Mmmmm mumpung liburan kuliah, ngebut menyelesaikan draft
tulisan yang menumpuk karena tidak sempat buka blog...
Hari Minggu tanggal 5 Februari 2017 saya
kembali bepergian bersama Pio dan Deo
minus papa. Tempat yang dituju nggak jauh, hanya ke Blitar tapi tantangan kali
ini adalah saya mengajak dua jagoan kecil
untuk bepergian bersama rombongan. Kami melancong ke Blitar bersama dr
Lilik dan beberapa teman rumah sakit, dengan total anggota rombongan 40 orang
(termasuk driver mobil).
Enaknya bepergian kali ini saya tinggal
datang, duduk manis, dan mengikuti alur jalan-jalan yang telah dipersiapkan
oleh panitia kecil tour.
Malam sebelum keberangkatan seperti
biasa saya harus packing. Sesantai-santainya pergi membawa anak kecil tetap
saja memerlukan perlengkapan perang yang musti disiapkan. Pakaian ganti, handuk
kecil, topi, payung, jas hujan masuk semua ke tas ransel. Malam itu saya
menyiapkan teh manis untuk bekal perjalanan, saya masukkan botol ukuran 1,2
liter dan saya bekukan di freezer. Besok pagi tinggal menyiapkan mie goreng sebagai bekal makan
untuk Pio dan Deo. Sebenarnya panitia sudah menyiapkan sarapan tapi saya kuatir
Pio dan Deo ga cocok dan ujung-unjungnya ga mau makan.
Sesuai perjanjian, pukul 6.30 pagi saya
bersama Pio Deo telah berkumpul di rumah sakit. Kami akan berangkat ke Blitar dengan menumpang kereta
api pukul 7.15 dari stasiun kota lama (tepat di depan rumah sakit, tinggal
nyeberang saja).
Perjalanan dengan kereta api berjalan
lancar, nyaman, dan ramai banget. Bagaimana tidak meriah, satu gerbong hampir
penuh diisi rombongan kami...hanya agak silent saat makan pagi dibagikan. Menu
pagi itu adalah nasi kuning dan ayam tepung. Sesuai dugaan saya, Pio dan Deo
lebih memiih sarapan dengan mie goreng yang saya bawakan dari rumah...sesekali
menyeruput es teh yang sedikit-sedikit mulai mencair.
Tiba di Blitar pukul setengah 10 pagi,
kami disambut dengan 7 armada mobil (5 mobil berangkat dari Malang). Tujuan
pertama kami adalah Kampung Coklat.
Suasana Kampung Coklat lumayan ramai
karena hari Minggu. Tiket sudah dipesan sebelumnya, sehingga tanpa perlu antri
lama-lama rombongan dapat langsung masuk area wisata.
Begitu memasuki gerbang Kampung Coklat, kami langsung disambut oleh rimbunnya pohon coklat, lengkap dengan buah coklat gendut-gendut yang bergelantungan di ranting pohon. Pio dan Deo cukup excited juga memegang buah coklat.
Mmmm .... sepertinya yang banyak menikmati permainan di kampung coklat adalah Pio...mulai bermain perahu putar kecil, sampai mencoba terapi ikan. Deo sebenarnya juga ingin naik perahu putar, namun serba salah. Naik perahu sendiri pastinya belum bisa mengarahkan dan memutar perahu...naik berdua dengan Pio kok ya saya takut perahunya ga muat karena ukurannya yang mungil. Saya tawarin untuk mencoba kolam terapi ikan bersama Pio, Deo nggak mau. Takut...
Mereka berdua sempat merengek untuk masuk ke kolam renang, tapi berhubung saya tidak membawa sabun untuk mandi setelah berenang..ya tidak saya ijinkan. Pio bukan anak penggemar coklat, bahkan bisa dibilang dia benci dengan coklat dan adiknya (Deo) sepertinya kok menunjukkan tanda-tanda mengikuti kakaknya yaaa...Deo sekarang lebih memilih selai strawberry daripada coklat. Mungkin karena hal itulah dompet saya relatif aman selama di Kampung Coklat...Saya tawarin segala macam makanan / minuman (99% pastinya berbau dan berasa coklat) enggak ada yang mau hihihihi.. Lebih memilih es teh yang dibawa dari rumah.
Deo sangat suka melihat musik dan
tari-tarian, dan kebetulan di Kampung Coklat ada pertunjukkan live music...dan
ke sana lah Deo merengek minta nonton. Hanya bisa nonton dua lagu karena ketika
lagu ke dua mau habis, datang gerombolan om-om duduk dekat kami dan dengan
enaknya menyalakan rokok terus ngebul-ngebul ga karuan. Segera ambil langkah
seribu, Pio dan Deo setengah saya seret pergi walau mereka belum puas nonton.
Duuuhhh kapan ya area publik bisa aman dari asap rokok?
Masih sempat membeli kaos Kampung Coklat
untuk Pio dan Deo, namun tidak berani beli kaos untuk papa karena takut
kekecilan.
Keluar Kampung Coklat kami melanjutkan
perjalanan ke Warung Mak Ti untuk makan siang. Mungkin karena lapar dan
mengantuk, begitu masuk mobil Deo langsung duduk di bangku belakang, buka kotak
bekal, dan makan dengan lahap. Pio? Si kakak sibuk bercerita tentang segala hal
mulai mobil berangkat dari Kampung Coklat sampai tiba di warung Mak Ti.
Saya tidak bisa menceritakan di mana
letak warung Mak Ti ini, yang jelas benar-benar menyingkir dari hiruk pikuk
keramaian kota. Makanan disajikan secara prasmanan, self service, terserah mau
ambil apa saja mau nambah, satu orang dikenai biaya makan sepuluh ribu rupiah.
Setelah urusan perut selesai, acara selanjutnya adalah berburu oleh-oleh.
Apalagi kalau bukan bumbu pecel dan Ice
Drop Blitar?
Saya tidak ikut hiruk pikuk penyerbuan
Bumbu Pecel Karang Sari dan Ice Drop, bukan karena saya tidak suka, tetapi
karena si Deo sudah tumbang begitu mobil meninggalkan warung Mak Ti. Akhirnya
saya hanya duduk manis menemani Deo di mobil, sementara Pio tetap tidak mau
melepaskan kesempatan menjelajah.
Begitulah.....walupun saya seorang diri
membawa dua anak kecil, tapiiii.....benar-benar jauh lebih enak daripada saat
di Makassar. Kali ini Pio lebih banyak “berpisah” dengan saya dan memilih
lengket dengan dr Lilik. Entah apa yang mereka perbincangkan, kayaknya seru
sekali...sampai-sampai saat makanpun Pio lebih memilih duduk di sebelah oma
(baca : dr Lilik) dari pada di sebelah saya (pisah meja).
Acara terakhir adalah berkunjung ke
rumah salah satu rekan kami di Blitar (ehem..sebenarnya lebih tepat dibilang
merampok hasil kebun)
Kisah hari itu ditutup dengan manis ketika kami berpisah mobil untuk kembali ke Malang. Sampai di rumah sekitar pukul setengah enam sore, main sebentar sama papa, dan kedua jagoan kecil saya paksa untuk tidur berhubung besok harus sekolah.
Esok paginya....saya merasa badan remek
semua...capeekk...tapi hebatnya anak-anak kelihatan ceria seperti biasa. Ketika
saya tanya apakah badan mereka terasa
capek...keduanya kompak menjawab : Nggak tuh.....
Special thanks to dr. Lilik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar