Jumat, 30 Oktober 2015

Mau sekolah lagi?

Sebagai seorang GP (Indonesianya = dokter umum), pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya adalah : Tidak sekolah lagi ambil spesialis kah? dalam berbagai macam versi dan variasi susunan kata.

Duluuuu sekali ketika saya masih kuliah, saya dan beberapa teman kelompok belajar saya pernah bicara-bicara menghayal jika sudah lulus GP kami bakal meneruskan sekolah spesialis apa ya? Dan saya juga masih ingat kala itu saya selalu menjawab bahwa saya akan melanjutkan ke PK. Alasannya simpel : biaya sekolah PK masih termasuk yang paling murah saat itu (entah kondisi sekarang saya tidak tahu).
Pun ketika saya wawancara sebagai bagian dari proses rekrutmen karyawan tempat saya bekerja sampai sekarang,... pertanyaan yang sama juga terlontar. Jawaban saya masih tetap sama : PK ...

Tahun demi tahun berlalu, saya menikah kemudian mempunyai 2 orang anak. Pertanyaan " Tidak ambil spesialis?" masih tetap sering terlontar kepada saya. Hanya, jawaban saya sudah berubah (entah sampai kapan) : Nggak (dan biasanya sambil senyum simpul) hehehehe

Entah apa, bagaimana, dan kapan "sesuatu" telah mengubah cara pandang saya tentang persoalan sekolah lagi ini. Hal yang dulu merupakan persoalan penting bagi saya, kali ini telah kehilangan daya tariknya. Jujur saja ada banyak hal berputar-putar ruwet di dalam kepala, memunculkan berbagai pertimbangan yang akhirnya membuat saya mengambil keputusan "tidak"  lanjut ambil spesialis.
Kelak, jika Pio dan Deo telah dewasa mungkin mereka juga akan mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya. Apalagi di masa itu, teman-teman seangkatan saya tentunya telah banyak yang menjadi dokter spesialis konsultan hebat, guru besar atau profesor....

Dari sudut pandang pribadi,  inilah pertimbangan saya untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis :
Klise pertama : anak.
Apabila saya sekolah spesialis, akan ada banyak waktu bersama kedua jagoan kecil saya yang akan hilang baik siang ataupun malam hari mengingat dalam rangka pendidikan, seorang residen akan mendapatkan jadwal jaga malam hari yang bersambung dengan waktu pendidikan pagi-siang.. Suami sendiri awalnya nggak masalah dan menyediakan diri untuk menjaga anak-anak jika saya memutuskan sekolah lagi.
Entah kenapa saya tidak sanggup. Bukan berarti tidak mampu "sengsara" karena harus double job antara mengurus rumah tangga dan menyelesaikan bejibun tanggung jawab sebagai seorang peserta didik dokter spesialis, tetapi lebih kepada saya tidak sampai hati untuk melakukannya. Kalau soal bekerja dan capek, (bukannya sombong)...kondisi telah menempa saya untuk terbiasa dengan kehidupan yang cukup keras. 
Saya tidak sampai hati meninggalkan kedua anak saya, kehilangan lebih banyak waktu lagi bersama mereka. Apalagi hanya ada saya dan suami di rumah, tanpa orang tua ataupun saudara yang dapat membantu mengawasi krucils.
Saya tidak sampai hati untuk meminta pengorbanan lebih banyak lagi dari suami. Demi kedua buah hati kami, suami sudah banyak mengalah kepada saya. Untuk memastikan Pio dan Deo tetap terawasi minimal oleh salah seorang orang tuanya dan tidak full lepas ke tangan orang yang tidak benar-benar kami kenal, suami telah banyak mengubah jadwal kerjanya, bernegosiasi dengan pelanggannya untuk dapat menemui mereka sambil membawa anak (walau ada ART yang mengikuti), survey lokasi dan hunting barang sambil menggendong Deo, juga berkali-kali harus menyusun ulang jadwal sambil meminta maaf karena harus membatalkan janji ketemu oleh karena saya musti lembur atau dapat tugas ke luar kota.

