Senin, 29 Juni 2015

Durian

Siapa yang belum tahu durian hayooo? Buah satu ini cukup populer di kawasan Asia Tenggara bahkan mendapatkan julukan King of fruit. Bentuknya bulat / lonjong dengan duri-duri besar dan tajam di seluruh permukaannya. Durian memang buah unik, sebagian orang menjadi penggemar beratnya, sebagian yang lain muak dengan bau dan rasanya. Setahu saya, durian lah satu-satunya buah yang tercantum resmi dalam aturan tertulis entah di transportasi publik, hotel, dll. Ketika saya menumpang MRT di Singapura, jelas-jelas terpampang gambar durian dicoret disertai besaran denda bagi siapa yang nekat membawa masuk durian ke dalam MRT.



gambar diambil dari Year of the Durian





Saya dan suami termasuk kelompok penggemar durian, bagi kami rasa dan baunya oke-oke saja. Sebenarnya selera makan saya tidak dapat dijadikan patokan yah karena saya termasuk orang yang tidak rewel untuk urusan makanan, termasuk selera buah.
Bicara soal selera, sama-sama durian saya dan suami punya kegemaran sendiri-sendiri. Saya suka durian yang rasanya manis, sedangkan suami lebih prefer dengan durian yang ada pahit-pahit nya.

Bagaimana dengan Pio? Nah, kalau si kakak ini termasuk kelompok pembenci durian (sampai saat ini, entah besok-besok). Masih bisa mentolerir baunya, tetapi nggak banget kalau diminta mencicipi,  lebih baik kabur saja...Kalau soal bau, Pio masih bisa menerima bau durian, lain dengan bau pete. Begitu mencium bau pete, Pio bisa mungkok-mungkok (mau muntah).

Si Deo? Waduh..adik kecil ini ternyata tidak menolak durian. Sifat ngototnya lah yang menjadikan dia penggemar kecil durian. Nekat minta setelah tidak diberi, sampai memanjat badan papanya dalam usaha meraih durian, dan berhasil mencolek sedikit daging buah durian...masukkan ke mulut...dan...(saya, suami, juga Pio sampai melongo semua menunggu reaksinya setelah mengecap durian pertama)...minta lagi !!!

Jadilah Pio satu-satunya orang yang tidak suka durian dalam rumah kami..


Deo dan durian

Selasa, 16 Juni 2015

Fresh Fish

Karena Pio dan Deo memiliki garis alergi dari orangtuanya, kami sangat memperhatikan tahapan pengenalan bahan makanan kepada mereka berdua, termasuk berusaha mendapatkan bahan-bahan yang sesegar mungkin terutama saat pertama pengenalan protein. Untuk telur ayam kampung kami membeli dari orang (di daerah Dau) yang memelihara ayam sendiri, untuk daging sapi dan ikan laut (saking niatnya) suami rmbelani ke pasar induk gadang  tengah malam dini hari untuk mencegat sapi yang baru potong dan ikan laut yang baru turun dari truk. Untuk ikan air tawar kami membeli ikan yang masih hidup di sungai di dekat bendungan Sengguruh (Kepanjen terus ke arah Pagak, kurang lebih 1,5 jam perjalanan  mobil dari Malang kota). Semuanya kami lakukan demi mendapatkan bahan-bahan yang paling segar dan paling minim tercemar bahan-bahan kimia semaksimal yang bisa kami lakukan. Sekarang, ketika Pio dan Deo telah lolos uji coba makanan, alias tidak timbul tanda alergi kami sudah longgar mengenai ritual pembelian bahan makanan, kecuali ikan tawar dan telur ayam kampung. Kalau telur ayam kampung karena Pio dan Deo menjadi tidak terlalu suka dengan telur ayam negeri (tetapi kami sudah bisa menitipkan telur ayam kampung ini kepada mlijo langganan untuk dicarikan), sedangkan untuk ikan air tawar kami memang masih mengusahakan ikan segar untuk mereka berdua.

Karena jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah, kami memang harus menyediakan waktu ekstra saat hari libur atau sore sepulang saya kerja langsung berangkat dari rumah sakit. Mungkin jika dilihat dari kaca mata orang lain kami lebay banget ya...sampai segitunya hanya untuk membeli ikan yang bisa dibeli di pasar dekat rumah atau mlijo. Tetapi semua waktu dan tenaga yang kami keluarkan untuk membeli ikan di Sengguruh ini akan terbayar saat melihat Pio dan Deo sangat lahap menyantap ikan yang kami beli. Karena masih segar, daging ikan terasa manis, tidak amis, dan lembut. Tekstur, rasa, dan bau ini  akan terasa berbeda ketika ikan sudah masuk freezer,  sudah tidak seenak hari pertama.

Kalau dihitung-hitung sudah 7 tahun ini kami mondar-mandir ke Sengguruh untuk membeli ikan. Mulai dari belum ada apa-apa di sana, sampai sekarang sudah berdiri tanggul yang memakan sebagian "kebun mahoni".  Tidak mengherankan jika suami sudah sangat dikenal diantara bapak ibu penjual ikan, mengingat kami selalu memilih ikan dengan ukuran jumbo supaya mudah untuk menyuap anak kecil, dan nilai pembelian yang cukup banyak. Rata-rata jika kami membeli ikan, nominalnya sering-sering di atas 200rb. Dapatnya? Buanyaaak banget. Ikan-ikan itu tidak kami konsumsi sendiri, melainkan juga kami bagi dengan tukang, tetangga, atau teman sekantor saya. Filosofi suami dengan nominal yang tidak terlalu besar semua orang senang : yang jual senang ikannya habis diborong, mereka yang kebagian juga senang bisa makan ikan fresh, Pio dan Deo pun makan dengan lahap.
Sangking akrabnya dengan orang-orang Sengguruh, suami sampai bisa membawa pulang satu dayung milik salah seorang penangkap ikan  sebagai kenang-kenangan.

Pio memegang dayung kenang-kenangan dari bapak penangkap ikan Sengguruh

Sampai kapan kami akan seperti ini, membeli ikan air tawar di Sengguruh? Entahlah kami sendiri juga tidak tahu.. Sampai kami tidak sanggup lagi menyediakan waktu dan tenaga ekstra ke sana? Sampai Pio dan Deo bosan dengan ikan? Atau mungkin sampai ikan di sungai sekitar bendungan Sengguruh habis (hadooh...berlebih dah..)? Kita lihat saja nanti......

Ini foto lokasi kami membeli ikan di Sengguruh, sekitar bulan Mei 2015 dan sungai dalam kondisi penuh airnya. Karena berangkat sepulang saya dari rumah sakit, tiba di lokasi sudah sore. Suasana sudah sepi hanya ada satu dua orang yang mencari ikan, sayang saya tidak bisa mendekat ke bibir sungai karena Deo lagi tidur nyenyak di mobil.

Papa sedang menunggu ikan dinaikkan

Sinar Matahari....

Senja di tepi sungai

Minggu, 14 Juni 2015

Pantai Gua Cina

Setelah kurang lebih dua bulan hampir setiap hari Minggu kami menuruti permintaan Pio untuk bermain ke pantai Bale Kambang Malang, lama-lama bosan juga. Alternatif lain pantai di daerah Malang yang belum pernah kami kunjungi, dan menurut kabar jauh lebih bagus dari pada Bale Kambang adalah pantai Gua Cina.

Pantai Gua Cina adalah salah satu pantai yang terletak di Malang Selatan di kecamatan Sumbermanjing Wetan, yang kalau mau diurut sebenarnya ya nyambung dengan pantai Bale Kambang atau pantai Ngliyep. Jarak tempuh jika diukur dari Malang kota memang sedikit lebih jauh daripada ke Bale Kambang, mengambil jalur melewati Turen mengikuti papan petunjuk ke arah Pantai Sendang Biru. Jalan menuju Sendang Biru sudah teraspal mulus, hanya saja medan yang ditempuh lebih berat dengan melalui 3 bukit dan jalur berkelok tajam naik turun. Jadi, jika ingin ke ke pantai sekitaran Sendang Biru, pastikan saja driver yang memegang kemudi adalah orang yang sudah handal dalam medan kelokan tajam, mesin kendaraan sehat, serta beban muatan yang tidak melampaui batas.

