Sabtu, 25 April 2015

Kehamilan dan Kelahiran My Boys

Melihat anak-anak saat ini, rasanya waktu berlalu begitu cepat. Sepertinya baru kemarin mereka lahir, kok sudah jadi sebesar ini :)
Inilah kenangan kehamilan dan kelahiran dari 3 orang permata kami, yang masih bisa saya kumpulkan dari memori :

PIO 
Setelah menikah, saya dan suami sepakat untuk menunda mempunyai anak karena kita ingin membereskan rumah terlebih dahulu agar lebih layak untuk ditinggali, terutama kalau ada bayi. Saya hamil di awal tahun 2008, dan di kehamilan pertama ini saya mengalami muntah sampai dengan melahirkan alias full 9 bulan, dan tidak hanya morning sickness tetapi full day sicness - muntah bisa datang kapan saja tidak ada perbedaan apakah pagi, siang, sore, ataupun malam. Saya hanya bilang muntah karena mual jarang terasa, dia datang sesaat sebelum muntah. Berita baiknya saya masih mempunyai celah untuk mengurangi frekuensi muntahnya yaitu dengan menghindari makanan tertentu.

Selama saya hamil Pio saya benar-benar tidak bisa mengkonsumsi segala macam produk pangan olahan pabrik, kue,syrup, ataupun makanan yang mengandung penyedap. Saat makannya sih no problemo, baik-baik saja, masuk ke perut dengan lancar..tetapi tidak berselang lama pasti akan akan keluar dan tidak bisa berhenti sampai benar-benar habis semua isi perut.Tidak jarang saya muntah sampai keluar bercak darah. Sehingga, kalau saya tidak ingin sering-sering lemas nganggur akibat muntah hebat, saya harus benar-benar selektif menyortir bahan yang masuk ke mulut. Konsekuensinya, paling aman adalah memakan makanan home made yang saya tahu persis bahan dan proses pembuatannya. Saya juga tidak bisa makan di acara, seminar, ataupun undangan pernikahan. Ceritanya selalu sama jika saya langgar : lemas akibat muntah hebat, tenggorokan nyeri untuk menelan karena iritasi di tenggorokan. Selain muntah, saya juga sering mengalami kontraksi saat kehamilan trimester pertama, sehingga demi menghindarkan sesuatu yang tidak diharapkan, saya harus mengkonsumsi "penguat kandungan" sampai awal bulan ke 4,saat placenta diperkirakan sudah kuat. Selebihnya kehamilan pio berjalan aman-aman saja.

 Saya bersyukur dokter SpOG pertama saya adalah orang yang melihat pasiennya tidak terbatas hanya pada seputar urusan reproduksi wanita. Ada banyak detil kecil yang diperhatikan, dan sangat bermanfaat bahkan sampai kehamilan kedua. Contoh, beliau sangat memperhatikan perawatan kulit perut saya. Sejak kunjungan pertama saya sudah diajarin bagaimana caranya merawat kulit perut supaya tidak terjadi striae akibat kehamilan. Setiap hari saya harus melembabkan kulit perut dengan mengoleskan minyak zaitun, atau jika tidak tahan baunya bisa diganti dengan baby oil, atau bahkan hanya dengan pelembab hand body biasa. Pokoknya jangan sampai kulit terasa kering. Entah bagaimana, beliau selalu tahu kalau saya lalai, dan selalu berkata : "Hayo, kulitnya ga bener nih ngrawatnya. Yang telaten lho ya, nanti nyesel kalau nggak telaten ngrawat dari awal gini". Kulit perut akan melar sesuai berjalannya umur kehamilan, dan untuk menyiapkan kulit mengalami peregangan harus dijaga selalu lembab sehingga tidak mengalami "pecah" sehingga menghasilkan striae / strechmark akibat kehamilan. Sudah terlambat jika kita baru merawat kulit setelah perut membuncit besar, apalagi kalau sudah terasa gatal. Rasa gatal di kulit perut disebabkan peregangan dari kulit yang "kering".

