berbalik arah ke Gua Cina.

Pantai Batu Bengkung terletak di kecamatan Gedangan Kabupaten Malang, searah dengan pantai Gua Cina, Ungapan, dan Bajul Mati. Letak Batu Bengkung yang lebih ke ujung dari jalur lintas selatan (JLS), membuat kita melalui banyak pantai sebelum mencapainya. Kondisi jalan JLS yang mulus walau rusak di beberapa titik terutama di belahan bukit, membuat pantai batu Bengkung masih dapat dicapai dengan mudah baik oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.

Tetaplah menyusuri JLS setelah kita melalui pantai Bajulmati (dari arah Malang lo ya), kita akan melihat beberapa pemandangan pantai yang terletak di tepi JLS, salah satunya pantai Parang Dowo (kalau saya tidak salah membaca papan nama). Amat indah.

Pemandangan tepi JLS sebelum tiba di Batu Bengkung

Pemandangan tepi JLS sebelum tiba di Batu Bengkung
Gerbang masuk pantai tujuan kami ditandai dengan adanya bentukan tulisan "Batu Bengkung" yang masih sederhana, tetapi sangat membantu sebagai petunjuk bahwa kami sudah sampai di lokasi. Tiket masuk sekitar 6000 rupiah per orang (maaf tidak terlalu yakin karena yang bertugas membayar waktu itu Papa hehehe). Setelah melewati gerbang loket, kita akan melalu dua pantai kecil terlebih dahulu sebelum tiba di pantai Batu Bengkung yang sesungguhnya. Karena kami tidak berhenti di kedua pantai mungil ini, saya tidak dapat memberikan gambaran bagaimana kondisinya (lain kali dah kalau ada kesempatan lagi main ke sini). Oya, jalan masuk pantai Batu Bengkung masih berupa jalan makadam.

Ini dia gerbang masuknya. Maaf foto tulisannya nggak utuh karena diambil sekenanya dari dalam mobil yang berjalan.


Begitu memasuki area wisata utama batu Bengkung, situasi mendadak tampak ramai sekali oleh banyaknya mobil dan sepeda motor yang sudah parkir juga gerombolan orang yang duduk berteduh sambil membuka bekal. Area parkir batu Bengkung walaupun cukup luas tetapi tidak seteduh Gua Cina atau Ungapan. Banyak pohon sih tetapi masih belum cukup besar untuk memayungi, mungkin juga belum lama ditanam. Tetapi yang menggembirakan kami adalah sudah adanya tempat bilas, sehingga aman dah urusan membersihkan diri dari lengketnya air garam


Pantai Batu Bengkung ini rupanya adalah tipe pantai berkarang, tajam-tajam pula terutama di lokasi kolam. Biarpun begitu, Pio sudah berbinar-binar melihat kolam air laut yang panjaaaang dengan orang yang berenang didalamnya. Saya lihat rata-rata kedalaman mencapai dada atau perut orang dewasa (ini sepertinya relatif ya, tergantung banyak sedikitnya air laut yang terjebak karang). Supaya tidak terjadi insiden luka tergores karang ketika berjalan dari lokasi parkir ke kolam, Pio tetap saya minta memakai alas kakinya.

Sekitar kolam : karang dimana-mana

Deo tidak terlalu suka dengan pantai ini.  Ombak yang memukul karang pembatas antara kolam dan laut masih terlihat tinggi dan bergemuruh, masih menakutkan bagi Deo. Tapi yang heran papa juga ikutan tidak terlalu menyukai area pantai ini, entah kenapa. Awalnya papa mengajak balik ke pantai Gua Cina saja, tetapi berhubung air mata Pio mengalir deras tidak mau pindah pantai, ya kita tetap stay.
Supaya Papa dan Pio sama-sama senang inilah keputusannya : Kami akan tetap menemani Pio bermain air dan berenang di Batu bengkung sambil menunggu laut surut. Nanti setelah surut, barulah pindah ke Gua Cina. Soalnya, jika kami tiba di Gua Cina saat laut dalam kondisi pasang kasihan Pio tidak bisa mendekat ke bibir pantai (gelombangnya ganas).

Berhubung Deo tidak mau menghampiri bibir pantai, jadinya hanya saya dan Pio lah yang bermain menikmati kolam renang alami Batu Bengkung.  Oya dasar kolam-nya pasir kok, jadi jangan khawatir. Pio gembira sekali berenang ke sana ke mari sepanjang kolam, sampai tidak disadari menabrak mbak-mbak yang juga sedang berenang di situ (maaf ya tante, tidak sengaja). Selain berenang, saya dan Pio juga menjelajah dinding karang melihat anak-anak kepiting yang bersembunyi di lubang.. asyik banget. Sebenarnya setiap menemukan hewan Pio selalu ribut minta difoto, tetapi karena saya belum memiliki waterproof casing, saya nggak berani membawa HP saya nyemplung. Kami berdua juga sempat lari terbirit-birit (salah, berenang menjauh maksudnya) karena di karang depan kami muncul kepiting dewasa sebesar ukuran kepiting yang biasa tersaji di meja makan. Siapa yang mau dicapit coba?


Gelombang laut yang tinggi di balik tembok karang

Pio memasuki kolam

Berenang di air laut dengan aman





















Walaupun asyik, kami berdua memutuskan untuk menyudahi keseruan berenang  ketika kolam menjadi ramai akibat kedatangan rombongan wisatawan 1 bus besar. Masih ogah mentas, saya dan Pio menyusuri tepi pantai di sebelah kanan kolam (posisi menghadap ke kolam), dan kami menemukan satu lagi tempat bermain air yang tidak kalah menarik. Karena memiliki hubungan dengan laut, kolam kecil ini masih sedikit berarus dan airnya beniiingg sekali. Lebih enak untuk berbasah-basahan, tetapi minusnya adalah ukuran yang jauh lebih kecil dari kolam pertama sehingga hanya bisa memuat sedikit orang. Setelah menunggu sebentar, ada bebearapa orang yang mentas sehingga saya dan Pio bisa nyemplung..brrrrr airnya dingin. Karang yang membatasi kolam kecil ini lebih halus, tidak tajam. Hanya saja  batu karang di dasar kolam walaupun tidak tajam tetapi licin  berlumut.



Pasir pantai Batu Bengkung



Celah sempit yang menghubungkan kolam kecil dengan pantai

Berenang di air yang bening dan dingin




Kolam ini kecil. Diisi beberapa orang saja sudah penuh

Rumput laut

Batu di dasar kolam tampak jelas


Setelah beberapa waktu, saya melihat bahwa air laut mulai surut yang berarti waktunya merayu Pio untuk menyudahi keasyikannya bermain air guna lanjut ke pantai Gua Cina.
Sampai di Gua Cina air laut benar-benar sudah surut, sehingga kami bisa bermain (lagi) pasir dan air dengan leluasa. Deo bahkan berlarian ke sana ke mari di tengah pulau pasir..tidak takut lagi berhubung ombak jauh dari jangkauan dan suara deburannya hanya terdengar samar-samar.

Walaupun singkat pantai Batu Bengkung telah menambah daftar pantai di Malang Selatan yang telah kami kunjungi selain Balekambang, Ngliyep, Ungapan, Gua CinaKondang Merak, Banyu AnjlokTamban dan Sendang Biru.

**Maaf kalau gambar kurang tajam. Kamera saya masih opname setelah dialih fungsi oleh Deo menjadi alat pertukangan (dipukul-pukulkan trus konslet), jadi hanya bisa ambil gambar pakai HP **

Jumat, 14 Agustus 2015

Persahabatan : Tiga sekawan Jember

Semasa SMU saya memiliki dua sahabat karib (Diah dan Patty) yang masih tetap berhubungan sampai dengan saat ini, dan itu berarti ikatan persahabatan kami telah berjalan lebih dari 15 tahun. Sebenarnya kami bertiga sudah menjadi teman satu sekolah sejak duduk di bangku SMP, hanya saja hubungan kami belum menyentuh relung hati yang dalam (aduuh..abaikan saja kalimat lebay ini)..

Memori tentang awal mula persahabatan kami bertiga sudah mulai kabur. Saya harus mengaduk-ngaduk kotak memori untuk menemukan kembali kenangan lama mengenai kapan dan bagaimana kami menjadi sahabat erat. Dengan lubang ingatan di sana sini, inilah yang berhasil saya ingat (mudah-mudahan tidak terlalu jauh melenceng), dan biarlah nantinya dikoreksi juga oleh Diah atau Patty sendiri.
Hubungan pertemanan saya dengan Patty dimulai sejak kelas 1 SMU. Saat itu saya, Patty, dan Richard (sekarang teman cowok kami itu kayaknya sudah menetap di benua kangguru) tergabung menjadi 1 kelompok kecil yang saya lupa buat apa. Kalau tidak salah kelompok untuk lomba mading (Pat,..benar nggak sich?). Karena mengerjakan proyek (yang tidak berhasil saya ingat dengan jelas) itulah saya mulai sering bertandang ke rumah Patty yang terletak di tepi jalan besar daerah Sumbersari, tidak terlalu jauh dari rumah saya. Semenjak saat itu saya dan Patty menjadi semakin akrab, sehingga kunjungan saya ke rumahnya tidak berhenti seiring berakhirnya proyek kecil kami. Kami masih sering berkumpul untuk belajar bersama, dan yang paling saya ingat adalah kami mengerjakan PR bahasa Inggris bersama (PR vocabnya bu Hedwig--Patty jagonya dah kalau soal cas cis cus in English). Tambahan lagi kami berdua biasanya jalan kaki bersama sepulang sekolah untuk mencegat angkutan kota, atau kadang ya bablas jalan sampai rumah masing-masing.

Naik kelas dua, saya dan Patty berpisah kelas tetapi hubungan kami tetap berjalan baik. Bahkan dialah yang berdiri di samping saya dan merangkulkan lengan kepada saya selama prosesi pemakaman Papa. Di kelas dua SMU ini saya mulai akrab dengan Diah karena kami sama-sama mengikuti lomba karya tulis ilmiah (LKTI) dan bersama-sama berangkat ke Surabaya untuk mempresentasikan karya tulis kami (tapi saya dan Diah berbeda kelompok). O ya saya, Patty, dan Diah juga sama-sama tergabung dalam kelompok paduan suara sekolah.

Nah, baru di  kelas tiga SMU  kami bertiga bersatu. Penyebabnya adalah lomba karya tulis (again). Kali ini saya dan Patty satu kelompok, sedangkan Diah di kelompok lain. Keikutsertaan kami di lomba ini menyebabkan kami bertiga sering bertemu dan bergadang bersama di sekolah. Saya dan Patty mengambil topik tentang tembakau sebagai tema, dan dengan polosnya nekat menerobos rektorat Universitas Jember untuk meminta bertemu langsung dengan rektor UNEJ. Alasan  kami melakukannya karena beliau adalah salah seorang penulis buku tentang tembakau, jadi kami berharap dapat mendapat sedikit bahan / ilmu tentang tembakau sebagai bahan karya tulis kami. Dasar dewi fortuna sedang berpihak kepada kami, rektor UNEJ pada saat itu bersedia menerima kami (padahal pihak sekolah sudah menasihati kami agar tidak terlalu banyak berharap), memberi kami beberapa buku tentang tembakau, dan (ini yang luar biasa) memberi kami salah seorang staf ahli nya untuk menjadi pembimbing kami. Apes bagi saya ternyata pembimbing kami dari universitas ternyata adalah rekan papa saya, dan beliau otomatis mengenali saya. Tentu saja kenal, karena om Martinuslah yang sering berkunjung ke rumah  dan mensupport kami setelah meninggalnya papa. Tapi efek positifnya saya tidak perlu penyesuaian lagi dan tidak perlu sungkan-sungkan untuk "merepotkannya" menyisihkan waktu membimbing anak SMU yang mau ikut lomba.  Jadi, saya dan Patty selalu mondar-mandir antara sekolah - UNEJ dalam mengkonsulkan karya tulis kami.
Singkat cerita setelah berkali-kali bermalam di sekolah serta merongrong om Martinus sampai hari gelap di kantornya, kelompok saya dan juga kelompok Diah maju ke final di Surabaya. Nah keberangkatan kami ke Surabaya inilah yang menyatukan kami bertiga. Di Surabaya, Diah mengalami sedikit permasalahan dan banyak curhat kepada kami berdua (saya dan Patty maksudnya). Sepulang dari Surabaya kami juga menemani Diah menangis dan meluapkan perasaannya seusai misa hari Minggu pagi di teras pastoran.

Mulai saat itu saya, Diah dan Patty menjadi lebih sering bersama. Saling bermain bahkan menginap di salah satu rumah (tapi sepertinya yang paling sering ketiban sampur rumahku ya?). Saya masih ingat Patty sukaa sekali minum seduhan daun teh, sampai-sampai saya dan Diah (dengan sengaja) memindahkan daun-daun teh dari gelas kami ke gelas Patty. Kalau Diah mah nggak rewel, semua yang disuguhkan diterima tanpa komplain (hehehe). Malam-malam sesudah belajar, kami menggotong kasur ke ruang tamu, bergelung bertiga di sana sambil ngobrol cekikikan membicarakan banyak hal. Topik yang tidak ketinggalan tentu ramalan kehidupan kami masa depan kami sebagai cewek, contohnya siapa yang kira-kira bakal menikah lebih dulu, siapa yang bakal punya anak lebih dulu. Juga saya dan Diah selalu meributin Patty karena prinsip masa gadisnya : Ga mau melahirkan normal, sehingga besok kalau cari suami bakalan cari yang mau merestui dia operasi caesar (Haloo Arnold, dirimu sudah tahu hal ini belum ya?). Kamu ingat nggak Diah kalau kita berdua dulu pernah dimintain tolong salah seorang teman cowok untuk bantu nyomblangi dia sama Patty, tetapi sayangnya gagal total berhubung si cowok sudah menyerah duluan sebelum berjuang dengan "keras kepala nya" Patty.....

Hubungan kami bertiga akhirnya juga menyeret salah seorang guru SMU yang juga seorang bruder masuk dalam lingkaran persahabatan kami. Beliau sudah seperti kakak bagi kami, dan hubungan komunikasi saya dengannya masih terjalin hingga sekarang walau tidak se-intens seperti waktu saya masih menjadi warga Jember.
Ada satu komentar dari kepala sekolah kami saat SMU yang masih saya ingat sampai saat ini. Beliau berkata bahwa persahabatan kami bertiga akan buyar nanti saat kami masing-masing menikah atau kami bertiga akan bersuamikan satu orang yang sama, dan untungnya ramalan beliau tidak terjadi (Yeeee...Yippii ...Yippiii.....)

Lulus SMU, kami bertiga bersama-sama mengikuti program persiapan UMPT di Primagama (seumur hidup, baru kali itu saya ikut les pelajaran). Sebelum ke Primagama, biasanya kami berkumpul di rumahnya Patty dan berangkat bersama-sama. Kadang naik becak, kadang jalan kaki. Selesai les, tidak jarang jalur pulang kami melenceng arah ke rumah salah seorang guru SMU kami. Entah kenapa waktu itu kami hobby sekali bertamu ke rumah Pak Yoseph dan Bu Ima, tanpa berpikir apakah kemunculan kami yang lumayan kerap itu mengganggu atau tidak. Pulang les kepikiran pingin mampir ya langsung membelokkan langkah kaki. Mama saya sudah hafal kalau saya berangkat ke Primagama dan baru tiba di rumah setelah gelap, pasti saya lagi sambang ke rumah pak Yoseph.