Selasa pas tanggal merah di bulan Juni, sekitar jam 7 pagi papa mengusulkan daripada ke Bale kambang lagi, bagaimana kalau mencoba ke Gua Cina. Akhirnya kami berangkat dari rumah sekitar jam setengah sepuluh pagi selesai cuci baju, menjemur, mengurus perbekalan baju ganti, peralatan mandi, dan bekal untuk kedua jagoan kecil. Dalam perjalanan Pio sudah tertidur ketika kami baru saja melewati Kendal Payak, sedangkan Deo baru tidur setelah kami mulai memasuki area berliku dan menanjak. Seperti biasanya jika bepergian ke pantai, Pio dan Deo memang kami minta untuk tidur dulu sepanjang perjalanan berangkat agar tidak mengantuk dan rewel jika sudah tiba di pantai. Pemandangan sepanjang jalan cukup bagus untuk dinikmati, apalagi setelah memasuki kelokan yang kanan kirinya pepohonan cukup lebat, atau pas berada di ketinggian bukit. Walau jalan aspal  langsung berbatasan dengan tebing dan jurang,tetapi untuk penumpang bisa menikmati pemandangan yang menyegarkan hati..pohon hijau di mana-mana dan di beberapa titik bisa melihat birunya laut di balik bukit.



Kami hampir tersesat setelah melewati belokan menuju pantai Tamban. Karena papan petunjuk Gua Cina tak terlihat oleh kami, dan di depan jalan pecah menjadi dua, kami lurus mengambil arah ke Sendang Biru. Berhubung  merasa tidak enak, papa memutuskan bertanya saja kepada penduduk pertama yang kami temui, dan benar saja kami salah jalan. Seharusnya di pecahan jalan tadi kami belok kanan, tidak jauh dari belokan itu jalan akan pecah dua lagi dan kami harus mengambil jalan by pass yang  posisinya terletak lebih bawah. Jalan by pass ini rusak di beberapa titik, yang menurut istilahnya Pio : jalan gempa (karena mobil terguncang-guncang). Dari jalan raya by pass ini, untuk mencapai pantai Gua Cina masih harus keluar dari jalan raya, belok kiri mengambil jalan makadam (hati-hati terlewat, karena papan penandanya tidak besar). Setelah melewati jalan makadam sekitar 1,4 kilometer, kita akan menjumpai loket pembelian tiket masuk yang berarti pantai  sudah tidak jauh lagi.


Belokan terakhir ke Gua Cina, masih jalan makadam dengan beberapa titik sudah disemen sesuai jalur roda


Kesan pertama kami lebih suka pantai ini. Pertama, tidak ada preman parkir yang membikin kami nggondok seperti di Bale Kambang. Kedua , pasir pantai yang bersih sekali serta air lautnya yang bening.
Jika di Bale kambang setelah melewati loket tiket kita akan melewati tempat parkir pertama (yang ada plang perhutaninya), nah sebelum mobil lewat mas-mas parkir akan menghadang jalan dan memaksa kita untuk masuk area parkir mereka dengan membayar lima ribu rupiah walaupun kita sudah menjelaskan kita tidak mau parkir di situ. Area parkir ini masih sepi dari fasilitas wisata dan kesannya tidak terawat, jadi ya malas yang mau parkir di sini. Dulu awal-awal kami ke Bale Kambang, mereka tidak memaksa kendaraan untuk parkir di situ, tapi akhir-akhir ini, cara mereka memaksa kendaraan harus masuk area parkir mereka yang jelas-jelas keluar dari jalan utama yang membuat dongkol (bukan perkara nominal parkirnya, tetapi cara nya). Karena tidak mau bermain disini, kita hanya numpang lewat saja alias langsung keluar, dan ketika memasuki area wisata yang ramai akan ditarik parkir lagi lima ribu rupiah (untuk yang terakhir sih ikhlas karena memang parkir di situ). Sudah beberapa kali saya dan suami menyampaikan keluhan terkait ketidaknyamanan ini baik ke petugas loket tiket maupun ke jukir parkir area wisata, tetapi sampai terakhir kami ke sana tetap tidak ada perubahan. Jawabannya sama : lewati saja mas, tidak usah dibayar juga tidak apa-apa. Tapi mau dilewati bagaimana lha wong 2 orang sudah merentangkan tangan menghalangi jalan. Masak mau ditabrak? Untuk mengurangi dongkol, kami pernah ngerjain mereka dengan menyiapkan uang koin 100 dan 200 rupiah senilai total 5000 rupiah dan kami bayarkan ke mereka byuk krincing-krincing...(lumayan bisa tertawa sedikit)...**hehehe kok malah curhat keluar topik sih ya**

Area wisata pantai Gua Cina tidak lurus panjang seperti di Bale Kambang, tetapi berbelok-belok dan terpotong bukit karang sehingga kerumunan orang pun juga akan terpecah-pecah di beberapa lokasi. Yang saya suka saat kunjungan pertama adalah timing yang pas saat laut surut-rut, sehingga karang pantai banyak yang terlihat, dan air laut tenang. Sebenarnya ombak masih ganas sesuai karakteristik gelombang laut selatan, tetapi di pantai ini banyak tersebar pulau karang sehingga ombak pecah sebelum mencapai pasir. Yang saya suka adalah area pantai yang berada persis di depan lokasi parkir sayap kiri. Pantai berkarang, dikelilingi gugusan pulau karang  seakan-akan membentuk kolam yang terpisah dengan laut lepas. Di sudut kiri wilayah ini, di bawah salah satu pulau karang terdapat pantai pasir dengan air jernih dan tenang. Ke sana lah kami membawa Pio dan Deo untuk bermain karena melihat banyak sekali anak kecil yang lepas bermain dan berlari di situ. Untuk mencapai pantai pasir terisolasi ini, kami harus menyeberangi  air laut setinggi mata kaki-lutut, atau kalau tidak mau berputar ketinggian air laut bisa mencapai paha / pinggul bawah orang dewasa. Setelah beberapa saat bermain, saya mengamati banyak anak kecil yang diseberangkan oleh orang tua mereka dengan mengenakan jaket pelampung (jadi tidak khawatir kalau terpeleset batu yang licin), sehingga tidak memutar jauh. Good idea! Lain kali saya akan membawa jaket pelampung milik Pio dan Deo..

Saat laut surut, ombak tidak mencapai bibir pantai tetapi berupa aliran kecil.


Kedua lelaki kecil kami sangat menikmati bermain air dan pasir di Gua Cina. Karena air yang masuk di area ini beriak kecil, kami bisa sedikit melonggarkan mereka bermain. Yang tetap kami awasi ketat adalah ketinggian air, jangan sampai terjebak pasang karena tetap saja pantai laut selatan adalah pantai dengan gelombang yang ganas. Saat laut dalam kondisi pasang sebaiknya jangan coba-coba untuk bermain air karena ombak akan memukul bibir pantai dengan  kuat.
Selain bermain air dan pasir, Pio juga senang mencari ikan di antara batu karang. Bertiga bersama dua tukang kami, Pio berhasil menangkap cukup banyak ikan, dan dimasukkan galon aqua untuk dibawa pulang dan sampai hari ini ikannya masih hidup semua sih :)
Mama nya? Saya sibuk mencuri kesempatan mengumpulkan rumah kerang. Serasa surga karena banyak sekali rumah kerang yang bisa saya cari di antara batu-batu karang saat laut surut. Saya masih bermimpi untuk menemukan rumah kerang yang besaaar dan utuh seperti di buku cerita "Tini " yang sering saya baca ketika kecil (hihihi)..






Kerang yang saya kumpulkan

Begitu asyiknya mencari ikan, setelah mandi dan makan Pio turun lagi mencari ikan sehingga terpaksa dimandikan lagi dan baru meninggalkan pantai setelah hari gelap. Untungnya jalur Sendang Biru termasuk jalur yang ramai, sehingga walaupun hari sudah malam saya tidak sendiri melintas karena di depan dan belakang mobil kami masih panjang berderet kendaraan lain.

Hari sudah gelap ketika kami meninggalkan pantai











Jumat, 12 Juni 2015

Jember Mei 2015

Saat tanggal merah berurutan 16-17 Mei 2015 Pio ingin jalan-jalan...setelah berunding dengan suami enaknya ke mana, diputuskan kami pergi ke Jember untuk menengok mama sekalian ke makamnya Papa.  Sudah cukup lama saya tidak pulang kampung ke Jember, kalau tidak salah terakhir bulan November 2014 saat mengantarkan mama pulang.