Klise kedua : biaya
Sudah bukan rahasia lagi bahwa biaya pendidikan dokter spesialis pasti cukup besar, dengan lama pendidikan paling cepat 3-3,5 tahun..ditambah lagi selama masa pendidikan saya tidak dapat bekerja. Terjemahan kasar dan sempit  dari sisi saya adalah : pengeluaran besar tanpa ada sumbangan penghasilan sama sekali (hufffgh--murni nodong suami)
Pikir-pikir kok berat ya,...uang sebesar itu jika diinvestasikan dan dipakai sebagai tambahan modal kerja 3 tahun ke depan pasti hasilnya sudah dapat dipetik, diputar lagi ..berkembang, putar lagi de es te...
Saya memikirkan kebutuhan biaya pendidikan Pio dan Deo di masa yang akan datang pasti akan besar, apalagi kalau si kakak tetap dengan cita-citanya sekarang : Paris..
Tidakkah akan lebih baik jika kami memiliki dana yang cukup, dana tersebut kami gunakan untuk persiapan pendidikan anak-anak? Siapa yang dapat menerka masa depan akan bagaimana?

Alasan ketiga : ??
Yang ini benar-benar kusut masai, sehingga saya juga tidak mampu memberi kepala judul :(
Apa sih sebenarnya yang saya kejar, yang menyebabkan saya mau tidak mau harus menjadi dokter spesialis?
Pertanyaan sebaliknya jika saya tetap sebagai GP,  memangnya apa yang akan saya alami di  masa mendatang? Apakah dampak negatifnya akan sedemikian besar mempengaruhi masa depan saya?
Kaaaaannn? Bingung deh.....

Yang saya ketahui, keinginan terbesar saya saat ini adalah melihat Pio dan Deo dapat mencapai cita-citanya, mampu hidup bahagia lahir dan batin. Lalu, apakah harus dengan menjadi dokter spesialis? Mungkin iya mungkin juga tidak.

Apakah soal pengembangan ilmu? Sepertinya tidak, karena sebagai GP ada jalur pengembangan ilmunya.

Apakah soal aktualisasi diri dan pengembangan karir? Heeh... apakah masih kurang semua yang telah saya capai selama ini?  Saya merasa tidak mempunyai target yang terlalu muluk lagi, dan dari jaman dahulu kala memang tidak pernah bernafsu mengejar jabatan , pangkat , kedudukan , atau apalah istilahnya. Tetaplah target kerja ada, tetapi hanya sebatas saya ingin mempunyai hasil kerja yang baik, apa yang saya lakukan dan saya hasilkan tidak mengecewakan banyak orang...intinya adalah menyelesaikan apa yang menjadi tugas saya sebaik mungkin.

Apakah soal uang? Meningkatkan penghasilan?
Sejak saya lulus sampai detik ini saya belum pernah membuka praktek dokter mandiri, lalu setelah saya menyandang gelar spesialis apakah saya akan tetap begini atau buka praktek?
Bukannya sok tidak butuh uang, tapi saya juga tidak ingin dipanggil "tante" oleh anak saya (lebay) karena saya pulang dari rumah sakit sampai rumah rata-rata jam 4-5 sore, kalau masih buka praktek pastinya datang, mandi, berangkat lagi, pulang malam pas mereka sudah lelap. Belum faktor suami, kapan dia punya waktu free ngurus kerjaannya?
Praktek di rumah donk jadi nggak perlu meninggalkan anak, disambi. Untuk hal ini saya tidak mau, prinsip saya adalah saya tidak ingin mendatangkan berbagai macam kuman dan penyakit ke rumah tempat di mana anak dan keluarga saya tinggal. No way!!

Soal penghasilan tambahan, saya berpikir bisa memperolehnya dari usaha lain yang bisa dikembangkan dan dilakukan tanpa menyita terlalu banyak tenaga dan waktu. Mungkin untuk awal merintis pengorbanan waktu, tenaga, biaya pastinya ada. Tetapi jika sudah berjalan, usaha dikerjakan oleh karyawan, kami tinggal mengkonsep, melakukan nego, dan kontrol ( contohnya : join urun pendapat dan mikir pengembangan usaha suami saja .. hehehehe )
Kalau praktek dokter, semakin ramai penghasilan akan semakin besar, tetapi pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran akan berjalan sebanding. Praktek dokter mandiri bukan pekerjaan yang bisa didelegasikan kepada orang lain.

Dengan segala keruwetan pemikiran di atas (atau jangan-jangan saya saja yang terlalu mbulet mikirnya?#!), saya benar-benar salut  dengan teman-teman yang telah menyelesaikan perjuangan dan sekarang sudah menyandang gelar Sp. Sukses untuk kalian semua ya...

Oke lah sudah, saya mantap untuk tidak lanjut spesialis.

Selesai masalah? Oh, no... dalam dua tahun terakhir ini, direktur tempat saya bekerja sering meminta saya untuk melanjutkan pendidikan (OMG). Saya diminta memikirkan apakah saya akan ambil spesialis PK atau S2 manajemen rumah sakit....

Dan inilah jawaban saya kala itu :
Seandainya boleh tidak sekolah, saya memilih untuk  tidak sekolah.
Tetapi jika memang diharuskan, saya lebih memilih untuk mengambil S2.

Saat ini saya sudah dicemplungkan di dunia manajemen, jadi kalau mau serius ya ayo sekalian basah. Bagi saya tidak masalah ditempatkan di bidang apa saja, toh masing-masing akan mempunyai masalah sendiri.
Masa pendidikan S2 lebih singkat daripada spesialis yaitu hanya 2 tahun sehingga beban biaya yang harus saya dan suami tanggung pasti akan lebih kecil. Saya memang belum tahu persis berapa sih kebutuhan financial yang riil, tetapi andaikata sama pun dengan besaran SPP spesialis, paling tidak fator pengalinya akan lebih kecil (masa studi lebih singkat).
Rumah sakit tidak mungkin membiayai full pendidikan lanjutan ini, yang bisa diberikan adalah bantuan pendidikan yang nominalnya mungkin hampir tidak berarti untuk jenjang S2 dan spesialis.
S2  waktu kuliahnya lebih flexibel, yaitu Jumat dan Sabtu, sehingga saya masih tetap bisa berkerja walau harus mengganti jam yang saya pakai untuk menghilang dari rumah sakit.
S2 tidak ada jaga malamnya, sehingga tidak nemen-nemen lah meninggalkan anak.

So? Kita lihat saja.................................

**Hidup adalah sebuah pilihan, dan setiap pilihan mempunyai konsekuensinya sendiri-sendiri**



Jumat, 16 Oktober 2015

Lenggoksono-Banyu Anjlok- Bolu-Bolu (part 2)

Ini adalah kunjungan kedua kami ke Bowele, tidak berselang lama dari kunjungan pertama. Pio rupanya benar-benar jatuh hati dengan pantai  satu ini.
Saya pun juga senang berkunjung kemari karena dengan  berwisata di Bowele bisa mendapat 1 paket komplit kesenangan yang berbeda : mengalami keseruan naik perahu, menikmati pijatan guyuran menyegarkan air terjun, berenang  di kolam air tawar, bermain pasir , berenang menikmati ombak tenang di teluk Bolu-Bolu, bahkan jika mau bisa snorkeling juga di teluk Kletekan atau di  teluk Bolu-Bolu.

Berkat keluwesan Papa berelasi dengan koordinator perahu, bapak pemilik perahu maupun ibu pemilik warung ikan bakar di sana, pada kunjungan kedua  ini kami banyak mendapatkan bonus manis dari mereka.
Malam sebelum hari keberangkatan papa menelpon bapak pemilik perahu, dan dari beliau kami mendapatkan kepastian bahwa ombak pantai Lenggoksono dalam kondisi bagus. Dua minggu sebelumnya kami batal berangkat karena si bapak mengabari kami bahwa ombak sedang besar, tidak bersahabat untuk dilalui dengan perahu (bawa anak kecil pula).

Tanggal merah tahun baru Islam, kami berangkat beramai-ramai menggunakan dua mobil  karena Papa mengajak beberapa orang  pegawai kami. Start dari rumah pukul setengah tujuh, jam sembilan pagi kami sudah duduk-duduk di pantai Lenggoksono menikmati pantai sambil bersiap-siap naik perahu (syukurlah pagi itu pantai belum terlalu crowded).
Bapak perahu datang, kami tidak segera diajak naik perahu, melainkan dijamu kelapa muda ukuran jumbo sebanyak 3 buah (terima kasih banyak ya pak). Tidak sanggup menghabiskan karena barusan makan pagi sebelum berangkat, 1 kelapa muda sisa yang sudah terlanjur dibuka disuruh bawa naik perahu untuk diminum di Banyu Anjlok lengkap dengan sendoknya. Batin saya : hah?? apa tidak tumpah semua nanti ya saat melewati ombak (ternyata nggak lho..)

Singkat cerita, akhirnya rombongan kami berangkat menuju banyu anjlok menggunakan 2 perahu termasuk pegawai kami yang awalnya emoh-emoh naik perahu karena takut dan memilih jalan kaki saja (paling cepat 3 jam PP). Awalnya boleh takut, tetapi setelah merasakan mereka jadi ketagihan naik perahu hehehehe....
Berhubung ombak tidak besar, dengan bapak pemilik perahu kami diajak mengalami sensasi menerjang ombak (artinya perahu tidak menunggu ombak sampai benar-benar hilang). Huhuhuhu... coba tebak siapa yang paling senang ? Pio.  Dia berteriak-teriak kegirangan ketika perahu terangkat dan turun byur... Seru lho .. Walau begitu, pakaian kami tetap tidak basah.
Lenggoksono di pagi hari, ombak tenang

Karena tanggal merah, suasana Banyu Anjlok jauh lebih ramai dibanding saat kunjungan pertama kami.
Keramaian hari libur
Tapi, tetap saja seru : Bermain pasir...






Mandi air terjun





Play..play...





















Pio menyaksikan para pegawai kami memanjat ke atas dengan meminjam pelampung milik saya dan suami untuk berenang di kolam atas air terjun, ditambah lagi ia melihat anak kecil yang naik-turun dengan dibantu orang dewasa. Bahkan ada juga bapak-bapak yang turun tangga tali (rupanya mereka menempuh jalur darat) sambil membopong anak kecil sepantaran Deo. Enak sekali, tampaknya mudah saja bagi si bapak : pluk pluk pluk dengan cepat sudah sampai di bawah... hasilnya : Pio meminta kepada kami untuk dibawa naik ke kolam atas.

Mempertimbangkan ini itu, menilai kembali kondisi jalur pemanjatan, dan memperhitungkan kemahiran memanjat para tukang kami, akhirnya kami memutuskan untuk membawa Pio ke atas dengan kawalan 3 orang lelaki dewasa (Papa, dan 2 pegawai kami). Wuuuiikk, cepat sekali mereka membawa Pio ke atas. Pio sudah sampai di area kolam, saya baru setengah perjalanan (maklum, saya tidak terlalu tatag menapakkan kaki di medan seperti itu) sehingga akhirnya mereka berbalik dan menjemput saya.
Papa dan Yakul bersiap turun kembali


Pio bebar-benar bahagia, kerasan benar dia berenang  hilir mudik, ikut-ikutan melompat terjun ke kolam (cuma dari tepi kolam, saya tidak mengijinkan ikutan lompat dari atas seperti yang dilakukan orang lain). 
Kolam ini cukup luas untuk dipakai berenang beberapa orang dan rupanya lumayan dalam. Kaki saya tidak dapat menggapai dasar, dan dari keterangan mas-mas yang mencoba menyelam dasar kolam tetap tak tersentuh setelah beberapa kali kayuhan tangan.. pantas saja mereka berani melompat dari ketinggian.

Berenang,



















Meloncat,
Bersedia.....

Byurrr.....

Lagi ahhh....
Ciprat-ciprat air



Lamaaa sekali saya menemani Pio berenang (Papa turun lagi ke bawah mengawasi Deo). Sampai si om pegawai kami akhirnya menyerah menggigil kedinginan dan memutuskan untuk berjemur saja di tepi kolam sambil memfoto saya dan Pio.  Baru pukul 2 siang  Pio bersedia mengakhiri keseruan berenangnya (dengan ratusan bujuk rayu tentu), menunggu jemputan untuk diturunkan kembali ke bawah.

Keuntungan akrab dengan bapak perahu : walau wisatawan sedang ramai kami tidak dikejar-kejar jadwal pindah spot wisata. dibiarkan saja bermain sepuasnya. Baru ketika kami ingin pindah, kami mengontak untuk dijemput.

Pindah ke pantai Bolu-Bolu, kondisi laut sedang surut sehingga ombak di sana benar-benar tenang. Begitu mendarat, Pio nyemplung lagi ke air bergabung  dengan orang-orang yang sedang berenang dan snorkeling di sana. Yang lain-lain sudah pada kedinginan sehingga lebih memilih untuk menonton Pio sambil minum kopi. Jadinya hanya Pio, saya dan Papa (gantian nemani Pio berenang) serta 1 orang lagi dari rombongan kami yang bermain air di Bolu-Bolu. 

Disuap Papa

Melihat orang berenang

Nyemplung juga akhirnya


Pulang sebagai kloter terakhir dari rombangan (giliran penjemputan kedua), kami meninggalkan Bolu-Bolu pukul 4 sore. Baru saja keluar dari teluk kami menyaksikan nelayan setempat mencari kerang di batu karang tengah laut, dan  bapak perahu melambatkan laju untuk menawari kami apakah kami mau membawa pulang kerang. Begitu kami menjawab mau, tak disangka-sangka asisten nahkoda langsung menceburkan diri ke laut kemudian berenang ke pulau karang untuk mencarikan kami kerang. OMG, pikiran kami jika kami menjawab mau kami akan membeli kerang-kerang yang berhasil dikumpulkan oleh orang-orang di pulau karang itu..ternyata si mas terjun sendiri ke laut, meminta karung dan mengumpulkan sendiri kerang untuk kami dan diberikan kepada kami secara cuma-cuma (jadi terharu).
Di pulau karang seperti inilah banyak terdapat kerang
Perahu dimatikan dan kami terombang-ambing di dekat pulau karang sambil menunggu pencarian kerang. Weeehhh....dalam kondisi mesin mati  gelombang laut jauh lebih terasa, dan berhubung upaya mengumpulkan kerang rupanya membutuhkan waktu karena mereka tidak membawa peralatan untuk mencongkelnya dari karang (mungkin juga bapak nahkoda mengerti kalau saya agak-agak deg-degan dimainkan gelombang laut), kami dikembalikan ke Bolu-Bolu untuk menunggu. Siapa yang tidak heran, Pio masih merengek untuk boleh nyemplung ke laut lagi ...

Deo @ Bolu-Bolu
Mendarat di pantai Lenggoksono  pukul lima kurang sambil membawa kerang 1 karung, kami mandi membersihkan diri (sekali lagi bapak perahu menawarkan kepada kami untuk mandi di rumahnya), mengambil pesanan ikan , dan meninggalkan pantai sekitar setengah enam sore (pantai Lenggoksono saat itu masih tampak ramai).

Rasanya benar-benar menyenangkan mendapatkan perlakuan seperti keluarga di sana. Bapak perahu dan istri juga berpesan agar jika kami ke Lenggoksono lagi, kami diminta mampir ke rumah mereka. Alamat serta ancer-ancer rumah sudah diberikan, dan ketika berjalan pulang kami sudah berhasil menemukan rumahnya. Jangan kuatir pak... menilik kegemaran Pio kepada wisata Bowele ini kami pasti akan kembali, juga untuk menyelesaikan tanggungan kami : sendok bapak perahu yang dibawakan kami untuk makan kelapa muda di Banyu Anjlok terbawa pulang hehehe (jadi harus mengembalikan..)..

Ini dia  hasil akhir kerang yang diberikan kepada kami (sebelum dikupas 1 ember full, padahal sudah dibagi-bagi juga) :

Fresh from the sea :  enak, manis, dan tidak amis...yummy...

