Selasa, 12 Januari 2016

Nelayan Lenggoksono

Setelah beberapa kali kunjungan ke kompleks wisata pantai Lenggoksono-Bolu Bolu - Banyu Anjlok, dan  dua kali ulasan mengenai serunya bermain bersama anak-anak di sana, saya sudah tidak punya bahan lagi mengenai kondisi alam untuk ditulis berhubung semua sudah saya ceritakan.
Bagi yang belum mengetahui tentang lokasi, rute, pilihan transpotasi, maupun kondisi alam kompleks wisata Lenggoksono, Bolu-Bolu, dan Banyu Anjlok dapat melihat tulisan yang ini atau ini.

Ada satu bagian penting yang tidak terpisahkan jika kita berkujung ke Lenggoksono, yaitu perahu jungjung dan pengemudinya apalagi bagi kami yang membawa dua anak mau tidak mau pasti membutuhkan perahu untuk menjangkau semua spot yang ada. 
Pada kunjungan pertama  ke Lenggoksono, oleh koordinator perahu di sana kami dipilihkan nahkoda yang sudah kenyang pengalaman melaut (nelayan sejak muda) dan terbiasa membawa anak kecil. Hmmm... ini salah satu point keuntungan kami membawa dua anak yang berumur 7 th dan 2,5 th. Walau ombak cukup besar saat itu, kami bisa melaluinya tanpa meninggalkan kesan mengerikan.
Karena bekunjung bukan pada hari libur, kami dibebaskan bermain sepuas hati tanpa batasan waktu (menurut info jika kondisi sedang ramai pengunjung, kurang lebih setelah 1,5 - 2 jam pemilik perahu akan mengajak penumpangnya untuk berpindah lokasi), juga sempat mengobrol banyak dengan bapak pengemudi perahu dan asistennya. Hari itu ditutup dengan tangisan Pio yang tidak rela mengakhiri sesi bermain airnya, dan pada kunjungan pertama- nya Pio sudah mendapat julukan anak segoro (anak laut) dari Pakde (bapak perahu kami).

Kunjungan kedua ombak dalam kondisi bersahabat, perahu dapat  masuk ke tengah lautan dengan mulus tanpa menyebabkan kelapa muda pemberian Pakde  tumpah. Mengetahui kecintaan Pio bermain di pantai, walau berkunjung saat hari libur dan ramai wisatawan kami tetap dibebaskan bermain tanpa batasan waktu  asal ombak bersahabat. Pada kunjungan-kunjungan berikutnya Pakde  malah sering berkata kepada kami untuk memberikan waktu lebih kepada Pio yang menangis tidak mau diajak pulang, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya begini "Sudah biarkan saja. Kasihan. Sampai agak / menjelang gelap juga tidak apa-apa karena ombak dalam kondisi bagus". 
Pada kunjungan kedua ini pula kami mendapat  kejutan manis dari Pakde dan asistennya  : ketika pulang dari pantai Bolu-Bolu, kami ditanya apakah suka kerang, dan begitu menjawab 'iya' sang asisten langsung menceburkan diri ke laut, berenang ke pulau karang, serta mengumpulkan kerang  untuk kami. Hari itu kami pulang ke rumah dengan membawa kerang  satu karung penuh, tanpa sepeserpun mereka mau menerima pembayaran dari kami. Bapak perahu hanya berpesan agar kapan-kapan kami mampir ke rumahnya. 

Akhirnya mulai kunjungan ketiga sampai saat ini setiap akan pulang kami pasti mampir dulu ke rumah bapak perahu dan selalu dijamu dengan hangat. Pio pun sudah sangat akrab dengan Pakde-nya, dia tidak mau dinaikkan ke perahu lain kalau bukan Pakde yang mengemudi. Sering kali di tengah laut ketika berperahu Pio akan berkata  : "Pakde nanti aku boleh minta es teh ya di rumah?"   ....   atau sekali waktu ketika hujan, dia pesan teh hangat.