Beberapa hari sebelum berangkat, terpikir oleh suami apakah kami perlu membawa tenaga untuk bersih-bersih rumahnya mama. Kontak mama dan Dedi, oke sepakat kami membawa salah seorang dari tukang kami ke Jember. Berhubung suami masih harus membereskan pesanan, memastikan stok toko aman untuk tanggal merah berturutan, serta mengecek pekerjaan anak-anak di proyek, kami akhirnya baru bisa meninggalkan rumah jam dua siang lebih. Karena long weekend, jalur keluar dan masuk Malang (seperti biasa) padat merayap. Lepas lawang barulah perjalanan lancar sampai Jember. Sempat mampir di Rawon Nguling untuk isi perut (pertama kali lho padahal dulu saya cukup sering lewat). Karena yang terkenal adalah menu rawonnya, ya itulah yang kami pesan. Lumayan si, walau untuk ukuran selera saya masih lebih enak rawon Rampal Malang, hanya saja ukuran porsinya besar dan jumlah daging per sajian cukup banyak. Kekurangan depot ini adalah kebersihannya.. meja masih pliket (lengket) walau sudah di lap, dan lantainya kotor. Mungkin karena terletak di jalur ramai antar kota sehingga pengunjung datang silih berganti, dan tidak ada pegawai depot yang membersihkan. Sayang sekali, padahal akan jauh lebih nyaman jika kebersihan lokasi tetap dijaga, apalagi ini  tempat makan yang cukup punya nama.

Tiba di Jember jam 10 malam, sampai di depan rumah mama sudah gelap dan tutupan rapat. Cukup lama kami berhenti di depan pagar, tidak berani gedor-gedor atau menelepon karena kuatir mama sudah tidur. Biasanya kalau kami pulang, semalam apapun, gorden kaca depan masih dibiarkan terbuka sedikit. Ya sudah, akhirnya kami cabut ke hotel Aston, setelah telepon  Dedi untuk menanyakan arah jalan (untung masih bangun-jaga toko). Sebelum ke Aston kami mampir dulu ke hotel Flamboyan untuk menginapkan tukang kami di sana. Hotel ini terletak di belakang rumah mama (daerah tegal besar), bersih dan bagus untuk ukuran rate 100ribu/malam (hanya tidak ber AC).

Sampai di Aston, suami check in sedangkan saya ngurusi kedua kunyil kami serta menurunkan barang. Sampai mobil selesai parkir, barang tuntas diturunkan dan di bawa ke lobby, heran juga kenapa kok urusan check in belum kelar? Ternyata suami masih nego dengan petugas hotel perkara kamar. Begini ceritanya ....
Kami booking 1 kamar deluxe untuk 2 malam, dan oleh petugas hotel ditawari kartu member dengan biaya tertentu. Suami oke saja, tapi ogah jika harus menambah biaya extra untuk pengurusan member di luar biaya kamar. Jadi dia meminta biaya member jadi satu dengan biaya kamar, plus merayu petugas hotel agar kamar bisa di up grade ke tingkat atasnya tanpa mengubah biaya. Ternyata bisa. Sebagai member baru kami mendapatkan extra 1 malam free. Karena tidak mungkin kami memperpanjang stay di Jember (hari senin saya masuk kerja), kami minta agar bisa booking 1 kamar lagi yang setipe untuk 1 malam. Yah, begitulah...akhirnya saya mendapatkan 1 extra kamar  yang saya berikan kepada Dedi. Hanya, akibat pengurusan member dan up grade tipe ini, yang semula saya booking include breakfast, jadinya tanpa breakfast.

Hari Sabtunya (tgl 16 Mei), pagi-pagi anak-anak sudah ribut minta berenang bahkan Deo begitu buka mata, kucek-kucek sebentar langsung duduk dan bilang "mama..Dio (maksudnya Deo) enang (renang). Selesai berenang, pesan  sarapan untuk anak-anak, kemudian ke rumah mama buat bersih-bersih. Siang hari setelah makan Pio-Deo-Michelle sudah ribut minta berenang lagi, Jadi para cowok ( Mas Yudi, Dedi, dan tukang kami)  yang bertugas mbabati kebun, sedangkan kami para wanita (Mama, saya, dan Nunik) kembali ke hotel momong 3 kanak-kanak berenang sekalian Nunik check in juga. Nyemplung kolam renang sekitar jam 3 sore sambil Michelle les berenang (kapan Pio mau dileskan ya?) . Cukup lama rasanya kami berada di dalam kolam, tunggu menunggu  2 cowok  kami kok nggak datang-datang ya? Setengah memaksa karena khawatir mereka kedinginan, baru sekitar jam 6 para krucil mau dikeluarkan dari kolam (Pio sama Michelle bahkan bersekongkol mau nyemplung lagi setelah makan malam).  Setelah kami semua selesai mandi (Tinggal Nunik yang belum), barulah Mas Yudi dan Dedi muncul.
Beneran lho.. selesai makan Pio dan Michelle berlomba merayu agar diijinkan masuk kolam renang lagi. Berbagai daya dan upaya ngeles dikeluarkan untuk membelokkan perhatian mereka dari berenang. Susah juga karena view kamar adalah swimming pool dan mereka bisa lihat masih ada yang berenang walau sudah malam. Tunduknya setelah disepakati besok pagi-pagi sudah nyemplung....

Malam itu anak-anak pesan makanan hotel, sedangkan yang dewasa menghabiskan rawon yang dibawa dari rumah dilanjutkan pesta sate. Baru setelah capek berpisah kamar untuk tidur (enaknya dapat kamar bersebelahan)....

Besok pagi (17 Mei), jam 5 pagi Pio sudah bangun dan jam enam lebih sedikit setelah kolam selesai dibersihkan dan diisi sudah merengek minta berenang. Niatan awal mau saya ajak, mumpung Deo masih tidur sehingga saya bisa berenang juga (kalau ada Deo saya tidak bisa berenang karena Deo nggak mau kalau nggak sama mamanya)....Sudah siap-siap, baru mau berangkat ke kolam.....si Michelle muncul . Ya nggak berani wis ngajak 2 anak kecil sendirian ke kolam saya pasti tetap nggak bisa berenang juga karena Michelle nggak mau pakai pelampung. Lebih baik menunggu semua siap  saja.

Jam tujuh pagi semua sudah ada di dalam kolam kecuali saya, Deo dan suami. Suami masih menelepon Malang, saya pending nyemplung karena Deo bilang : mama...e-o... yaa..yaaa... lebih baik ditunggu sampai si e-o ini keluar daripada nanti malah pup di kolam hehehe.


Termenung di tepi jendela melihat kakak nya sudah masuk kolam renang....

 Sarapan untuk anak-anak dilakukan di tepi kolam, cuma lamaa datangnya dan ada insiden sehingga kami mesti mengembalikan pesanan nasi goreng sampai 3 kali. Pio dan Michelle penggemar nasi goreng, dan karena untuk anak-anak kami sudah memesan nasi goreng putih (nggak pakai saos merah-merah gitu), tidak pedas, tanpa lombok dan merica. Datang pertama saya sudah mbatin kok warnanya agak orange  ya? Benarlah, baru suapan pertama masuk mulut Pio dan Michelle sontak ribut "Pedeeess.." (kata Pio : membakar tenggorokanku..), minta ganti.... yang kedua datang, setelah suapan kedua keluhan pedas datang lagi..(mungkin karena merica, karena efek pedas baru terasa setelah makanan di mulut habis). Ganti lagi... hingga nasi goreng ketiga baru aman (dan ditungguin sama mas-nya sampai yakin Pio dan Michelle ok baru pergi). Heran juga sebenarnya kok bisa begini, karena di hari pertama Pio juga pesan nasi goreng dengan pesanan yang sama (selalu putih, tanpa cabe dan merica), hasilnya langsung oke di pesanan pertama.

 Michelle dan Deo mentas sekitar jam 9 setengah 10, sedangkan Pio masih bertahan sampai tepat jam 10 disertai rayuan. Selesai mandi, Michelle-Deo ambruk tidur, disusul Papa karena nanti harus nyetir saat pulang Malang. Pio? Minta makan lagi, kali ini bakmi goreng...habis pula tinggal sedikit sisa di piring.
Check out tepat jam 12 karena nunggu yang bobok pada bangun..




Dari hotel beli bunga dulu, ke makamnya Papa, mampir rumah mama lagi, beli oleh-oleh buat temen-teman di rumah sakit, singgah sebentar di rumah Dedi, bablas pulang Malang.

**ternyata oleh-oleh yang paling disuka edamame crispy. Kapan-kapan kalau ke Jember lagi, saya belikan yang banyak dah**

Rabu, 10 Juni 2015

Akhir Perjuangan ASI

Bulan Mei 2015 Deo genap berumur 2 tahun, dan itu berarti genap pula perjuangan saya memberikan ASI kepadanya. Bersyukur dan lega karena tercapai juga akhirnya titik ini oleh saya dan Deo.

Memberikan ASI secara penuh kepada Deo tidak saya lalui dengan mulus begitu saja mengingat saya juga bekerja, terutama pada 6 bulan pertama. Cemas dan frustasi menunggu keluarnya tetes ASI pertama, nyeri yang harus saya tahan karena kedua puting saya terluka tertarik oleh Deo yang mengamuk karena ASI belum keluar (kalau sudah capek menghisap, Deo selalu menghentakkan kepala ke belakang sambil tetap tidak mau melepaskan puting saya) serta  di saat Deo tumbuh gigi, sedih saat melihat hasil perahan pertama yang hanya sanggup membasahi (tidak memenuhi lho) pantat botol, panik saat listrik mati, kebingungan mencari tempat menyusui di public area, kelabakan mencari informasi bagaimana caranya memerah dan membawa pulang ASIP saat saya bertugas keluar kota, de el el ...de el el....

Pengalaman kegagalan ASI eksklusif saat anak pertama dan tercapainya S3 ASI untuk anak kedua memberikan banyak pemahaman kepada saya tentang menyusui yang akan saya uraikan di bawah ini, siapa tahu bermanfaat bagi bunda lain yang akan atau sedang menyusui buah hatinya.


Pertama, Jika kita sudah berkomitmen untuk mau menyusui, Jangan pernah menyediakan dot di rumah  walaupun hanya satu dan untuk alasan apapun. Adanya dot akan menggoda kita menggunakannya, terutama di saat lingkungan terdekat tidak mendukung. Jika bayi mengenal dot, cepat atau lambat dia akan memilih dot daripada menyusu langsung. Menghisap dot jauh lebih mudah dan tidak membutuhkan usaha daripada menghisap payudara (dot disentuh saja susu sudah keluar). Jangan membuka peluang terjadinya  bingung puting dengan berpikir : ah tidak apa-apa, walaupun memakai dot si anak tetap mau menyusu ke ibunya. Itulah yang saya alami saat anak pertama. Ketika saya memberi susu dengan dot, saya mengira si Pio oke-oke saja karena tetap mau menyusu ke saya. Yang tidak saya sadari adalah berkurangnya kualitas menghisap, yang akhirnya benar-benar berakhir saat Pio berusia 8 bulan setelah satu minggu full tidak meyusu ke saya karena saya tinggal ke luar kota. Pio hanya sebentar mau menyusu langsung kemudian menangis minta minum pakai dot.. Yang terjadi adalah dia menempel ke dada saya bukan untuk kebutuhan menyusu, tetapi karena faktor psikologis saja (ngempeng).. Produksi ASI ya mengikuti habis...
Selama saya bekerja Deo mendapatkan ASIP dengan cara disuap menggunakan sendok kecil. Tidak sulit kok, Deo dan Papa hanya membutuhkan waktu 3 hari untuk beradaptasi, selanjutnya Deo sanggup menghabiskan ASIPnya dengan kecepatan yang membuat Papa kewalahan.

Kedua, Sebelum melahirkan, carilah info sebanyak-banyaknya tentang bidan / dokter kandungan / rumah sakit yang benar-benar mendukung program ASI eksklusif.  Artinya sama sekali tidak menggunakan susu formula kepada bayi baru lahir tanpa alasan medis yang benar-benar kuat, apalagi menggunakan dot, serta melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) secara sunguh-sungguh bukan hanya sekedar formalitas. Pelaksanaan IMD menuntut kontak skin to skin antara ibu dan bayi, serta dapat berlangsung lamaaaa (pengalaman saya : 2 jam).
Saat Deo lahir, dia langsung diletakkan di atas tubuh saya sambil dipotong placentanya. Supaya tidak kedinginan (karena kamar bersalin ber AC), dipakaikan  topi dan diselimuti di atasnya (diselimuti / ditutupi saja ya, tidak dibungkus sehingga tetap terjadi kontak antara kulit saya dan Deo), bahkan belakangan karena prosesnya lama ditambahkan lampu untuk menjaga bayi tidak kedinginan. Namun, jika karena suatu hal IMD tidak dapat terlaksana baik, jangan patah arang, cukup banyak teman yang berhasil menyusui walau gagal IMD.

Ketiga, Jika memungkinkan dan tersedia carilah konselor laktasi untuk mendapatkan informasi, edukasi, dan pelatihan seputar menyusui. Situs AIMI dapat sangat membantu. Beneran, sangat terasa bedanya karena konselor laktasi sudah terlatih untuk mengatasi permasalahan-permasalahan praktis terkait menyusui.
Dalam hal ini saya merasakan enaknya punya teman dsa yang konselor laktasi. Saya bisa setiap saat menyampaikan semua uneg-uneg saya dengan bebas. Dukungan (selalu bilang : Pasti bisa, itu sudah akeh (banyak) lhooo...Hebat..Hebat..) dan semangat yang diberikan olehnya adalah salah satu faktor yang membuat saya bisa bertahan. Sebagai dsa konselor laktasi, dokter satu ini bisa dibilang saklek soal ASI... tetapi banyak ibu yang tertolong bisa menyusui lagi setelah sempat menyerah (berhenti) menyusui bayinya---curhatan seorang ibu yang satu perjalanan dengan saya waktu keluar kota.

Keempat, Wajar jika ASI tidak langsung keluar begitu bayi lahir, dan bayi baru lahir sanggup bertahan tanpa asupan sampai  3 hari. Pada kelahiran  anak saya, kedua-duanya ASI baru keluar pada hari ketiga .... dan sekali lagi tekanan untuk menggunakan susu formula dan / atau dot  kebanyakan datang dari lingkungan terdekat (baca : keluarga). Sebelum tiba waktunya melahirkan, bicarakanlah komitmen untuk memberikan ASI eksklusif dengan keluarga terdekat terutama suami. Libatkan suami (dan kalau perlu orang tua) dalam sesi konsultasi mengenai persiapan ASI eksklusif. Percayalah, kita akan membutuhkan dukungan dari suami (yang utama nih) / anggota keluarga lainnya untuk melewati masa-masa ini (minimal tidak menambah rasa frustasi). Untuk saya, di saat menunggu keluarnya ASI orang tua sering menyampaikan pendapat : tidak tega melihat Deo nangis jerit-jerit, Deo kelaparan dan kehausan, Kasihan kok mentolo sih.... Disaat kepala saya sudah tenang (seperti sekarang nih), saya mengerti bahwa mereka berkata demikian karena perbedaan pemahaman dan pola pikir, tetapi di saat itu  di mana saya sendiri stress, kata-kata tersebut justru melipatgandakan frustasi dan kesedihan saya. Keberuntungan saya : suami masih kuat mendukung.

Ada satu kondisi yang cukup sering mengharu-biru perasaan para ibu di awal-awal masa menyusui,yaitu icterus neonatorum ( bayi kuning).  Pio dan Deo dua-duanya kuning. Bayi kuning ada 2 macam : kuning yang normal didapati pada bayi baru lahir, atau kuning yang tidak normal. Bagaimana membedakannya saya tidak akan membahasnya di sini, terlalu panjang jadi  tanyakanlah pada bidan atau dokter spesialis anak anda. Yang penting untuk diketahui para ibu adalah waspada mengenali bayi kuning sedini mungkin. Pio dan Deo sama-sama icterus fisiologis (kuning normal), dengan kepekatan kuning Deo lebih parah dari Pio. Untungnya Deo membaik dengan minum obat saja, tidak sampai terapi sinar. Disinilah manfaat dsa pro ASI. Saya tetap diminta melanjutkan menyusui seperti biasa (saat pemeriksaan dsa akan memastikan perlekatan benar, cara bayi menghisap sudah benar, menelan ASI sungguhan --ada bunyi glek-glek--), rajin menjemur, dan dibantu obat. Sama sekali tidak tercetus untuk penambahan susu formula, dan sekali lagi meyakinkan saya : pasti bisa..

Kelima, Jangan cemas jika puting susu terbenam, kita tetap bisa menyusui walau dalam kondisi demikian. Sebelum hamil / melahirkan, sampaikan saja permasalahan ini kepada bidan / dokter / konselor laktasi, sehingga kita akan dilatih mengatasi permasalahan ini.                          
Sayang sekali saya mendapatkan si-mbak (ART saya sekarang ini) nggak dari dulu-dulu saat saya masih stress menyusui. Dia sukses full menyusui anak-anak nya dengan kedua puting payudaranya terbenam. Jika ada teman  / saudara main ke rumah dan bercerita bahwa dirinya gagal ASI eksklusif, biasanya si mbak ini yang getol ngasih semangat  (ngompor-ngomporin). Kalau mendengarkan cerita si mbak ini , dia sangat yakin bahwa semua ibu pasti bisa menyusui asal mau dan berkemauan keras. Pasalnya salah satu saudaranya ada yang berhasil menyusui cucunya karena sang ibu kandung meninggal saat melahirkan (ingat lho...nenek di desa sering-sering masih usia produktif. Jangan dibayangkan istilah nenek adalah wanita tua renta keriput yang sudah bertahun-tahun menopause). Kalimat yang selalu dia ulang-ulang ketika menceritakan saudaranya itu kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia gado-gado kurang lebih begini : " Mbah-e (neneknya) saja bisa keluar susu (ASI) meski direwangi (apa ya istilah Indonesianya?) pentil-e (puting payudara) dedel duel babras bundas , apalagi ibu-e dewe (ibu kandungnya sendiri)"    ...Cukup memompa semangat bukan?