Kamis, 15 Oktober 2015

Short Trip to Bandung : 2 hari di atas kereta api

Dalam rangka menghadiri pernikahan anak salah seorang rekan kerja, tgl 26-27 September 2015 kemarin saya dan 3 teman lainnya mampir sebentar ke kota Bandung. Sebenarnya saya sempat ragu-ragu juga untuk berangkat berkaitan hari Seninnya Pio tidak libur sehingga saya kepikiran untuk persiapan sarapan dan bekal sekolahnya. Rekan saya berkata bahwa dia tidak membutuhkan amplop, yang diharapkan adalah beberapa dari kami dapat hadir saat acara berlangsung..dan...jika hadirpun ia mewanti-wanti jangan sampai memberikan amplop. Setelah timbang sana timbang sini  saya memutuskan untuk berangkat, dengan meninggalkan bumbu masakan yang saya bekukan untuk dua hari sehingga Papa tinggal cemplung-cemplung.

Demi mengejar kepentingan dua pihak ; bisa menghadiri nikahan anak rekan kami tetapi juga tidak terlalu merasa bersalah karena meninggalkan anak sendiri di rumah (dalam rombongan kami ada 2 emak-emak) kami memutuskan untuk berangkat ke Bandung langsung pulang hari (baca : tidak menginap). Disepakati berangkat dari Malang menggunakan kereta api hari Sabtu sore, sampai Bandung Minggu pagi, kemudian siang harinya ikut misa sakramen pernikahan, Minggu sore sudah naik kereta lagi pulang ke Malang sehingga  Senin pagi sudah sampai kembali di stasiun  Malang. Uugghh sudah kebayang remeknya badan. Sempat saya kepikiran mau via udara saja pulangnya ke Surabaya, nggak papa walau sampai rumah tengah malam dini hari tetapi saya masih bisa menyiapkan sarapan buat Pio berangkat sekolah. Tetapi, astaga mungkin karena ada libur kecepit harga tiket Bandung-Surabaya ajubileee mahalnya. Perkiraan saya tiket Bandung-Surabaya sekitar 800ribuan, ternyata melonjak jauh. Satu tiket pulang via pesawat (cuma sampai Surabaya lho belum ke Malang), bisa menjadi tiket PP Malang - Bandung dengan kereta express kelas eksekutif, masih berlebih-lebih  pula....
Satu lagi ketidakberuntungan kami adalah tiket kereta express eksekutif Malang-Bandung ternyata sudah full book, sehingga untuk berangkat ke Bandung kami harus via Surabaya.

Jadilah hari Sabtu siang kami berangkat ke Surabaya menuju stasiun Gubeng, berangkat ke Bandung dengan menggunakan KA Turangga.
 
Stasiun Gubeng
Ruang tunggu



Saya yang sudah lamaaaa sekali tidak pernah naik kereta api berhubung kali terakhir naik kereta adalah ketika saya masih kuliah, terkesan juga dengan banyaknya perubahan dalam layanan kereta api. Sistem tiket yang tertib, ada check in boarding juga seperti di bandara, serta gerbong kereta yang bersih dan bebas PKL. Perjalanan di kereta menuju Bandung terasa nyaman, dan untuk tiap penumpang diberikan selimut yang dibagikan kepada kami setelah kereta berjalan : masih tersegel plastik.
Setiap beberapa waktu sekali ada petugas yang berkeliling meminta sampah, dan langsung sigap membersihkan lantai kereta jika ada tumpahan sampah.

KA Turangga



Berangkat dari Surabaya pukul setengah lima sore, kami dijadwalkan tiba di stasiun Bandung pukul setengah enam pagi. Tiga belas jam berada di atas moda transportasi membuat saya tidak dapat menghindari kebutuhan ke toilet. Agak takut-takut juga membayangkan seperti apa kondisi toilet di atas kereta..tapi karena sudah tidak bisa menahan lagi  ya harus pergi...*siap-siap tissue banyak termasuk tissu basah (jika baunya kebagetan bisa dipake untuk tutup hidung) dan jika kotor sudah tutup mata rapat-rapat saja*
Dan.....toilet di atas kereta api yang saya tumpangi ternyata cukup bersih! Jauh lebih bersih dari apa yang saya bayangkan mengenai toilet umum di kereta, walau memang masih lebih bersih toilet di atas pesawat. Lega rasanya, dan sejak itu saya tidak ragu-ragu lagi untuk minum (ngempet haus nih ceritanya dari tadi hihihi).

Tiba di Bandung, kami sudah dijemput  driver  yang disediakan  oleh rekan kami yang punya gawe dan dibawa ke sebuah guest house (milik saudara si empunya hajat) untuk mandi serta istrirahat sejenak. Rasa sungkan membuat kami akhirnya berkeliling kota Bandung untuk mencari sarapan.
Ceritanya begini : kami berempat tiba di guest house tersebut sekitar pukul enam pagi, dan kami mendapatkan dua kamar yang dapat kami gunakan untuk mandi serta rebahan untuk kemudian check out di siang harinya (rencana pukul 11). Masuk kamar, mandi, niat awal mau pesan sarapan di tempat saja supaya tidak perlu kemana-mana. Ternyata pemesanan makanan baru dilayani mulai pukul 11 siang, dan kami membaca di papan depan ruang makan bahwa untuk breakfast diminta membawa kupon yang telah diberikan.
Kami lihat lagi di kartu kamar kami tidak ada kupon sarapan, mau bertanya kok ya sungkan karena kami sendiri tidak tahu status ke-tamu-an kami di guest house tersebut berhubung masa singgah yang hanya beberapa jam (nggak bayar lagi). Akhirnya kami memutuskan untuk mencari sarapan di luar saja.

Berangkatlah saya dan seorang rekan (para suster ditinggal di guest house buat bobok) mencari sarapan. Entah apakah driver kami yang tidak mengetahui lokasi perburuan makanan atau memang begitu kondisi di Bandung, kami berputar-putar keliling kota  cukup lama untuk mencari penjual makanan.
Jika di Malang hari Minggu begitu akan sangat-sangat mudah menemukan penjual berbagai macam makanan untuk sarapan, hal sebaliknya yang kami alami saat itu. Susah banget nemu penjual makanan yang buka selain bubur ayam. Nilai positifnya kami berdua jadi jalan-jalan keliling kota :)
Setelah muter-muter entah berapa lama dan kemana saja, kami menemukan depot soto yang buka dan cukup bersih. Di sanalah kami bertiga (termasuk pak supir) makan dan membungkus dua porsi untuk dua rekan kami yang menunggu di guest house.
Masalah baru : kepikiran nih...bagaimana caranya mereka nanti makan soto berkuah sedang di kamar tidak ada piring  / mangkuk? Kalau sendok kita minta sama ibu penjualnya agar diberi. Satu-satunya jalan yang terpikirkan oleh kami adalah membeli box bekal. Untunglah dapat, dan tidak mahal xixixixi. Sempat mau beli mangkuk styrofoam, tetapi berhubung harus beli 1 pak ya nggak jadi.

Keluar dari Guest house sekitar pukul setengah sebelas sekaligus check out, kami masih sempat berkeliling mencari oleh-oleh yang ditarget oleh anak-anak kami. Mampir ke salah satu FO untuk mencarikan pakaian anak teman yang kebetulan kembar cewek semua (tapi saya juga dapat kok buat 3 jagoan di rumah).
Niat untuk membawa pulang klapetaart sebagai buah tangan terpaksa harus dipendam. Karena menurut penjualnya klapetaart hanya bisa bertahan 1 hari, itupun harus masuk lemari pendingin. Hicks bagaimana bisa coba?...sedangkan perjalanan pulang kami saja membutuhkan waktu 16 jam untuk sampai stasiun kota Malang..(kecewa). ya sudah kami makan saja di tempat klapetaartnya.

Tiba di gereja pukul 12 siang, acara misa sakramen pernikahan dimulai pukul setengah satu. Selesai misa bersalaman dengan mempelai dan keluarga, foto-foto sebentar, kemudian langsung cabut.
Mampir sebentar ke Kartika Sari untuk membeli oleh-oleh (makanan kering nih), dan pukul setengah empat kami sudah duduk manis di stasiun menunggu keberangkatan kereta. Untuk makan siang (setengah sore) kami memakan nasi kotak yang kami peroleh dari acara pernikahan.