Malam sebelum berangkat ke Lenggoksono, sesuai dengan pesan  bapak perahu kami akan menelepon untuk menanyakan kondisi ombak apakah memungkinkan atau tidak untuk dilalui perahu. Pada beberapa kesempatan kami membatalkan rencana kunjungan karena dilarang oleh Pakde terkait ombak besar.
Itupun, dalam beberapa kesempatan  kami masih mengalami berbagai kondisi ombak mulai dari yang sangat tenang sampai yang cukup membuat saya cemas. Namanya juga bermain dengan alam, perubahan cuaca dan kondisi mempunyai peluang yang cukup besar untuk terjadi.
Lenggoksono - ombak sedang besar
Lenggoksono - ombak tenang
Pernah suatu kali, pagi sebelum berangkat kami mendapat info bahwa cuaca baik dan ombak enak...ketika kami tiba di lokasi hujan deras turun. Menilik banyak perahu yang hilir mudik mengantar wisatawan membuat saya berpikir kondisi laut masih cukup aman untuk dilalui. Sempat bertanya-tanya juga...dengaren Pakde membawa dua asisten nahkoda, biasanya hanya satu.
Sekali waktu kami juga pernah mengalami perubahan ombak ketika berangkat dan pulang. Pagi ketika bertolak dari Lenggoksono ombak cukup bersahabat, namun sore harinya ketika pulang dari pantai Banyu Anjlok ombak membesar. Untuk kali itu Pakde turun tangan membantu menbujuk Pio agar mau menyudahi acara bermainnya sebelum gelap. Lamaaa kami berada di pantai memandang gulungan ombak di depan perahu. Beberapa kali saya menoleh ke Pakde, dan beliau paham saya cemas. "Tenang saja bu,  tidak apa-apa. Percaya saja dengan saya, ombak ini masih aman dilalui, saya hanya mencarikan celah yang nyaman untuk si kecil". Dan benar, kami bisa melalui ombak yang cukup tinggi (bagi saya) tanpa guncangan-cipratan yang berarti. Ketika mendarat di Lenggoksono koordinator perahu menyongsong kami dan berkata (terjemahan bahasa Indonesianya singkatnya begini..) : " Saya kuatir, dari tadi ditunggu-tunggu  kok belum balik. Padahal sore ini ombak membesar. Anak kecil soalnya"..
Pada kunjungan pertama kami, Pakde pernah berkata kepada suami di tengah obrolan mereka bahwa walau mengantar wisatawan adalah mata pencaharian dari nelayan setempat, mereka juga tidak sembarangan. Jika kondisi laut memang berbahaya untuk dilalui, mereka tidak akan nekat demi menjaga keselamatan semuanya.

Berperahu : cuaca cerah, ombak tenang--bisa sambil minum kelapa muda

Berperahu : hujan

Sambil menyantap makan malam di rumah bapak perahu, ada banyak cerita tentang kehidupan nelayan yang kami dapat mulai sebelum Banyu anjlok diketahui umum sampai populer seperti sekarang. Bagaimana para nelayan lokal babat alas, merintis dengan  mengantarkan orang berperahu berkeliling melihat-lihat, mengambil gambar pantai Banyu Anjlok tanpa dibayar. Setelah keindahan Banyu Anjlok tersebar melalui media sosial dan banyak wisatawan berdatangan, mulailah timbul masalah...dari sampah yang mulai bertebaran sampai pembagian penumpang di antara nelayan.
Beliau juga bercerita mengenai suka duka sebagai nelayan disela mengantar wisatawan, memancing ikan dan  cumi-cumi. Mengarungi samudra sampai ke Jember, Trenggalek... duduk bengong di tengah kegelapan malam menunggu ikan melahap umpan. Kadang hasil tangkapan melimpah, kadang mereka pulang dengan tangan hampa.
Hmmm... jadi ingat... di sela-sela mengantar kami Pakde pernah sambil memancing (mencarikan ikan untuk Pio katanya). Seru juga berhenti di tengah laut, naik turun mengikuti gerakan ombak, menyaksikan pemandangan ikan -ikan kecil yang berkecipak di permukaan air laut atau disambar burung, dan pernah juga menjumpai ikan tengiri (katanya) dengan ukuran yang cukup besar bersalto di permukaan air laut.

Serunya kompleks pantai ini benar-benar komplit mulai berperahu menerjang ombak,  berenang di air laut pantai Bolu-Bolu, merasakan guyuran dan pijatan air terjun...dan  yang paling disukai anak-anak adalah berenang di kolam air tawar di atas air terjun. Hal yang paling akhir ini  agak sulit. Membawa anak-anak untuk naik ke atas batu melalui tangga tali bukanlah hal yang mudah, apalagi jika hujan. 
Setelah hujan deras, akses jalan yang biasa dilalui orang untuk mencapai kolam atas air terjun menjadi sangat licin karena lumpur. Pio menangis karena kami tidak mengijinkan dia naik ke atas sedangkan adiknya merengek terus minta berenang di kolam ( fiiuhh..memantapkan hati menolak permintaan mereka demi keselamatan). Di tengah rengekan dua jagoan kecil kami, tanpa diduga bapak juga mas-mas perahu datang menghampiri kami untuk kemudian mengajak anak-anak naik bersama mereka. Demikian pula saya dijaga dan dituntun untuk naik ke kolam atas air terjun melalui jalan lain yang tidak licin. Ditemani berenang sampai puas kedinginan, serta diturunkan kembali ke pantai dengan selamat.