Keenam, Begitu proses adaptasi untuk menyusui terlampaui, segeralah memerah ASI. Untuk ibu bekerja, ini adalah kewajiban jika ingin berhasil ASI eksklusif. Tetapi juga tidak ada salahnya dilakukan pula oleh para bunda yang bisa full di rumah. ASIP  beku ini sangat membantu saya jika produksi ASI turun di saat saya sakit, dan pasti nantinya akan dibutuhkan juga ketika membuat MPASI.
Untuk urusan perah-memerah ini akan lebih praktis jika kita mahir memompa dengan menggunakan tangan, tetapi kalau tidak pun (termasuk saya nih yang tidak ahli memerah dengan tangan) masih ada jalan lain untuk mengeluarkan ASI yaitu dengan menggunakan pompa.

Memilih pompa ASI gampang-gampang susah. Secara fungsi pada dasarnya sama saja, kita tinggal memilih yang paling cocok dan nyaman digunakan. Saya pernah memakai pompa elektrik BabyQ yang murah meriah (saya membelinya tahun 2008 saat menyusui Pio, waktu itu harganya hanya 100ribuan), kemudian Pigeon yang harganya berkisar 700-800 ribu di tahun 2013, sampai Medela Swing dengan harga satu juta koma sekian di tahun 2013.

Pompa BabyQ walaupun murah cukup efektif untuk mengeluarkan ASI. Dia yang berjasa memenuhi persediaan ASIP beku selama saya cuti melahirkan. Kekurangannya adalah suara mesin yang berisik minta ampun (jadi tidak memungkinkan untuk mompa disamping bayi yang sedang tidur). Juga pengaturan ritme pompa masih manual, jadi tangan nggak bisa bebas. saya juga tidak terlalu suka dengan karet untuk melapisi corong pompa yang bersentuhan dangan payudara,  susah mencari gantinya saat karet ini tidak melekat sempurna lagi ke kulit payudara. Saya coba lepas, pompa tidak bekerja maksimal.

Pigeon, kelebihannya adalah suara yang  lebih silent, sehingga bisa saya pergunakan untuk memerah disamping bayi. Kita juga bebas menyetel pola ritme dan kekuatan pompa yang paling nyaman untuk kita. Kekurangannya bagi saya adalah corong pompa yang menggunakan lapisan karet, serta mesin pompa yang cukup besar plus perangkat pompa yang tidak bisa diprotoli kecil-kecil (jadi untuk saya yang sering pergi keluar kota sangat tidak praktis dibawa-bawa).

Medella, saya menggunakan type Swing. Model ini yang saya paling suka. Mesinnya kecil, ringan, dan perangkat corong pompanya bisa diprotoli, sehingga ringkas dan ringan untuk saya bawa-bawa kemana saja. Suaranya juga silent serta corong pompa tanpa tambahan karet, plus model ini bisa diubah menjadi pompa manual dengan menambahkan perangkat ring dan tuas yang dibeli terpisah. Mesinnya cukup bandel, karena bertahan saya hajar 2 tahun memerah (kalau lagi keluar kota setiap 3-4 jam pasti operasional), bahkan salah satu mesin pernah kemasukan ASI karena saya tertidur saat memerah. Botol penuh, naik ke selang , saya tidak tahu dan masuk mesin. Tahu-tahu saya terbangun karena mendengar suara mesin pompa yang keras ngruek--ngruekk-- Mau nangis rasanya saat itu, saya pikir tamatlah riwayat mesin satu ini (udah harganya mahal banget), tetapi rupanya setelah luberan ASI di mesin kering, dia dapat berfungsi kembali. Kekurangannya adalah saya beberapa  kali kehilangan membran putihnya (ukurannya mungil dan tipis), untung mudah mencari gantinya.  Karena selama menyusui saya cukup sering bepergian keluar kota, saya memiliki 2 mesin pompa Medella.

Untuk aktivitas memerah, 1 tahun pertama diluar memerah di kantor saya rutinkan memerah setiap tengah malam / dini hari, serta pagi subuh (note : biasanya kalau di rumah yang saya perah hanya satu payudara karena yang satunya diminum Deo),  diluar waktu itu saya susukan langsung. Lepas 1 tahun saya hanya 1x memerah saat dini hari (kecuali saya kejar tayang stok untuk ditinggal keluar kota).

Untuk botol ASIP suami tidak setuju jika kami menggunakan botol re-use (saya sempat beli sih la wong murah--akhirnya dikasihkan orang), sehingga sedikit demi sedikit kami membeli botol ASI baru. Jumlah botol yang saya miliki selama memerah ASIP tidak terasa mencapai 50 botol lebih dalam berbagai ukuran dan merek (60cc, 90cc, 120cc, dan 150cc).

Ketujuh, yakinkan diri sendiri bahwa ASI cukup dan tetapkan kemauan kuat untuk menyusui. Saya mengalami susahnya meyakinkan diri sendiri bahwa ASI saya cukup. Untuk sekedar tahu saja, ASI saya tidak melimpah ruah. Sering juga saya iri pada teman yang bisa mencapai lebih dari 500cc sekali perah untuk dua payudara, sedangkan saya rekor terbanyak (dan hanya 1x terjadi) hanyalah 380cc. Rata-rata hasil memerah saya 200cc untuk dua payudara, kadang kurang kadang lebih. Karena faktor tidak percaya diri ini, selama dua bulan sebelum saya meninggalkan Deo keluar kota untuk pertama kali, saya mencoba cukup banyak ASI booster.. dan baru saya lepas sepulang dari Jakarta  ..dan hasilnya? Tidak ada perbedaan hasil perah  (untuk saya) apakah saya pakai atau tidak pakai  ASI booster. Hanya membantu memberikan rasa tenang bagi saya (sugesti ya). Yang benar-benar memberikan efek ke produksi ASI saya adalah jumlah minum, sehingga patokan saya adalah warna air kencing  harus bening, dan bibir tidak boleh sampai terasa kering..memang benar jumlah produksi ASI = jumlah permintaan.

Menyusui memang hal alami setiap ibu, tetapi ada banyak hal yang menyebabkan gagalnya proses menyusui, terutama posisi perlekatan bayi. Bidan / perawat / dokter yang baik akan selalu mengontrol dan melatihkan posisi menyusui yang benar kepada anda (bukan hanya sekali ya..tetapi selalu. Baik saat masih di RS maupun dalam perjalanan kontrol). Jika posisi perlekatan sudah diyakinkan benar, konsitensi menyusui baik, tetapi masih ada masalah mungkin ada masalah lain yang harus dicari seperti bayi dengan tali lidah yang pendek hingga mengganggu kemampuan menyusu.  Jangan lupa pada bayi ada masa growth spurts (percepatan pertumbuhan) di mana mereka akan tampak selalu kelaparan, tidak puas menyusu. Kemunculan dan lamanya bisa bervariasi pada masing-masing anak. Deo pun juga begitu, di masa ini dia hampir selalu menempel di dada saya, selalu rewel minta menyusu dalam jeda yang singkat, susah banget untuk mau ditaruh bobok. Walau saya cemas hal itu disebabkan penurunan produksi ASI, dsa kami berhasil meyakinkan bahwa Deo sedang mengalami masa growth spurts dengan bukti frekuensi pipis yang masih sering dan grafik pertambahan BB nya masih dalam batas normal.


