Minggu, 26 Februari 2017

Imlek 2017

Perayaan Imlek yang jatuh pada tanggal 28 Januari membuat saya mendapatkan libur dobel Sabtu Minggu, dan  kami sepakat untuk membawa anak-anak pergi berlibur. Memenuhi permintaan Pio untuk main ke Trans Studio, pilihan destinasi wisata akhirnya jatuh ke Makassar (lagi).
Tiket pulang (Makassar-Surabaya) saya beli 1,5 bulan sebelum hari keberangkatan...dan saya pun diketawain beberapa teman karena tiket pergi belum beli malah tiket pulang sudah di tangan. Tiket pergi saya beli sekitar 1 minggu sebelum jadwal keberangkatan, dan seperti cerita perjalanan pertama pilihan jatuh pada maskapai Citilink dengan alasan pilihan jam yang pas dengan jadwal sekolah anak-anak.
Karena liburan kali ini saya tidak bertualang lagi dengan 2 krucil (baca : ada papa), maka pilihan hotel jauh lebih flexibel dan target wisata kuliner jadi berlipat (gimana nggak gendut coba??). Hotel akhirnya saya memutuskan untuk menginap di Best Western sekalian dengan fasilitas antar jemput bandara, dan saya telah memasukkan ikan kudu-kudu, coto Makassar, es pisang hijau, dan pangsit mie jalan Sangir sebagai target wisata kuliner kali ini.

Entah apes, entah kebetulan, entah apalah, kok kehebohan akibat Citilink kembali terulang walau kali ini jauh lebih tertoleransi. Sore sebelum hari keberangkatan saya mendapat sms dari Citilink yang mengabarkan bahwa penerbangan saya yang seharusnya pk. 17.00 diajukan menjadi 13.20.
Keberuntungan kami adalah Pio ternyata libur sejak dua hari sebelum keberangkatan karena guru-guru sekolahnya mengikuti pelatihan, hanya Deo terpaksa bolos sekolah. Coba kalau Pio nggak libur, mungkin saya sudah ribut lagi dengan Citilink.....Hectic-nya lagi, sehari sebelum keberangkatan, saya masih UAS... bisa dibayangkan betapa kedandapan urusan packing dan persiapan krucil. Belum juga jadwal kerjaan papa juga ikut berantakan, sehingga tanggal 27 Januari pagi papa sudah berangkat untuk koordinasi dengan penanggung jawab lapangan untuk memastikan jadwal kerja dan pembiayaan aman selama kami tinggal ke Makassar. Pukul delapan pagi  saya sudah keluar rumah untuk menjemput papa dan langsung berangkat ke bandara Juanda.

Penerbangan kali ini dengan Citilink cukup nyaman hingga kami landing di bandara Hasanuddin pukul 15.50 WITA, di mana Pak Wisnu dari Best  Western sudah menunggu kami di pintu kedatangan.

 

Sisi positif perubahan jadwal penerbangan adalah kami tiba di hotel ketika matahari masih bersinar, dan itu artinya "swimming time" bagi anak-anak. Belum lima menit masuk kamar, Pio danDeo sudah kompak merengek minta berenang.
Kolam renang hotel Best Western kecil mungil, namun karena sore itu hanya kami yang berenang...ya ga masalah. Sementara kami bertiga asyik main air, papa pergi ke seberang hotel untuk membeli ikan kudu-kudu di RM. Makassar seafood. Hasilnya? Pio dan Deo lahap menghabiskan 1 ekor ikan kudu-kudu goreng crispy.




Panah : Makassar Seafood silihat dari kolam renang hotel

28 Januari 2017, kami terbangun di tengah guyuran hujan pagi hari....Rada malas juga turun dari tempat tidur, tapi karena hari ini sudah terjadwal untuk menemani anak-anak main di Trans Studio akhirnya memaksa diri mematuhi seretan Pio untuk mandi dan sarapan.
Sarapan dulu....
Selesai sarapan, istirahat perut sebentar lanjut pesan taxi untuk mengantar kami ke Trans Studio. Bapak taxi kami kali ini ramah sekali...namanya pak Jumahir.... sepanjang perjalanan tidak putus obrolan mengenai seluk beluk kota Makassar. Papa bahkan sempat tercetus ingin mencarter taxi setelah selesai dari trans Studio untuk pergi Bantimurung, namun tidak jadi karena Pio pasti betah berlama-lama di arena permainan.

Singkat cerita kali ini menjadi episode 'me-time' bagi Pio dan Papa. Mereka berdua asyik sekali mencoba satu demi satu wahana yang rada-rada ekstrim yang belum sempat dicoba Pio pada kesempatan pertama ke Trans Studio.
Sedangkan saya menemani Deo yang kali ini lebih suka untuk berlarian di sepanjang jalan Trans Studio dan berlama-lama di Lab Science.

Memasuki Trans Studio


 





Belajar mekanisme terjadinya tsunami

Terjadinya tornado
Cermin dan kaca

Akhir petualangan 
 Puas bermain, kami makan siang di Ta-Wan resto (padahal di Malang juga ada) kemudian menunggu pak Jumahir menjemput. Sempat putar-putar menunjukkan pantai Losari ke Papa, melihat benteng Rotterdam, dan beli es pisang hijau.  Saya ternyata tidak terlalu suka es pisang hijau...terlalu manis..untung hanya beli satu porsi karena ternyata papa-Pio-Deo juga ga ada yang suka.



Jam enam sore kami kembali dijemput oleh pak Jumahir untuk diantar berburu pangsit mie di jalan Sangir. Rupanya kami tidak beruntung karena sore itu hampir semua depot dan toko di jalan Sangir tutup karena perayaan Imlek. Hanya ada satu depot yang buka, itupun tidak melayani menu yang kami cari. Hehehe akhirnya menu makan malam hari itu adalah nasi goreng dan bakmi kuah..untung rasanya enak




Hari terakhir di Makassar kami kembali disuguhi hujan deras yang mengguyur kota dari pagi. Jam sepuluh pagi kami sudah berangkat ke bandara untuk kembali ke Surabaya menggunakan pesawat Garuda Indonesia yang dijadwalkan terbang pk. 12.55 waktu setempat. Saya baru tahu kalau pesawat Garuda Indonesia yang melayani rute Makassar-Surabaya adalah pesawat bombardir, yang artinya susunan seat adalah 2-2...yang lebih jauh lagi dapat diterjemahkan : lain kali kalau saya ke Makassar lagi tanpa ditemani Papa, tidak mungkin saya menggunakan Garuda Indonesia. Berabe jika salah satu krucil harus duduk sendiri.....


 





Deo sudah mulai memejamkan mata ketika pesawat mulai bergerak, tertidur ketika pesawat lepas landas, tetap nyenyak ketika pesawat menembus awan, dan baru terbangun ketika pesawat telah landing di Juanda.






















Pio juga sempat tertidur ketika pesawat mengudara, tetapi terbangun ketika pramugari membagikan snack dan minuman. Di akhir perjalanan,  Pio dan Deo menuruni tangga pesawat dengan membawa boneka gajah mini, cindera mata dari Garuda Indonesia.


Kampung Coklat-Blitar



Mmmmm mumpung liburan kuliah, ngebut menyelesaikan draft tulisan yang menumpuk karena tidak sempat buka blog...

Hari Minggu tanggal 5 Februari 2017 saya kembali bepergian  bersama Pio dan Deo minus papa. Tempat yang dituju nggak jauh, hanya ke Blitar tapi tantangan kali ini adalah saya mengajak dua jagoan kecil  untuk bepergian bersama rombongan. Kami melancong ke Blitar bersama dr Lilik dan beberapa teman rumah sakit, dengan total anggota rombongan 40 orang (termasuk driver mobil).
Enaknya bepergian kali ini saya tinggal datang, duduk manis, dan mengikuti alur jalan-jalan yang telah dipersiapkan oleh panitia kecil tour.

Malam sebelum keberangkatan seperti biasa saya harus packing. Sesantai-santainya pergi membawa anak kecil tetap saja memerlukan perlengkapan perang yang musti disiapkan. Pakaian ganti, handuk kecil, topi, payung, jas hujan masuk semua ke tas ransel. Malam itu saya menyiapkan teh manis untuk bekal perjalanan, saya masukkan botol ukuran 1,2 liter dan saya bekukan di freezer. Besok pagi tinggal  menyiapkan mie goreng sebagai bekal makan untuk Pio dan Deo. Sebenarnya panitia sudah menyiapkan sarapan tapi saya kuatir Pio dan Deo ga cocok dan ujung-unjungnya ga mau makan.

Sesuai perjanjian, pukul 6.30 pagi saya bersama Pio Deo telah berkumpul di rumah sakit. Kami akan  berangkat ke Blitar dengan menumpang kereta api pukul 7.15 dari stasiun kota lama (tepat di depan rumah sakit, tinggal nyeberang saja).





Perjalanan dengan kereta api berjalan lancar, nyaman, dan ramai banget. Bagaimana tidak meriah, satu gerbong hampir penuh diisi rombongan kami...hanya agak silent saat makan pagi dibagikan. Menu pagi itu adalah nasi kuning dan ayam tepung. Sesuai dugaan saya, Pio dan Deo lebih memiih sarapan dengan mie goreng yang saya bawakan dari rumah...sesekali menyeruput es teh yang sedikit-sedikit mulai mencair.
Tiba di Blitar pukul setengah 10 pagi, kami disambut dengan 7 armada mobil (5 mobil berangkat dari Malang). Tujuan pertama kami adalah Kampung Coklat.
Suasana Kampung Coklat lumayan ramai karena hari Minggu. Tiket sudah dipesan sebelumnya, sehingga tanpa perlu antri lama-lama rombongan dapat langsung masuk area wisata.

