Setelah lewat masa bahaya terkait kontraksi yang saya alami di trimester pertama, saya ditanya apakah masih ingin melakukan hubungan sexual dengan suami, kalau iya beliau akan mengajarkan cara dan posisi yang aman, batas dan tanda yang harus kami amati untuk menjamin keamanan kehamilan, tentu edukasi akan diberikan berdua dengan suami. Dokter SpOG juga rutin menanyakan olah raga apa yang saya lakukan, sehingga sampai H-1 dari persalinan saya dan suami masih jalan kaki ngelayap ke mana-mana. Teknik massage dan perawatan payudara tidak luput dari perhatian beliau. Bahkan pada bulan terakhir, saya diajarin dan dilatih teknik olah nafas dan cara mengejan yang benar. Pada kontrol terkhir (sebelum waktu melahirkan yang ternyata maju 2 minggu dari perkiraan partus awal) saya pulang dengan membawa PR melakukan latihan-latihan tersebut di rumah. Sangat memotivasi saya untuk melahirkan secara normal, sejalan dengan saya sendiri yang juga tidak berminat untuk sectio (SC). Saya bukan orang yang anti sectio, tetapi saya pribadi tidak mau di-sectio jika memang tidak ada indikasi medis yang jelas untuk itu.

Tanda awal persalinan sudah saya rasakan pagi hari ketika saya masih bekerja. Hanya terasa kemeng di boyok dan tidak enak seperti orang dilepen. Saya abaikan, bahkan pulang kerja saya masih sempat minta diajak jalan-jalan, puter-puter dulu baru pulang padahal sudah terasa sakit (hehehe..kata suami inilah yang menyebabkan Pio doyan banget kia-kia, lha wong mamanya mau melahirkan saja masih minta jalan-jalan). Semakin sore semakin terasa sakit, kontak dengan SpOG masih diijinkan di rumah asal tetap memperhatikan gerakan bayi, ke rumah sakitnya nanti saja kalau sudah keluar darah lendir. Jam 10 malam, darah keluar, berangkat ke rumah sakit dan dilihat masih bukaan 1. Niat hati sih pingin pulang lagi, tapi sama dokternya disuruh observasi di RS saja. Ditunggu sampai besok pagi masih tetap bukaan 1. USG ulang posisi bayi ternyata oblique, tidak pas betul dengan jalan lahir. Ini mungkin yang menyebabkan macetnya proses pembukaan. Ditunggu lagi sampai sore tidak berubah, tetap bukaan 1 padahal mulasnya sudah semakin menjadi. Akhirnya saya dipasang infus, rehidrasi, siapa tahu menolong. Tetap saja tidak maju-maju, dan posisi bayi juga tidak mau berubah. Opsi SC diajukan kepada saya dan suami dengan alternatif lain coba drip. Dikatakan coba karena dokter SpOG juga tidak berani menjamin bisa bermanfaat berhubung dengan posisi bayi; dan karena letak bayi yang tidak bagus ini, dosis drip tidak berani maksimal, hanya berani memberikan dosis kecil. Hasil berunding, kita putuskan coba drip. Kalau gagal ya apa boleh buat SC. Dosis pertama drip tidak memberikan kemajuan pembukaan, hanya menyebabkan mulas dan sakit yang semakin menjadi. Dosis naik, sakitnya juga semakin hebat, pembukaan nambah sedikit. Naik lagi dosisnya dan sudah dosis mentok yang berani diberikan, sakitnya sudah tidak karuan dan seakan tidak berjeda. Saya sampai tidak punya kesempatan istrirahat untuk mengatur nafas, seperti tidak ada jeda kontraksi. Saya tidak tahan lagi. Atas permintaan saya dan berdasarkan konsultasi dengan dokter SpOG, drip dilepas. Jika pembukaan yang sudah terjadi bisa berlanjut, saya masih punya kesempatan melahirkan normal. Jika pembukaan berhenti, mau tidak mau harus naik SC. Untunglah pembukaan masih tetap berjalan dan Pio dapat lahir secara normal.  