Mendaftar UMPTN, mengembalikan berkas, survey tempat, sampai berangkat ujian kami juga bertiga. Berhubung saat itu saya adalah satu-satunya yang tidak bisa mengendarai sepeda motor, maka saya selalu menjadi pembonceng entah itu di sepeda Patty atau Diah. Tapi saat itu yang lebih tatag membonceng adalah Diah karena jam terbangnya yang sudah tinggi dalam hal bonceng-membonceng.
Suara sepeda motor Patty adalah yang paling nyaring (2 tak), sehingga saya selalu tahu jika dia datang berkunjung ke rumah. Belum lagi suaranya juga nggak kalah nyaring saat memanggil saya : Ikaaa atau malah mama saya : Tantee.... (hihihi peace Pat..). Yang paling kasihan tuh Diah, sudah suara sepeda motornya lebih teredam, Diah sering merasa sungkan (dan malu) untuk mengeluarkan suara panggilan setinggi 10 oktaf seperti Patty.  Sering-sering saya melihat Diah sudah bengong di depan pintu menunggu ditemukan (hehehe).

Sesaat sebelum pengumuman UMPTN, saya dan Diah pernah pergi ke Malang berdua saja (Patty ke mana ya waktu itu? Lupa). Menuju rumah tante saya sebagai jujugan, kami berdua pingin nginceng seperti apa sih rupa Universitas Brawijaya soalnya saya dan Diah punya pilihan di situ. Sama-sama buta arah dan hanya berbekal petuah dari tante saya mengenai angkutan apa saja yang harus kami naiki dari Blimbing ke Brawijaya, saya dan Diah sampai tersesat dua kali. Yang pertama sehabis menjelajah Unibraw dan ingin pulang, kami salah menaiki angkutan sehingga bukannya kembali ke Blimbing tetapi malah terbawa sampai terminal Landungsari. Kedua, patokan daerah Blimbing tempat rumah tante saya adalah jembatan penyebrangan. Dan secara naif, kami yakin sekali bahwa di kota Malang hanya ada satu jembatan penyeberangan sehingga akibatnya kami dengan PD menghentikan angkutan dan turun begitu melihat ada jembatan penyeberangan. Hasilnya : celingak-celinguk tidak kenal daerah, sadar kalau kami keliru memutuskan titik pemberhentian. Setelah bertanya sana sini dan jalan kaki lumayan gempor, akhirnya kami berhasil menemukan jembatan penyeberangan yang benar dan pulang dengan selamat (horee...nggak jadi hilang)..

Perpisahan kami benar-benar dimulai saat masa perkuliahan dimulai. Saya di Malang, Patty di Surabaya, dan Diah paling jauh sendiri di Jogja.  Putus hubungan? Tentu tidak. Walau masa itu belum ada WA dan BBM tetapi kantor pos masih buka dan berjaya. Saya paling sukaaa jika menerima surat entah itu dari mama, dari Patty, atau dari Diah. Kami kalau surat-suratan bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk meluapkan kerinduan dan berbagi cerita. Surat-surat itu saya kumpulkan dan saya urutkan sesuai tanggalnya, jika sewaktu-waktu saya kangen sama mereka saya tinggal membaca ulang kisah mereka di surat. Melalui kiriman tulisan tangan ini juga kami berbagi info mengenai jadwal libur semester dan janjian ketemu di Jember. Sebagai satu-satunya yang tidak punya telepon di rumah, saya selalu merajinkan diri menelepon rumah mereka. Kalau ternyata Diah atau Patty belum pulang kampung, papa-mama mereka lah yang saya rongrong dengan pertanyaan kapan kira-kira mereka tiba di Jember. Tapi juga tidak jarang jika Diah dan Patty libur lebih awal dari saya, tahu-tahu mereka berdua sudah muncul di depan pagar rumah.