Begitu memasuki gerbang Kampung Coklat, kami langsung disambut  oleh rimbunnya pohon coklat, lengkap dengan buah coklat gendut-gendut yang bergelantungan di ranting pohon. Pio dan Deo cukup excited juga memegang buah coklat.



 





 Mmmm .... sepertinya yang banyak menikmati permainan di kampung coklat adalah Pio...mulai bermain  perahu putar kecil, sampai mencoba terapi ikan. Deo sebenarnya juga ingin naik perahu putar, namun serba salah. Naik perahu sendiri pastinya belum bisa mengarahkan dan memutar perahu...naik berdua dengan Pio kok ya saya takut perahunya  ga muat karena ukurannya yang mungil. Saya tawarin untuk mencoba kolam          terapi ikan bersama Pio, Deo nggak mau. Takut...








Mereka berdua sempat merengek untuk masuk ke kolam renang, tapi berhubung  saya tidak membawa sabun untuk mandi setelah berenang..ya tidak saya ijinkan. Pio bukan anak penggemar coklat, bahkan bisa dibilang dia benci dengan coklat dan adiknya (Deo) sepertinya kok menunjukkan tanda-tanda mengikuti kakaknya yaaa...Deo sekarang lebih memilih selai strawberry daripada coklat. Mungkin karena hal itulah dompet saya relatif aman selama di Kampung Coklat...Saya tawarin segala macam makanan / minuman (99% pastinya berbau dan berasa coklat) enggak ada yang mau hihihihi.. Lebih memilih es teh yang dibawa dari rumah.

Deo sangat suka melihat musik dan tari-tarian, dan kebetulan di Kampung Coklat ada pertunjukkan live music...dan ke sana lah Deo merengek minta nonton. Hanya bisa nonton dua lagu karena ketika lagu ke dua mau habis, datang gerombolan om-om duduk dekat kami dan dengan enaknya menyalakan rokok terus ngebul-ngebul ga karuan. Segera ambil langkah seribu, Pio dan Deo setengah saya seret pergi walau mereka belum puas nonton. Duuuhhh kapan ya area publik bisa aman dari asap rokok?
Masih sempat membeli kaos Kampung Coklat untuk Pio dan Deo, namun tidak berani beli kaos untuk papa karena takut kekecilan.

Keluar Kampung Coklat kami melanjutkan perjalanan ke Warung Mak Ti untuk makan siang. Mungkin karena lapar dan mengantuk, begitu masuk mobil Deo langsung duduk di bangku belakang, buka kotak bekal, dan makan dengan lahap. Pio? Si kakak sibuk bercerita tentang segala hal mulai mobil berangkat dari Kampung Coklat sampai tiba di warung Mak Ti.
Saya tidak bisa menceritakan di mana letak warung Mak Ti ini, yang jelas benar-benar menyingkir dari hiruk pikuk keramaian kota. Makanan disajikan secara prasmanan, self service, terserah mau ambil apa saja mau nambah, satu orang dikenai biaya makan sepuluh ribu rupiah.
Setelah urusan perut selesai,  acara selanjutnya adalah berburu oleh-oleh. Apalagi kalau bukan bumbu pecel dan Ice  Drop Blitar?
Saya tidak ikut hiruk pikuk penyerbuan Bumbu Pecel Karang Sari dan Ice Drop, bukan karena saya tidak suka, tetapi karena si Deo sudah tumbang begitu mobil meninggalkan warung Mak Ti. Akhirnya saya hanya duduk manis menemani Deo di mobil, sementara Pio tetap tidak mau melepaskan kesempatan menjelajah.
Begitulah.....walupun saya seorang diri membawa dua anak kecil, tapiiii.....benar-benar jauh lebih enak daripada saat di Makassar. Kali ini Pio lebih banyak “berpisah” dengan saya dan memilih lengket dengan dr Lilik. Entah apa yang mereka perbincangkan, kayaknya seru sekali...sampai-sampai saat makanpun Pio lebih memilih duduk di sebelah oma (baca : dr Lilik) dari pada di sebelah saya (pisah meja).
Acara terakhir adalah berkunjung ke rumah salah satu rekan kami di Blitar (ehem..sebenarnya lebih tepat dibilang merampok hasil kebun)


Kisah hari itu ditutup dengan manis ketika kami berpisah mobil untuk kembali ke Malang. Sampai di rumah sekitar pukul setengah enam sore, main sebentar sama papa, dan kedua jagoan kecil saya paksa untuk tidur berhubung besok harus sekolah.
Esok paginya....saya merasa badan remek semua...capeekk...tapi hebatnya anak-anak kelihatan ceria seperti biasa. Ketika saya tanya  apakah badan mereka terasa capek...keduanya kompak menjawab : Nggak tuh.....
     Special thanks to dr. Lilik