DEO
Untuk kehamilan kedua ini saya hanya mengalami mual dan muntah yang lumayan mengganggu sampai usia kehamilan 4 bulan, selebihnya tidak terlalu menonjol. Mual kali ini lebih terasa daripada saat hamil Pio,  bahkan bau-bauan pun bisa membuat saya muntah. Saya orang yang cukup tahan sakit dan ndableg. Begitu muntah saya makan lagi, muntah makan lagi, begitu terus menerus karena saya tahu masa pembentukan organ 3 bulan pertama tidak tergantikan. Tapi walau begitu 2 bulan pertama justru berat badan saya turun sehingga terpaksa harus memakai obat mual yang lebih kuat. Memasuki bulan ke empat, rasa mual saya sudah berkurang walau tidak bisa hilang, syukurlah karena waktu itu rumah sakit sedang menghadapi akreditasi versi terbaru sehingga cukup repot juga.

Permasalahan baru datang justru di usia kehamilan 5 bulan. Saya ingat, hari itu hari Senin dan 3 hari sebelumnya (Jumat-Minggu) saya ke Jember untuk bersih-bersih rumahnya mama dengan Dedi (adik no 2). Sebenarnya lebih tepat dikatakan yang bersih-bersih adalah Dedi, suami, dan tukang yang saya bawa dari Malang karena  saya lebih banyak bersantai di hotel dengan Pio. Perjalanan Malang-Jember PP juga tidak terlalu melelahkan karena mobil sudah disulap menjadi kamar tidur untuk saya dan Pio. Kami berdua bisa tidur selonjor nyaman di atas kasur di dalam mobil selama perjalanan.
Kembali lagi, hari itu  hari senin setelah saya pulang dari jember, saat bangun tidur mau mandi bersiap ke rumah sakit (kerja) saya melihat ada flek-flek darah kecoklatan. "Oo mau menstruasi nih" sesaat saya benar-benar lupa kalau sedang hamil, saya berpikir saya datang bulan. Setelah sadar bahwa saya hamil, dan itu berarti saya perdarahan, rasanya panik luar biasa. Bedrest 3 hari,  minum obat untuk mencegah kontraksi, oke membaik.

Beberapa minggu kemudian saya flek lagi, padahal masih rutin minum obat. Bedrest lagi 3 hari dan ditambah pemeriksaan kultur untuk mecari tahu barangkali penyebab perdarahan adalah infeksi karena letak placenta bagus. Yang paling menakutkan adalah perdarahan ketiga. Sore itu saat  baru pulang kerja dari rumah sakit, saya merasa ingin buang air kecil. Karena nanggung masih ngumek sesuatu di dapur saya tahan..dan syuurrr... aduh  ga bisa nahan nih pikir saya, dan bergegas ke kamar mandi. Ternyata, yang saya kira urin (air seni) ternyata adalah darah. Darah yang keluar cukup banyak sampai  membasahi  celana luar yang saya pakai. Tidak terima panik lagi, saya ketakutan sekali. Langsung berbaring tidak berani bergerak karena sedikit menggeser pantat saja darah sudah keluar lagi.  Yang ada dalam pikiran saat itu adalah saya akan kehilangan bayi saya. Konsultasi via telepon dengan dr. SpOG, disuruh bedrest lagi, kali ini tidak boleh turun dari tempat tidur. Jika perdarahan berkurang, saya bisa kontrol besok pagi. Tetapi jika perdarahan tetap atau semakin hebat, atau gerakan bayi berkurang,  harus segera  ke rumah sakit. Untunglah perdarahan yang saya alami membaik dengan tirah baring, namun kali ini saya harus di tempat tidur selama 1 minggu.