 Kedelapan, Inilah tips membawa pulang ASIP saat tugas keluar kota. Jika memungkinkan teleponlah dulu hotel tempat menginap unuk menanyakan apakah bisa menitipkan ASIP di freezer mereka. Hati-hati, freezer kamar hotel kebanyakan kurang dingin, jadi lebih baik dititipkan di pantry / dapur mereka. Mintalah agar disimpan di freezer es batu atau makanan matang, dan saat menyerahkan pastikan petugas hotel paham bahwa ini adalah ASI dan harus beku. Saya belum pernah ditolak hotel untuk menumpang menitipkan ASI di freezer mereka. Paling-paling mereka melongo, meyakinkan kalau pendengaran mereka tidak salah ( Apa Bu? ...3-4 x bertanya walau di labelnya jelas-jelas saya tulis ASI), bahkan ada yang merubung saya, bertanya A-Z tentang memerah menyimpan ASI saat keluar kota (saya alami di Hotel Red Top Jakarta). Satu-satunya yang pernah menolak saya untuk menitipkan ASIP dan ice gel  adalah Jakarta Convention Centre. Padahal saya sudah menjelaskan bahwa ini adalah ASI, dan coolerbag saya tidak akan bisa bertahan dari pagi-sore.
Yang agak susah mencari tempat memerah adalah jika kita mengikuti acara di suatu tempat yang tidak memiliki tempat laktasi, kita tidak menginap di sana,  dan panitia penyelenggara acara tidak mampu mencarikan tempat (Jangan sampai memerah di toilet jika ASI akan disimpan--kalau dibuang sih nggak masalah ya--Jijik!!!!!). Empat jempol buat Hotel Sheraton Surabaya, di mana saya sampai diberi ruang di kantor manajemen mereka untuk dapat memerah ASI (saya memutuskan bertanya sendiri kepada petugas hotel karena panitia acara tidak bisa mencarikan ruang untuk saya).
Nah, bagaimana kalau tidak ada yang mengerti kebutuhan ruang ibu menyusui seperti manajemen Sheraton Surabaya? Kalau saya, jika saat itu ada mobil yang bisa dipinjam / dipakai, saya akan memilih untuk memerah di parking area di dalam mobil. Jika benar-benar tidak dapat menemukan tempat privasi, daripada memerah di toilet saya memilih memerah di tempat acara (cuek orang mau mikir apa terserah). Cari kursi dan lokasi yang paling nyaman, keluarkan apron (pakailah apron yang bisa menutup seluruh tubuh bagian atas depan-belakang), dan jalan dah kegiatan memerahnya. Itu masih lumayan, saya juga pernah melakoni memerah di dalam pesawat.

Untuk tempat ASIP selama perjalanan, jangan menggunakan botol, apalagi botol kaca. Akan membuang banyak space, lebih berat, dan resiko pecah juga. Gunakanlah kantong plastik khusus untuk menyimpan ASIP yang banyak dijual di toko perlengkapan bayi. Untuk yang belum terbiasa memakai kantong ASIP, enak menggunakan milik Medella karena ada cantolannya. Tidak risiko mrusut / terlepas sehingga bahaya ASIP tumpah. Cuma sayangnya sulit mendapatkan di pasaran, sehingga waktu itu saya harus pesan ke Medella Surabaya. Kalau sudah terbiasa, mau pakai merek apapun nyaman-nyaman saja. Walaupun 1 kantong ASIP muat diisi sampai 150cc lebih, saya paling banyak mengisinya hanya 100-110cc / kantong supaya bisa habis dalam 1x pencairan (maklum ASI saya tidak berlimpah ruah, jadi kalau ada yang kebuang eman banget). Untuk membekukan ASIP dalam kantong ASI, saran saya jangan langsung dibekukan berdiri karena kita akan kesulitan saat mengaturnya dalam coolerbox (pengalaman pertama saya), tetapi  tekuklah kantong ASIP menjadi 2, dan bekukan dalam posisi mendatar akan sangat mudah untuk mengaturnya.


Kantong ASIP dalam posisi berdiri
Kantong ASIP dilipat 2
Cobalah perhatikan, jika ASIP dibekukan dalam posisi berdiri dia akan membutuhkan banyak space  karena sosoknya yang gendut. Tetapi jika kantongnya dilipat dua dan dibekukan dalam posisi tidur mendatar seperti diatas, bentuknya setelah beku akan jauh menghemat tempat dan mudah ditata (baik di coolerbox maupun di freezer).


O,ya saya terbiasa untuk mendobeli kantung ASIP yang akan saya titipkan di freezer hotel dengan dua kantong plastik 1kg-an tebal, hanya untuk meyakinkan saya ASIP tidak tercemar dengan bahan / bau lain yang ada di freezer hotel. Jadi sebelum saya tekuk 2 saya masukkan ke dalam plastik 1 kg pertama, dan ditekuk bersama dengan plastiknya, plester supaya bentuk tidak berubah,  setelah itu saya masukkan lagi dalam kantong plastik 1kg kedua, rapikan menyesuaikan bentuk kantong ASIP, plester lagi untuk memfiksasi. Plester yang saya gunakan untuk menutup rapat kantong plastik adalah isolasi kertas (supaya mudah merobeknya, jadi saya tidak perlu bawa gunting).
Sebagai ID untuk ASIP, saya menempelkan stiker identitas yang berisi keterangan : ASI-HARUS BEKU, nama lengkap saya, nomor kamar, tanggal dan jam perah, serta nomor urut  kantong ASIP (supaya mudah untuk mengecek saat saya mengambil semua kantong ASIP saya ketika check out--tinggal mengurutkan nomornya). Jangan menyepelekan identitas lengkap, ingatlah mungkin saja yang menitipkan ASIP bukan hanya kita.
Stiker identitas yang saya tempelkan ada 2, stiker kecil yang saya tempelkan langsung di kantong ASIP (soalnya susah menulisi langsung di kantongnya, sering tidak jelas terbaca), dan stiker yang besar saya tempel diluar plastik 1kg pertama. Kenapa di plastik 1kg pertama? Pertimbangan saya akan lebih aman jika stiker identitas ini terlapisi lagi oleh plastik kedua sehingga tidak ada risiko stiker rusak atau tinta luntur karena terkena basah yang akan mengacaukan identitas ASIP kita. Namun pastikan stiker tetap jelas terbaca, tidak tertutupi oleh lipatan plastik dan / atau plester.
Contoh jadi pengemasan ASIP sebelum saya titipkan ke freezer hotel ada di gambar di bawah ini. Pojok kanan di bawah tissue di sebelah box perangkat pompa (maaf gambarnya kecil).

Perlengkapan memerah ASI saat keluar kota
Untuk menghindari terulangnya kesalahan penyimpanan seperti yang saya alami di hari pertama menginap di Hotel Santika Jakarta, pada pagi hari kedua saya selalu minta petugas hotel mengeluarkan titipan ice gel dan ASIP hari pertama. Cek apakah sudah benar membeku sesuai dengan kondisi yang kita minta. Saya cium-cium juga untuk mencari bau amis kalau-kalau ASIP saya dibekukan bersama daging / ikan mentah (atau sebangsanya).
See? Untuk urusan penitipan ASIP di hotel, saya akan menjadi orang yang super duper cerewet sampai saya yakin mereka paham betul. Jadi, tidak heran petugas hotel akan  hafal dengan saya. Seperti di Hotel Holiday Inn Semarang, petugas  akan selalu duluan menyapa  saat melihat saya keluar lift  dengan menenteng kantong ASIP, sekalipun itu dini hari : Halo  Bu Ika mau menitipkan ASI seperti biasa? (mau tidak mau saya nyengir juga melihat wajah si mas dan sapaannya).


Untuk menjaga agar ASIP tetap beku sampai di rumah, saya selalu membawa cooler box  ukuran 12 Lt, bagian bawah saya lapis dulu dengan handuk tipis, kemudian menata ice gel supaya menutupi dasar dan dinding coolerbox, atur ASIP, tutupi lagi dengan ice gel, kemudian terakhir tutup dengan handuk lagi. Setelah mengunci coolerbox, saya melakban seluruh tepi bukaan tutup coolerbox dengan isolasi besar. Aturan membekukan ASIP berlaku pula untuk ice gel. Aturlah sedemikian rupa supaya ice gel membeku dengan bentuk rata, tidak jendut sana jendut sini (akan membuang banyak space!).

Bener dah, teman-teman saya selalu berkomentar sudah bawaannya yang paling banyak, dengan menyangklong coolerbox besar saya bisa disangka orang jualan es atau minuman dingin (O-o-o-o)
Dan setiap saya bepergian keluar kota, lebih dari 1/2 bawaan saya adalah perlengkapan perang untuk memerah dan membawa pulang ASIP.

Jangan rancu perbedaan antara coolerbox dan coolerbag ya. Coolerbox jauh lebih tahan untuk mempertahankan suhu dingin dibandingkan coolerbag, tetapi juga jauh lebih berat.
Coolerbox saya gunakan  untuk membawa ASIP beku dalam perjalanan antar kota dan selama ini terbukti efektif ASIP-ASIP saya tidak pernah cair walau saya terkena delay atau terjebak kemacetan parah. Kalau coolerbag keefektifan mempertahankan dingin mungkin hanya bertahan 3-4 jam, sehingga hanya saya gunakan untuk membawa ASIP (tidak dalam kondisi beku) dari rumah sakit ke rumah, atau untuk menyimpan ASIP hasil memerah di atas kendaraan. Intinya jika butuh membawa-bawa ASIP dalam kondisi beku, pakailah coolerbox.