Stasiun Bandung

Stasiun Bandung

Kereta berangkat pukul lima sore, dan kami tiba di stasiun kota baru Malang pukul sembilan pagi.

KA Malabar

KA Malabar
 Bertemu dengan Papa dan Deo yang menjemput, saya masih punya janji untuk menjemput Pio pulang sekolah pukul 11 siang. Setelah Pio naik ke mobil, saya sudah tidak dapat membuka mata lagi, dan ketika mobil berjalan saya  tidak ingat apa-apa lagi karena sudah terseret ke dunia mimpi...Sepanjang hari itu saya berasa jadi zombie. Mata lengket seperti nggak mau dibuka, badan remek seperti habis dipukuli maling (kayak pernah saja hihihi).....

Sabtu, 03 Oktober 2015

Jatim Park 2 - Forkom

Tanggal 10-12 September 2015 saya mengikuti acara Forkom di mana rumah sakit tempat saya bekerja didapuk sebagai tuan rumah. Forkom merupakan forum komunikasi antara 5 perkumpulan  / yayasan rumah sakit setipe yang terletak di kota Malang, Surabaya, Solo, Semarang dan Jakarta. Setiap tahunnya Forkom memiliki agenda kegiatan dan salah satunya adalah pertemuan besar delegasi masing-masing rumah sakit. Saat berkumpul itulah biasanya kita saling bertukar pengalaman, informasi dan tips demi kemajuan bersama sambil kangen-kangenan tentu.

Agenda kegiatan Forkom kali ini dipusatkan di hotel Savana Malang, dan pada hari kedua disisipkan acara jalan-jalan ke Jatim Park 2 Batu, secara lebih spesifik : Secret Zoo. Walaupun saya berdomisili di Malang, jujur saja saya belum pernah ke Sekret Zoo karena malas dengan kemacetan yang sering melanda jalur Malang-Batu di waktu weekend. Berhubung belum pernah, saya jadi bersemangat menantikan hari H.

Berangkat setelah usai dua sesi ilmiah dengan menggunakan tiga bus pariwisata, kami tiba di Jatim Park 2 Batu sekitar pukul 12 siang. 
Suasana di dalam bis
Foto bersama , pembagian karcis, dan acara bebas menjelajah Sekret Zoo sampai dengan pukul setengah lima sore (tidak bisa terlalu malam karena jam 7 malam kami masih ada acara makan bersama dan malam keakraban), jadi saya mempunyai waktu 4 jam untuk berkeliling.

Namanya juga Zoo, berarti yang akan ditemui di dalam setelah memasuki gerbang masuk adalah binatang. Yup, sekret Zoo sebenarnya adalah kebun binatang yang ditata dengan suatu konsep sehingga lebih menarik...bukan cuma sekedar binantang berjajar yang diberi pagar. 
Desain  penataan binatang di Secret Zoo dibuat sedemikian rupa sehingga para pengunjung akan berjalan kaki satu arah mulai dari pintu masuk sampai pintu keluar. Bagi yang tidak kuat berjalan jauh, dapat menyewa e-bike sebagai sarana transportasi di dalam Secret Zoo.

Ini nih e-bike yang dapat disewa
Ada banyak jenis binatang yag dapat disaksikan di Secret Zoo

 Keluarga kura-kura baik yang suka daratan maupun yang gemar berenang



 Burung hitam dan oranye


 












Si hauuummm

Berjaga
Lagi mandi
 Di dalam dunia samudera

Nemo
 

 
 Ada yang takut dengan binatang satu ini....Sehingga ketika lewat di areanya : jalan lurus secepat kilat tanpa sedikitpun menoleh ke kanan dan ke kiri


 Dibuat foto bersamapun juga  bagus

 

 

 
 

Ada juga tempat untuk foto bersama binatang seperti ular, bayi macan, atau burung cantik berwarna-warni seperti ini


Setelah keluar dari Secret Zoo, kami melanjutkan dengan melihat-lihat museum satwa. Isinya adalah binatang-binatang yang sudah diawetkan, mulai yang masih utuh






Sampai yang tinggal kerangka



Menyenangkan bukan ?