Khawatir kalau-kalau penyebab perdarahan trimester dua yang saya alami ini disebabkan karena adanya kelainan bawaan dari janin, saya direkomendasi untuk melakukan pemeriksaan USG 3 Dimensi. Hati ini seperti copot mendengar ada kemungkinan bayi saya menderita cacat bawaan, sehingga saat-saat menunggu antrian USG terasa seperti (mungkin) menunggu hakim menjatuhkan vonis. Proses USG 3D cukup lama, apalagi alasan saya melakukannya bukan untuk mengetahui jenis kelamin ataupun melihat wajah bayi tetapi mencari kelainan bawaan yang mungkin ada. Hampir dua jam sendiri berlalu untuk menghitung setiap ruas, mengukur panjang atau diameter, mengamati detail lubang yang tampak, serta mengevaluasi setiap pergerakan. Plong, lega, begitu mengetahui tidak ada kelainan bawaan pada bayi saya walau mata sudah sepet karena saya kelar USG mendekati pukul satu dini hari. Hebatnya, sampai jam segitu Pio tetap semangat menanyakan dan berkomentar tentang setiap gambar USG si adik  kepada dokter operatornya.

Proses kelahiran Deo diawali dengan pecah ketuban saat saya masih bersih-bersih rumah, pagi hari sekitar pukul setengah tujuh. Untungnya segala keperluan untuk melahirkan sudah saya packing dalam tas, jadi tinggal sahut dan berangkat ke rumah sakit. Teman-teman perawat dan bidan rata-rata meramalkan kalau kali ini saya bakal naik SC, bahkan segala tetek bengek persiapan SC sudah disiapkan oleh mereka tinggal bawa (Aduh, asem benar pikir saya waktu itu). Masalahnya ketuban saya sudah pecah, tapi tidak ada tanda-tanda progres persalinan. Mulas walau sedikitpun tidak. Bahkan ibu yang belakangan masuk ke kamar bersalin sudah lahir bayinya, saya masih tetap tenang-tenang tidak mulas. Deadline pukul 13.00 bayi harus lahir, kalau tidak pilihannya SC atau drip. Kapok dengan pengalaman melahirkan pertama, saya emoh jika harus didrip lagi. Mendekati batas akhir waktu, mulas yang ditunggu akhirnya datang dan dengan cepat berubah menjadi nyeri kontraksi kuat. Bidan dipanggil (saya memang tidak ditungguin ketat karena masih cengengesan kanan kiri, sama sekali ga kayak orang mau melahirkan), VT, ternyata sudah buka tujuh. Partus set (alat dan bahan untuk persalinan) disiapkan, dokter SpOG dipanggil, dan wups Deo lahir 5 menit sebelum batas waktu saya habis. Saat proses melahirkan placenta, dokter anak datang dan memandu IMD (Inisiasi Menyusu Dini). Respon bayi bagus, tidak lama setelah diletakkan di dada saya, dia sudah mengeluarkan air liur banyak, walau total waktu yang dibutuhkan  sampai berhasil menemukan puting dan menghisapnya adalah dua jam.

ION 
Kehamilan Ion terjadi saat saya masih mengerjakan tesis, namun dapat dikatakan ini adalah kehamilan yang paling menyenangkan. Tidak ada mual-mual kecuali saya mencium asap rokok, bau badan (yang walaupun tidak hamilpun saya juga bakal mual), dan bau bawang pre mentah (ini yang masih berasa hamil hehehe). Di badan pun juga tidak ada rasa-rasa yang membuat jadi malas atau lemas untuk aktivitas. Sungguh-sungguh bersyukur deh..tesis dan pekerjaan tetap dapat berjalan tanpa gangguan. 

Gangguan waktu hamil ketiga ini datang di trimester kedua. Sama dengan saat hamil Deo, kali ini pun saya juga mengalami flek-flek hingga harus dua kali istirahat. Tidak semenakutkan waktu perdarahan hamil kedua. Yang membuat agak deg-deg an malah posisi bayi. Hingga usia kehamilan 8 bulan lebih  si kecil tetap tidak mau menempatkan kepalanya di bawah  hingga saya akhirnya direncanakan SC...ya sudahlah, pasrah..mungkin memang saya akhirnya harus mengalami masuk kamar operasi sebagai pasien (biasanya jalan-jalan ke kamar operasi sebagai karyawan RS). Tapi.... adik bayi rupanya tahu kalau mamanya ogah operasi, hingga saat kontrol kehamilan 9 bulan  ia sudah menempatkan diri dalam posisi bagus dan batal lah rencana operasi.  Siiipp...lahir normal saja  dek...

Ketika saya hamil tua, kegiatan saya justru semakin menjadi. Saya wisuda S2 dengan perut yang amat besar walau nggak terlalu kelihatan sih karena pakai toga. Cuti hamil saya juga terpaksa mundur karena ada tugas yang tidak dapat saya tinggal atau delegasikan saat itu (yang ini sih no problemo buat saya karena nantinya saya bisa lebih lama bersama si bayi setelah lahir). Saya baru memulai cuti sekitar 3 minggu sebelum perkiraan kelahiran. Baru saja saya cuti,  datang kabar nenek (dari papa) meninggal. Serba salah rasanya... nggak datang itu bagaimana, datang saya dalam kondisi hamil tua siap melahirkan. Akhirnya saya memutuskan untuk datang ke Jember saat kremasi. 1 koper persiapan persalinan saya masukkan ke mobil, saya juga mencatat lokasi rumah sakit dan bidan yang saya lalui sepanjang perjalanan Malang - Jember, in case ada apa-apa di jalan. Singkat cerita saya bisa kembali ke Malang dengan selamat dan koper persiapan persalinan saya tetap tertutup. Satu minggu sebelum perkiraan kehamilan saya kontrol karena semalaman saya sudah merasakan mulas walau ga nemen tapi tidak hilang-hilang. Selama trimester akhir saya sering mengalami kontraksi dan mulas palsu...jadi saya tunggu dulu kali ini mulasnya hilang atau tidak. Ketika kontrol diketahui bahwa air ketuban saya tinggal sedikit dan terlihat adanya lilitan tali pusat. Jam 10 saya kontrol, jam 12.30 saya sudah di kamar operasi. Rupanya air ketuban sudah merembes sedikit-sedikit, mungkin sudah beberapa hari dan saya tidak menyadarinya. Untunglah saya masih tetap sadar untuk mengontrol  gerakan bayi. Sejak hamil ketiga ini, produksi lendir memang lebih banyak daripada kondisi normal, jadi saya tidak merasakan adanya rembesan.

Karena saya SC, saya baru pulang dari rumah sakit setelah hari ke3,yang berarti tidak ada drama ASI  di rumah . Sama seperti kakak-kakaknya, ASI saya baru keluar dihari ke3, namun karena saya masih di rumah sakit, ada banyak teman yang membantu menenangkan si bayi yang menangis karena ASI belum keluar. Hari ketiga si kecil terlihat agak kuning, cek darah kadar bili memang meningkat walau tidak terlalu tinggi, dr anak menyarankan untuk fototerapi saja daripada pulang kemudian tidak bisa turun dan masuk lagi untuk fototerapi. Saya setuju, dan saya tetap bisa menyusui si kecil setiap beberapa jam. Sesuai jadwal yang ditetapkan oleh dokter anak, secara periodik saya datang ke ruang bayi menyusui. Beberapa sesi agak tertunda karena si kecil selama disinar boboknya kelewat pulas, jadi harus digelitik, ditepuk tepuk untuk mbangunin dia.  Satu sesi selesai, kuning lenyap, kami pulang dengan aman.