Ini adalah coolerbox 12 liter yang saya gunakan untuk membawa pulang ASIP beku jika saya bepergian ke luar kota
Coolerbox 12 liter

Sedangkan yang ini adalah beberapa macam coolerbag yang saya miliki. Coolerbag ramping warna orange dan hitam adalah coolerbag yang saya gunakan jika saya harus memerah ASI di atas pesawat atau moda transportasi lainnya. Coolerbag kubus warna biru dan merah adalah coolerbag yang sering saya gunakan untuk membawa pulang ASIP dari rumah sakit, sedangkan coolerbag yang paling besar (warna hitam putih) biasanya saya pakai jika saya mengikuti acara yang diperkirakan bakal sulit mendapatkan tempat menitipkan ASIP (muat untuk membawa cukup banyak ice gel sehingga lumayan untuk mendinginkan ASIP, tapi tetap masih jauh lebih ringan daripada coolerbox).

Coolerbag


Kesembilan, Cara saya mengatasi padam listrik.  Karena saya memiliki blue ice dan ice gel dalam jumlah banyak, saya tidak perlu tergopoh-gopoh membeli es batu untuk dimasukkan ke dalam freezer ASIP. Cukup dengan tidak sering-sering buka tutup freezer selama listrik padam. Yang saya lakukan adalah menelepon teman dan saudara menanyakan ketersediaan tempat di freezer mereka untuk menitipkan ASIP-ASIP saya kalau pemadaman berlangsung lama. Kekurangannya adalah tidak semua orang memiliki freezer khusus yang digunakan hanya untuk es batu atau makanan matang. Tidak mungkin bukan menyimpan ASIP di freezer bercampur daging mentah? Sehingga akhirnya saya menego sebuah minimarket langganan untuk diijinkan menitipkan ASIP di freezer ice cream atau frozen food mereka jika listrik padam lama. Terakhir karena saya selalu gelisah jika ada pemadaman, akhirnya suami membeli genset.

Sepuluh, Bagaimana saya menyusui di public area? Susah juga nih karena masih sedikit public area yang menyediakan tempat laktasi, apalagi yang bersih.. Pilihannya adalah menyusui di depan umum atau anak saya tidak disusui. Oooo jelas saya memilih opsi pertama. Apa kata orang ---EGP--- yang penting anak saya tidak kelaparan dan kehausan. Untuk apron saya memiliki dua jenis apron, satu apron besar (menutup full tubuh bagian depan - belakang) dan tebal yang saya gunakan untuk memerah ASIP, serta satu  apron kecil  dari katun hanya menutup area depan saja sebatas dada untuk menyusui langsung. Dan untuk anak saya, apron menyusui hanya bisa dipakai sampai dia usia 3 atau 4 bulan saja (saya lupa persisnya), setelah itu, berontak nggak mau ditutupi apron. Lalu? Ya terpaksa saya harus menyusuinya tanpa apron, hanya dengan sapu tangan atau tissue (besaran lagi, Deo juga selalu membuang sapu tangan yang saya gunakan --Uuuphh). Awalnya risih juga, lama-lama saya bisa cuek. Bukan keinginan saya untuk menyusui di tempat umum karena saya tidak dapat menemukan ruang laktasi.

Apron untuk menyusui langsung
Apron besar untuk memerah di tempat umum



Hanya sekedar sharing pengalaman buruk saya di ruang laktasi bandara Juanda (sebenarnya bukan saya langsung tetapi rekan kantor yang menemani saya memerah di situ) :
Sebelum boarding untuk penerbangan ke Semarang, saya menyempatkan diri memerah ASI dan rekan saya ini ikut masuk ke ruang laktasi bandara Juanda terminal 2. Secara umum ruang laktasi cukup bersih, dan saya dapat memerah hingga selesai tanpa masalah. Ketika saya ke toilet yang terletak di dekat ruang laktasi, saya meninggalkan segala perlengkapan perah memerah di ruang laktasi, saya titipkan rekan saya yang tidak ikut ke toilet. Selesai, saya heran kok rekan saya sudah menunggu di depan toilet sambil membawa seabreg perlengkapan tempur memerah saya.  Cerita punya cerita, ternyata sepeninggal saya ada seorang ibu masuk dengan membawa anak kecil berusia sekitar 3-4 tahun..dan coba tebak apa yang dilakukannya? Ibu tadi membawa anaknya untuk kencing (BAK) di wastafel ruang laktasi !!! Astaganaga.... teman saya yang shock langsung meringkas barang-barang saya dan keluar dari ruang laktasi. Saya saja yang hanya mendengar ceritanya, langsung merasa eneg, dan bersyukur botol ASI saya tadi tidak menyentuh wastafel. Padahal kalau menilik penampilan si ibu, seharusnya juga bukan orang yang tidak terpelajar, tetapi kenapa ya tidak membawa anaknya yang sudah cukup besar untuk BAK di toilet? Entahlah..saya tidak habis pikir sampai saat ini.

Sekitar dua bulan menjelang Deo dua tahun, saya total tidak memerah ASIP lagi kecuali saya dinas luar kota. Demikian pula saat saya ke Singapura, saya hanya membawa pompa ASI, tetapi tidak membawa pulang ASIP nya. Berhubung Deo sudah 2 tahun, saya ogah juga mengurus rebyeknya ijin penerbangan internasional untuk bisa membawa ASIP melalui cek imigrasi dan ke dalam kabin pesawat. Tetapi misal hal ini terjadi di saat Deo masih membutuhkan ASIP saya, serebyek apapun pasti saya terjang. Secara aturan boleh, bahkan ada aturan penerbangan internasional dan domestik yang mengijinkannya, lebih aman lagi jika dengan disertai surat keterangan dokter bahwa kita adalah ibu menyusui. Saat terbang pertama saya bahkan sudah mengeprint aturan itu yang saya download dari internet, saya juga sudah membawa surat keterangan dari dokter spesialis anak (dsa) saya, tetapi ternyata untuk penerbangan domestik saya dapat melenggang masuk dengan mudah tanpa mengeluarkan berkas dokumen yang sudah saya siapkan.
Jika saya membawa pulang ASIP, selama ini saya memilih untuk menenteng ASIP ke kabin pesawat karena saya tidak ingin terjadi permasalahan bagasi yang bisa menyebabkan ASIP-ASIP saya hilang / rusak. Tetapi jika perjalanan berangkat di mana coolerbox masih belum diisi ASIP (hanya berisi ice gel / blue ice saja), saya masih berani membagasikannya. Sekalipun apes terjadi kehilangan bagasi, coolerbox dan ice gel saya masih bisa beli lagi. Justru saat saya menggotong coolerbox yang penuh terisi ASIP saya tidak pernah ditanya apakah gerangan isinya baik saat check in ataupun saat boarding. Tetapi ketika saya membagasikan coolerbox yang hanya terisi ice gel dan meminta untuk ditempel tulisan "fragile", saya justru ditanya apa isinya....

Lalu sekarang apakah Deo sudah disapih? Jawabannya : belum bisa...
Kami sudah berusaha mencari susu formula untuk susu lanjutan bagi Deo, tetapi ya ampuun.. susahnya setengah mati mencari susu yang Deo mau. Kadang tegukan pertama dan kedua masih ditelan, ada yang satu tegukan langsung tidak mau lagi, bahkan yang parah ada juga yang dicium saja sudah langsung emoh. Entah setelah berapa kaleng / kardus susu berbagai merk terlantar karena ditolak Deo (saya kasihkan orang deh daripada masuk keranjang sampah..rata-rata hanya berkurang 1x seduh saja), akhirnya kami menemukan susu yang cocok. Kebetulan saja Deo cocok dengan rasa dari S-26 Procal Gold. Itupun kami hanya membuatkan jika dia meminta... jangan coba-coba membuatkan tanpa request darinya, tidak akan disentuh. Jika lagi kepingin susu formula, biasanya Deo akan bilang Papa / Mama, minta susu.. Kalau maunya ASI (lebih sering), dia akan bilang Mama mimik... sambil menatap ke saya tak berkedip, atau langsung menggandeng tangan saya dan bilang : Mama, ke kamar ya? Mimik.... dan begitu saya bilang "ayo" tawa kecilnya yang renyah langsung bergema..Siapa yang tega menolak coba?...