Selain lewat telepon, kami bertiga mempunyai satu cara yang cukup efektif untuk bisa bertemu ketika libur semester : Misa pagi (harian). Setelah kelulusan SMU kami bertiga cukup rutin mengikuti misa pagi di gereja, selesainya bisa ngobrol dulu sebentar baru pulang ke rumah masing-masing (untuk saya kadang lanjut belanja dulu ke pasar Kepatihan). Kebiasaan tersebut tetap berlanjut saat liburan semester. Hal ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjamin hubungan kami tetap terjalin. Tinggal datang saja ke misa pagi, jika sahabat-sahabat saya sudah pulang ke Jember pasti akan bertemu. Rasanya hangat di dada jika saya merasa ada orang yang duduk di sebelah saya , kemudian ketika menoleh saya menemukan wajah mereka yang sedang nyengir ada di sisi saya.

Kami  pernah membeli  kaos kembaran, sama model  hanya berbeda warna. Rencananya sih mau dipakai bareng jika kami pulang ke Jember. Rencana tinggal rencana, setiap kali bertemu di Jember kok ya nggak pernah jangkep tiga kaos ini dibawa pulang..(nggak bakat mungkin ya?)

Dari kami bertiga, Diah yang pertama kali menikah. Jadi saya dan Patty menghadiri pernikahannya di Jember dengan status nona.

Saya baju hitam, Patty baju merah


Giliran kedua :  saya,  menikah di Malang. Diah sudah menggandeng belahan hatinya, sedangkan Patty masih single.

Diah di sebelah kanan  saya, dan  Patty sebelahnya Diah memakai baju merah


Ketika tiba saatnya Patty mengikat janji sehidup semati, saya dan Diah menghadiri pernikahannya di Surabaya  dengan diikuti seorang anak...

Saya paling kanan (longdress biru), Diah sebelah kanan Arnold (batik hitam).. Pio dan Fraya ditinggal di hotel :)


Sampai dengan saat ini, saya sudah pernah menginjakkan kaki di rumah kedua sahabat saya. Rumahnya Patty di Surabaya (sebelum dia pindah apartemen) dan rumah Diah di Karanganyar (sebelum Diah migrasi ke Jakarta). Patty juga sudah sampai ke rumah saya di Malang, tinggal menunggu Diah .....


**Peluk dan cium untuk kalian**

Senin, 03 Agustus 2015

Pantai Ungapan

Sejak Pio keranjingan berlibur di pantai saya juga ikutan rajin malam-malam mencari dan membaca review pantai-pantai dan juga wisata air yang ada di Malang. Hasilnya, saya mendapatkan beberapa alternatif wisata air yang masuk dalam daftar tunggu saya.  Sebenarnya masih ada banyaaaak sekali pantai di Malang (puluhan mungkin) yang belum pernah kami kunjungi, tetapi kembali lagi kami harus mempertimbangkan kenyamanan Pio dan Deo yang berarti ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun daftar urut tempat wisata air yang bisa kami kunjungi. Kemudahan akses dengan kendaraan roda empat, tersedianya fasilitas pendukung seperti tempat bilas air tawar, juga kira-kira disukai atau tidak oleh anak-anak adalah hal-hal yang tidak boleh diabaikan. Inilah risiko mempunyai anak kecil. Saya masih harus ngempet untuk berkunjung ke pantai tiga warna karena untuk mencapai pantai ini musti jalan kaki dengan rute terpendek sekitar 2 km. Jadi, betapapun indah dan eksotis pantai yang direview, tidak otomatis masuk prioritas kunjungan untuk saat ini.. (kalau nanti Pio dan Deo sudah besar,  lain lagi ceritanya).

Hari Minggu awal bulan Agustus ini kami berkesempatan bertandang ke pantai baru (baru bagi kami maksudnya), yaitu pantai Ungapan.  Pantai ini terletak di antara pantai Gua Cina (ulasannya dapat dibaca di sini) dan  pantai Bajul Mati.  Jika dari arah Malang, setelah melewati pantai Gua Cina teruslah mengikuti Jalan Lintas Selatan sampai kita menemukan jembatan dengan arsitektur unik.  Hati-hati, jangan ngebut amati sisi jalan sebelah kiri karena Pantai Ungapan  tidak jauh dari jembatan tersebut.

Area wisata Pantai Ungapan cukup teduh karena ditumbuhi banyak pepohonan, sehingga mencari tempat parkir yang adem pun juga tidak sulit. Begitu keluar dari mobil, yang langsung saya cari adalah toilet. Sudah nahan BAK cukup lama nih, sambil mau ngecek juga kebersihan tempat bilas untuk anak-anak nanti, ....  dan hasil survey saya menyimpulkan toilet di pantai Ungapan bersih. Selain toilet, juga tersedia warung untuk yang ingin membeli kelapa muda atau makanan pengisi perut walau tidak sebanyak di Balekambang atau Gua Cina.





Sebelum lanjut main-main (Pio sudah tidak sabar nih..), gelar tikar dulu, buka bekal, dan makan siang! Saat duduk-duduk di tikar ini saya menyadari kok angin yang bertiup di pantai Ungapan ini dingin ya? Sejuk sekali, seperti bukan udara pantai saja. Awalnya saya pikir saya yang salah, tetapi ternyata suami juga merasakan hal yang sama..





 



Selesai makan, Pio sudah habis kesabaran menunggu saya dan suami yang masih leha-leha menikmati air kelapa muda dan semilir angin laut.Tangan saya dan suami ditarik-tarik supaya cepat bangun dan bermain air. Pantai Ungapan adalah pantai dengan gelombang laut yang luar biasa ganas. Ketinggian ombak yang mencapai tepi pantai berkisar 2 meter atau mungkin lebih ya...dan suaranya itu lho... berdebum sangat keras saking kuatnya menghantam pantai (saya sempat mengira suara guntur hehehe). Jika di pantai Balekambang kita bisa melihat ombak menggulung  masih jauh dari tepi pantai, kalau di Ungapan justru gulungan ombak terbentuk di dekat pantai. Laut lepas tampak tenang, semakin ke pantai terbentuk gelombang ...naik ...naik ...bergulung...dan buuumm...pecah dengan suara keras. Menurut saya hanya orang yang berani mati (atau peselancar prof ya) yang punya nyali menantang ombak.. Tidak heran jika peringatan dilarang mandi / berenang bertebaran di tepi pantai. Dalam kondisi laut surut pun keganasan ombak tetap mengerikan....

Lihatlah ketinggian ombaknya



Ombak bergulung sampai tepi pantai

Papan peringatan yang banyak bertebaran di pantai

Dengan kondisi gelombang seperti itu tentu saya tidak mengijinkan Pio dan Deo menyentuh perairan pantai walau mereka mengenakan pelampung.


Lalu, bagaimana caranya bermain air?

Salah satu alasan saya memasukkan pantai ini ke daftar tempat wisata alam yang bisa kami kunjungi adalah adanya muara sungai yang bisa dijadikan tempat berenang yang relatif aman. Saya katakan relatif aman karena namanya bermain dengan alam ya tetap harus hati-hati, apalagi untuk anak kecil. Arus di muara pantai Ungapan ini akan menjadi lebih deras di saat laut surut.  Muara sungai ini terletak di arah sebelah kiri setelah kita memasuki gerbang pantai Ungapan.
Ini dia penampakan muaranya : 







Di muara ini ada tempat persewaan ban dalam biayanya 5000 rupiah per ban, lumayan laris juga saya lihat.  Ada juga yang menyewakan kano bagi mereka yang ingin mendayung menyusuri sungai, tetapi berapa biayanya saya tidak tahu karena tidak terpampang harga dan juga saya tidak menyewa.

Papan di pohon : Sewa ban Rp 5000,-

 Kami lebih berminat menyewa perahu motor untuk menyusuri sungai dengan biaya Rp. 60.000,- (1x jalan, 1 perahu hanya diisi kami berempat).

Bersiap naik perahu
Sebelum naik perahu

Rutenya dari muara berbalik ke arah hulu, melewati bawah jembatan Bajul Mati teruss menyusuri sungai. Ketika melewati jembatan bapak pengemudi perahu sengaja memperlambat laju perahu memberi kesempatan berfoto. Rupanya selama ini jembatan tersebut sudah banyak menarik minat wisatwan untuk dijadikan latar belakang foto. Di sepanjang perjalanan Pio sibuk bermain air sedangkan Deo hanya duduk diam di sebelah saya (masih agak takut kayaknya). Di beberapa titik kami bertemu dengan orang yang menangkap ikan di tepi sungai, juga beberapa burung putih  (Bangau kah?) yang sibuk terbang ke sana ke mari. Menurut keterangan bapak pengemudi perahu, kedalaman sungai yang kami lalui sekitar 6 meter. Pantas saja orang yang berdiri di tepi sungai menjala ikan, kedalaman air sudah mencapai pinggang-dada orang dewasa. Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh (menurut perasaan saya), perahu putar balik dan kembali ke muara.









Bapak yang mengemudikan perahu kami
Salah satu pemandangan dari atas perahu


Jembatan Bajul Mati dilihat dari perahu
 
Turun dari perahu, Pio langsung menceburkan diri di air dan..nggak mau mentas. Rupanya mengasyikan sekali buat Pio untuk mengapung dan berenang kecipak kecipuk di bagian muara yang tenang atau menghanyutkan diri di arus muara. Papa kebagian tugas mencegat serta menangkap Pio dan saya sebelum kami memasuki area muara dekat laut yang berarus deras. Selama bermain air ini, saya berfungsi sebagai perahu untuk Deo : Saya mengapung terlentang di air dengan Deo duduk / berbaring di atas saya.




Kegembiraan Pio bermain air
Sayang tidak terlalu banyak gambar yang bisa  diambil saat kami bermain air di muara berhubung kamera harus diselamatkan dari air. Bukan kamera underwater dan juga belum kami belikan casing tahan airnya. Daripada rusak atau mengganggu pengawasan kami terhadap Pio - Deo yang sedang bermain air, lebih baik disimpan di mobil saja.


Akhir muara. Mulai beberapa meter sebelumnya arus sudah tampak lumayan deras

Ketika laut surut, muara pun juga ikut surut. Air menjadi semakin dangkal, tetapi arus air semakin terasa karena tersedot ke arah laut. Di saat inilah, muncul pulau pasir di tengah muara, dan bisa menjadi tempat yang asyik untuk bermain-main karena di pulau pasir itu terbentuk kubangan-kubangan air yang dalamnya rata-rata selutut saya. Mengapung, berendam, dan loncat-loncat...rasanya asyik sekali Pio dan Deo bermain sampai tidak terasa hari sudah sore. Setelah melalui bujuk rayu yang lumayan panjang, akhirnya si kakak bersedia mengakhiri sesi main airnya dan mandi.

Selesai mandi kami masih sempat duduk-duduk sebentar, makan, dan minum air kelapa muda lagi sambil mendengarkan dentuman ombak. Masih penasaran dengan suaranya, saya mendekat lagi ke pantai untuk menonton ombak. Sebenarnya pemandangan di pantai Ungapan bisa dibilang cukup indah. Laut terbentang luas tanpa penghalang, garis pantai yang cukup panjang dengan pasir putih kecoklatan,  ombak besar yang menghajar tepian pantai, serta pada sore hari  garis cahaya matahari menciptakan pendaran cahaya pada permukaan air. Menyenangkan untuk dipandang, tetapi sekali lagi sebaiknya jangan bermain ombak. Terlalu berbahaya.











 Beberapa wisatawan yang saya lihat terlalu berani masuk air mendekati ombak untuk berfoto.....