Ion ini bayi paling menyenangkan. Saya sudah bersiap-siap bergadang mengingat 2 pengalaman sebelumnya saya tidak tidur semalaman pada hari pertama mereka pulang dari rumah sakit. Namun, tidurnya si Ion sudah langsung terpola dan entah kenapa jam tidurnya pada malam hari sudah lebih panjang sedikit dari siang hari sehingga  saya relatif tidak bergadang. Bangun teratur untuk pipis, ganti popok,  minum, langsung tidur lagi...terlebih saya sudah biasa menyusui sambil tiduran..lebih enak lagi.
Hanya saja di siang hari Ion tidak mau ditinggal. Kalau dia tidur, saya ikut tiduran disampingnya, boboknya bisa lama. Tapi begitu ditinggal langsung eeekkk...ya sudahlah, kegiatan saya hanya di kamar melulu. Buku bacaan  saya tumpuk di samping tempat tidur  dan habis dilahap selama nungguin bayi bobok.  Kehabisan bahan bacaan akhirnya saya download aplikasi dan baca komik di HP hahahaha..Benar-benar masa menjaga bayi yang nyaman banget, tapi jadi susah kembali ke BB semula.  Kadang kalau saya bosan, si kecil yang lagi bobok siang malah saya cium cium dan coel-coel agar bangun (wkwkwk). Yah itulah emak emak..



 PIO


Dan dua foto di bawah ini adalah Deo



dan ini si Ion 





Kamis, 16 April 2015

MPASI

Saat pertama memberikan makanan pada bayi adalah saat-saat penting terkait perubahan tekstur makanan dari yang semula berupa cair menjadi lebih padat. Gampang-gampang susah, artinya tidak dapat saklek berlaku sama persis untuk semua bayi, sehingga disinilah orang tua musti belajar mengenali tanda dan bahasa tubuh bayi dalam menentukan waktu yang tepat untuk meningkatkan kepadatan makanan.

Panduan tahap-tahap pemberian MPASI sudah banyak dibahas baik di artikel bebas, buku makanan bayi, sampai kalau mau yang ilmiah ada dalam text book kesehatan anak, prinsip dasarnya adalah sama : pengenalan bertahap. Pengenalan ini berlaku untuk konsistensi (tingkat kepadatan) maupun jenis bahan makanannya. Untuk konsistensi, bayi dikenalkan bertahap dari bubur susu encer (konsistensinya mendekati cair) yang ditingkatkan perlahan sehingga menjadi bubur dengan konsitensi kental. Biasanya ditahap inilah terkadang muncul masalah jika bayi terlalu cepat dikenalkan dengan konsistensi padat yang belum dapat ditoleransi ususnya : invaginasi atau masuknya segmen usus atas  ke segmen usus bawahnya sehingga dapat menyebabkan sumbatan atau jepitan. Ada faktor "Lucky" juga sih, secara kita juga sering menjumpai bayi usia 2 bulan baik-baik saja setelah disuap pisang, di sisi lain ada yang terpaksa naik ke meja operasi setelahnya karena invaginasi.