Jumat, 05 Juni 2015

Home Sweet Home

Memiliki sebuah rumah pastilah impian semua keluarga, termasuk kami berdua. Demi mendapatkan rumah ini pula, kami sepakat untuk menunda rencana pernikahan selama satu tahun dan memutuskan untuk membeli rumah dulu (atau kalaupun dananya tidak mencukupi minimal tanahnya dulu)

Keinginan kami saat itu adalah memiliki rumah dengan luas tanah paling tidak 100 meter persegi. Tidak berani memimpikan tanah yang lebih luas lagi karena sadar akan kemampuan financial diri sendiri. Prinsip kami adalah kami akan berusaha memiliki rumah dengan keringat kami, apapun bentuknya nanti. Kami tidak akan meminta bantuan dana dari orang tua, sudah cukup mereka membekali kami dengan pendidikan. Jikapun orang tua masih memiliki simpanan dana, biarlah digunakan untuk menikmati hari tua. Kami berdua masih sehat, masih muda dan kuat, diberi badan utuh dengan seluruh anggota tubuh yang  berfungsi  baik, jadi  tidak pantas dan harus malu  jika masih menadahkan tangan pada orang tua yang sudah banting tulang menyekolahkan kami sampai lulus. Kalau kami tidak bisa langsung sampai di atas, kami masih sanggup untuk merangkak dari bawah.

Berburu rumah dengan modal dana pas-pas-an juga tidak mudah. Kalau tidak salah ingat, tabungan kami berdua di tahun 2006  ada di nominal 11 juta-an. Tidak banyak untuk ukuran cukup buat beli rumah. Keliling ke semua area di kota Malang untuk melihat-lihat lokasi, mengunjungi setiap pameran property, dan juga mengoleksi segunung brosur  rumah. Banding-banding, menelepon setiap ada tulisan rumah dijual yang kami suka, sampai tanya-tanya bank bagaimana kami bisa mengajukan KPR. Setelah umek mencari selama beberapa waktu, tersisa beberapa kandidat rumah yang kami incar, salah satunya rumah yang kami tempati sampai saat ini.

Kami berdua memang memilih rumah di perumahan dengan pertimbangan kemudahan jika nanti mencoba mengajukan KPR, bukan perumahan elit tentu karena dana belum ada. Rumah kami sekarang dulunya adalah rumah type 36 dengan kondisi hancur. Rupanya lama tidak ditempati. Sudah ada pagar tembok keliling, tetapi gerbangnya sudah roboh. Rumput dan tanaman beledu berduri tumbuh lebat sampai ke atap dan menutupi penampakan rumah. Jangan ditanya bagaimana kondisi bangunannya. Tembok batu bata masih utuh, tetapi yang namanya kusen dan pintu sudah habis diserbu rayap, keramik lantai banyak yang pecah. Secara fisik, sama sekali tidak menarik. Yang kami suka adalah tanahnya yang cukup luas... 176 meter persegi, jauh di atas angan-angan kami dan harga tidak mahal-mahal banget karena kondisi rumah yang tidak layak huni.

Rumah ini dibuka dengan harga 120jt nego tipis. Pikir-pikir lagi... duit kami jauuuh dari cukup..mana untuk pengajuan KPR kayaknya hampir mustahil bisa mengcover kebutuhan pembelian rumah berhubung suami masih merintis usaha, sedangkan saya baru lulus, dan masih berstatus pegawai klinik. Sambil tetap jalan negosiasi, berusaha mencari alternatif  rumah  dan sumber dana lain. Sudah tidak nemu rumah lain yang cocok  (luas tanah plus harganya), kami mulai serius mengejar rumah rusak satu ini. Deal harga 100 juta pajak tanggung sendiri-sendiri. Di sini lah 2 keajaiban terjadi. Pertama, selang beberapa hari setelah deal harga, suami ditelepon oleh pemilik rumah, ditanya apakah tidak mau menawar lagi....Aneh! Akhirnya harga  turun lagi sampai ke 97 juta, lumayan 3 juta bisa buat bayar pajak. Plus kami diijinkan untuk memberi DP 5 juta dan minta tenggat waktu pelunasan 3 bulan lagi dengan alasan jatuh tempo pencairan deposito ( guaya pol, padahal aslinya : mau cari duit dulu).
Keajaiban kedua baru kami ketahui setelah rumah resmi menjadi milik kami. Saat bersih-bersih ada bapak-bapak yang datang menghampiri, bertanya apakah rumah ini sudah kami beli. Dari obrolan suami dengan bapak ini, rupanya beliau juga terlibat negosiasi dengan pemilik rumah. Sama-sama deal harga 100 juta, akan dibayar tunai 75 juta, sisanya minta waktu 1-2 bulan untuk mengurus KPR guna melunasi sisa 25 juta..dan ditolak. Sampai saat ini pun saya dan suami selalu terheran-heran bagaimana dua hal tersebut bisa terjadi.. Nggak bisa diomong, mungkin rumah ini memang sudah jodoh kami .....

Lalu bagaimana ceritanya kami mendapatkan dana untuk melunasi pembelian rumah? Berjuang ! Berusaha mencari celah apapun yang bisa dimasuki.  Cukup banyak  Bank yang kami jajagi dan hasilnya tidak ada yang bisa menurunkan dana dalam jumlah cukup untuk menutup seluruh kebutuhan pembiayaan rumah (plus biaya notaris dan administrasi lain-lain). Bantuan Tuhan datang melalui seorang rekan suami yang bersedia membantu kami meminjamkan dana tunai sebanyak yang kami butuhkan untuk melunasi pembelian rumah dan tanpa jaminan (jadi sertifikat rumah tetap kami pegang), walupun tetap dikenakan bunga pinjaman. Selain itu, banyak pintu rejeki dibuka sehingga tanpa kami sadari dalam tempo 3 bulan tabungan kami dapat meningkat dari saldo akhir 6 juta (setelah terpotong pemberian DP rumah) menjadi hampir 5x nya walau saat itu suami harus berangkat kerja subuh pulang malam serta menempuh jarak Jakarta - Malang demi mengejar saldo tabungan (maklum, saat itu saya masih karyawan klinik dan masih keluar biaya untuk kost hehehe, jadi sumbangsih tabungan terbesar untuk beli rumah berasal dari keringat suami).

Singkat cerita, kami akhirnya memiliki rumah. Biarpun jelek, kecil, dan kondisi bangunannya hancur, rasa hati ini senang sekali..Rumah kami sendiri, dengan keringat sendiri... wow...
Renovasi rumah kami lakukan bertahap, yang penting saat kami menikah rumah sudah dalam kondisi tertutup bisa ditempati. Gerbang rumah ternyata masih ada tertimbun rumput, tinggal memperbaiki rel-nya. Untuk kusen pintu dan jendela kami mencari kusen jati bekas (biar lebih kuat dan murah). Pintu yang diganti pintu keluar saja, untuk pintu kamar ditutup kain sudah cukup lah buat sementara. Menjelang menikah, kami menambahkan 1 ruang extra  di belakang, dan sampai hari H pernikahan wujud ruang tambahan tersebut masih batu bata berdiri tanpa peluran, lantai semen kasar, dan tanpa plafon. Yang penting sudah tertutup, lumayan bisa digunakan untuk menyimpan barang serta lemari.

Renovasi rumah yang cukup besar terjadi menjelang saya hamil Pio. Saat itu salah seorang rekan suami mendorong kami untuk segera membereskan rumah (ganti keramik dan menambah ruang). Keramik disuruh ngambil ke gudang miliknya, bahan bangunan ada referensi toko yang ternyata kenalan suami juga, sehingga baik keramik maupun material lainnya kami tinggal ambil, perkara bayar terserah sepunya-nya. PR kami saat itu hanyalah mencukupi kebutuhan pembayaran ongkos tukang. Hasilnya, saat Pio lahir kondisi rumah sudah lapang dan bersih.  Perbaikan-perbaikan selanjutnya tetap berlanjut, tapi dalam skala kecil sehingga tidak terasa saat ini rumah kami bisa dikatakan full bangunan.

Perjuangan saat itu untuk memiliki rumah merupakan pengalaman yang sangat berharga, dan kami bangga dengan hasilnya. Rumah yang kami peroleh dengan susah payah, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar uang muka, melunasi cicilan, dan sedikit demi sedikit memperbaiki rumah. Rumah kami bukan rumah bertingkat, tidak terletak di kawasan hunian elit, namun bagi kami rumah ini mendatangkan aliran rejeki tersendiri, serta merupakan "monumen" bahwa kami dianugerahi kesempatan dan kemampuan untuk memperjuangkan rumah tinggal (murni dengan keringat kami berdua)....