Satu lagi spot wisata yang belum sepenuhnya kami nikmati, yaitu teluk kletekan. Di teluk ini biasanya para wisatawan berenang dan bersnorkeling ria menikmati pemandangan terumbu karang dan bermain dengan ikan. Sebenarnya saya juga ingin melihat-lihat terumbu karang dan gerombolan ikan warna-warni, tetapi masih takut karena belum punya pengalaman snorkeling. Jadi kami hanya melihat dari atas perahu, memancing ikan mendekat dengan remah roti. 
Setelah beberapa kali Pakde  mengajak kami untuk snorkeling .. mumpung arus dan pencahayaan matahari lagi bagus, bahkan menawarkan untuk ikut nyemplung juga mengawal kami...akhirnya saya, Pio, dan driver kami turun dari perahu. Benar...arus saat itu cukup tenang, tidak sampai menyeret kami ke mana-mana, pemandangan bawah airnya bagus, hanyaaa...dasar saya masih takut, jadinya tidak berani berenang terlalu jauh.

Entah karena lengkapnya keasyikan yang anak-anak alami, hangatnya persaudaraan yang kami terima dari kakek koordinator, bapak perahu dan asistennya, atau mungkin karena lezatnya makanan - minuman yang disajikan di rumah Pakde sepulang dari laut, pantai ini telah mendapat tempat khusus di hati Pio dan Deo.

Bagaimana? Berminat untuk mengalami keseruan berperahu? Berenang di Bolu-Bolu atau bermain bersama ikan di Teluk Kletekan


Mengagumi keindahan air terjun yang langsung berhadapan dengan laut?

Debit air kecil
 
Debit air sedang (paling enak buat main)

Debit air besar - setelah hujan deras


Berenang di kolam air tawarnya  sambil menikmati indahnya pemandangan?


Menurut saya pemandangan paling bagus adalah view dari atas air terjun.


Apapun yang menjadi pilihan, pesan saya tetaplah menjalin relasi yang baik dengan nelayan setempat dan mereka akan menjadi saudara yang akan membuat liburan kita semakin berkesan.....
Juga tolong jaga kebersihan, buanglah sampah pada tempatnya agar alam yang indah akan tetap indah di masa mendatang.



Jumat, 08 Januari 2016

Pantai Watu Leter

Pantai Watu Leter terletak persis di sebelah pantai Gua Cina. Sebenarnya ada jalan masuk sendiri, tetapi karena penampakannya masih berupa jalan setapak, saya tidak yakin mobil kami dapat selamat sampai tepi pantai sehingga akhirnya kita memutuskan untuk masuk melalui pantai Gua Cina. Dari pintu masuk Gua Cina, jika ingin tidak berjalan kaki terlalu jauh, ambilah area parkir sebelah kanan teruss saja sampai mentok habis. Dari area parkir ini hanya tinggal berjalan kaki sedikit ke pantai Watu Leter, namun jika berani mobilpun bisa dibawa sampai Watu Leter. Hanya saja area parkir di dekat Watu Leter masih panas sekali karena belum ada pepohonan besar yang menaungi, sehingga kami memilih tetap parkir di sayap kiri Gua Cina.

Dua kali kunjungan kami ke kompleks pantai Gua Cina dan Watu Leter ombak sedang dalam kondisi tidak bersahabat. Gelombang berdatangan susul menyusul dan cukup besar walau di area teluk pantai watu leter. Di pantai watu leter area yang masih bisa dipilih sebagai tempat bermain anak-anak adalah di area teluknya karena ombak yang sampai di tepian pantai tidak terlalu besar (tapi tetap saja dalam kondisi laut pasang saya tidak mengijinkan Pio untuk masuk ke air... kondisi jika surut saya belum pernah mengalami).

Ini dia bagian teluk pantai Watu Leter



Air tampaknya tenang bukan? Pio sudah ribut saja minta nyemplung .... apalagi ada beberapa orang yang berenang di situ. Tetapi gelombang laut dalam kondisi air pasang tidak stabil, tiba-tiba bisa datang ombak seperti ini


 Walau tidak seganas bagian pantai lepasnya, tetap saja saya tidak berani mengijinkan Pio masuk air. Jadinya cukup bermain pasir saja sambil ciprat-ciprat dikit di tepian....

 

 

Kalau yang ini adalah pantai Watu Leter yang langsung laut lepas, gelombang yang sampai ke tepian pantai jauh lebih besar


Ombak besar di pantai
 

Rumput laut mati yang terdampar di pantai
 

Deo? Berhubung ombak besar sehingga otomatis suara yang dihasilkan saat memukul pantai juga cukup keras, Deo hanya mau bermain pasir cukup jauh dari bibir air.



Kondisi yang sama juga ditemui di pantai tetangga : Gua Cina

Gua Cina dalam kondisi pasang
Ceritanya sama : hanya main-main di tepian