Pio dan Deo mendapatkan MPASI homemade karena saya tidak menggunakan bubur instan untuk mereka. Saya pernah sekali mencoba bubur susu instan (pingin tahu sih, karena mau saya ajak bepergian ke luar kota)  dan langsung disembur pada suapan pertama. Karena itu akhirnya mau tidak mau harus setia  pada bubur susu buatan sendiri, dan jadi rajin membaca buku resep makanan bayi maupun browsing resep. Untuk bubur susu saya memakai tepung beras Gazol, dan diencerkan dengan susu / ASI. Ini juga yang menyebabkan stok ASI beku cepat berkurang, karena selain dipakai untuk minum selama saya bekerja, dicairkan juga untuk mengencerkan bubur. Saya tidak lama memakai tepung beras hanya sekitar 2 minggu. Setelah merasa yakin kalau bayi saya bisa menerima makanan padatnya, saya mulai mencobakan berbagai macam sayur, buah, dan umbi mengikuti aturan 3-4 hari (artinya 1 bahan dicobakan selama 3-4 hari, jika tidak timbul tanda-tanda alergi berarti aman). Saya mencoba semua bahan yang banyak direkomendasikan sebagai makanan bayi satu per satu. Lucu juga melihat ekspresi mereka saat mencoba pertama kali. Ada yang langsung suka, ada yang pakai acara mengernyit dulu tapi lama-lama mau, ada yang emoh jadi mundur dulu untuk dicobakan kapan-kapan lagi. Tidak sulit menyiapkan bubur bayi ini, tinggal kukus, haluskan, lalu encerkan sesuai kebutuhan. Kalau si baby sudah sanggup makan dengan tekstur padat, malah tidak perlu diencerkan. Lebih mudah dan lebih cepat dibanding membuat makanan orang dewasa karena tidak bermain bumbu. Setelah Pio dan Deo mengenal semua bahan tunggal, barulah saya mencoba menggabungkan dua atau lebih bahan dalam bubur mereka, tetap menggunakan prinsip 3-4 hari.

Untuk protein, berhubung ada riwayat alergi dari keluarga saya dan suami  maka yang boleh diberikan sampai dengan usia 1 tahun hanyalah kedelai dan daging dari hewan berkaki empat. Untuk pengenalan kacang tanah, telur, ikan (tawar maupun laut), unggas, dan hewan laut lainnya baru boleh mulai dicobakan setelah berusia 1 tahun dimana sistem saluran cerna sudah matur benar. Yang berdiit bukan cuma bayi-nya, selama saya menyusui mereka sayapun mendapatkan pantangan yang sama : hanya boleh makan daging hewan kaki empat dan kedelai..yang berarti pantangan saya adalah hampir semua jenis makanan. Contoh : pantangan telur berarti meliputi juga semua hasil olahan telur : cookies, roti, mie. Dan saya dapat berkata bahwa selama 1 tahun itu saya bosan setengah mati dengan makanan yang ada.
Demikian pula dengan garam dan gula baru saya tambahkan ke makanan bayi setelah mereka berusia 1 tahun. Bumbu dapur lain (bawang puting, bawang merah, prei, dll) sudah saya pakai lebih awal sejak mereka mulai mendapatkan bubur nasi.

Saya tidak mencampur perlengkapan perang MPASI dengan peralatan dapur lainnya. Jadi, saya memiliki sendok, panci, telenan, pisau, mangkuk, saringan, blender khusus untuk membuat MPASI, dan semua peralatan tersebut saya rebus terlebih dahulu sebelum digunakan (untuk blender hanya saya rendam dengan air mendidih). Pisau juga saya bedakan antara pisau untuk memotong buah dan pisau untuk bahan mentah lain (sayur, daging, bumbu). Penyimpanannya juga saya pisahkan di rak khusus.
Saya bersyukur bahwa suami juga tidak segan untuk berbagi tanggung jawab dalam perawatan anak, termasuk dalam menyiapkan MPASI anak, akibatnya Ice cube bertutup yang saya siapkan untuk membuat frozen food makanan bayi sehingga tinggal ambil dan cairkan hanya terpakai sebagian saja. Tiga hari sekali saya membuat frozen food untuk olahan daging karena membutuhkan waktu lama jika ingin mengolah ndadak.. untuk bahan sayur dan buah suami masih mampu mengolah fresh.

Metode frozen food rumahan untuk makanan bayi juga sangat bermanfaat saat kami bepergian keluar kota sehingga anak-anak tetap memakan makanan buatan sendiri. Masukkan ke dalam coolerbox, isi dengan ice gel dalam jumlah cukup, sesampai di hotel titipkan ke freezer makanan matang. Hanya perlu membawa kompor listrik kecil untuk menghangatkan / memasak frozen food yang dibawa dari rumah (disamping peralatan makan tentunya). Travelling oke, MPASI rumahan pun tetap terjaga.

Mungkin karena Pio dan Deo ketika bayi diperkenalkan satu per satu dengan cita rasa murni makanan, mereka tumbuh menjadi anak yang tidak terlalu rewel dalam urusan makan. Ada sih masa-masa tertentu di mana Pio menjadi sangat pemilih, tapi tidak pernah berlanjut dengan aksi GTM berat dan masih bisa diatasi dengan menyerahkan urusan pemilihan menu makanan kepada Pio. Sampai sekarangpun setiap malam saya selalu bertanya dengan Pio besok dia mau makan apa. Seperti sudah menjadi ciri khasnya, Pio selalu detail dalam menyampaikan sesuatu hal : besok masak sup ya ma,  pakai wortel, brokoli, buncis, sama makaroni. Sama tempe goreng. Lain waktu dia akan meminta sayur bening bayam dan labu siam dengan ketentuan labunya dipotong kotak-kotak. Besok-besok request kare ayam paha, telur, dicampur labu siam yang dipotong panjang-panjang kayak mie.

MPASI instan? Saya termasuk kelompok ibu yang tidak setuju, kecuali digunakan saat benar-benar kepepet, darurat, terdesak, dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

Seingat saya, ketika masih bertugas di poliklinik dan bertemu dengan pasien atau para ibu yang mengeluhkan anaknya tidak mau (atau selalu sulit) makan, sebagian besar  dari mereka menyampaikan bahwa anak mereka menggunakan MPASI instan full.
Beberapa bulan yang lalu ketika ada permintaan bantuan tenaga ahli gizi sebagi pemateri pertemuan orang tua di suatu PG-TK-SD  dan kebetulan materi yang diminta adalah makanan pada anak, topik MPASI mau tidak mau ikut terserempet. Sudah terlambat jika kita baru akan mengenalkan rasa bahan makanan kepada anak ketika dia sudah besar. Membutuhkan effort, kemauan, dan kesabaran yang cukup besar untuk menjalaninya. Pilihan bahan makanan pada MPASI instan sangat-sangat terbatas, dan umumnya cita rasa murni bahan makanannya sudah lenyap. Saya pribadi selalu bergidik jika membayangkan ada daging atau kaldu ayam yang disimpan selama bertahun-tahun di rak supermarket dan itu diberikan kepada bayi..hiiiiii.

Karena saya sendiri adalah seorang ibu pekerja, dan saya bisa memberikan MPASI rumahan, maka ibu lain pasti juga bisa. Jika kondisi rumah tidak seberuntung saya (ada anggota keluarga terpercaya yang mau dan bisa mengolah fresh makanan bayi), metode frozen food rumahan bisa dipakai. Hasilnya tidak jauh beda dengan menyiapkan makanan instan. tinggal ambil berapa ice cube frozen food yang diperlukan, mau tunggal atau dikombinasi, cairkan, hangatkan, siap untuk disuapkan. Memang membutuhkan pengorbanan waktu (entah hari libur, entah malam hari) untuk mempelajari, memilah bahan yang bisa dan tidak bisa dipakai kemudian membuat frozen food... tapi demi buah hati, kenapa tidak? Apalagi masa-masa ini tidak akan pernah terulang, dan saya percaya besooook saat anak-anak kita sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri, kita akan merindukan saat di mana kita kepontalan menyiapkan makanan mereka  :)

Semua pilihan hidup pasti akan mendatangkan konsekuensi sendiri-sendiri, tergantung kepada masing-masing orang untuk mau dan siap menanggung konsekuensi yang mana. Saya juga yakin bahwa semua ibu menyayangi dan menginginkan yang terbaik untuk buah hati mereka, tetapi saya juga tidak dapat menyangkal bahwa masih ada ibu yang dalam caranya mengasihi anak terselip "enggan / demi praktis nya". Mempunyai anak adalah sebuah pilihan, dan lakukanlah yang terbaik semaksimal kita bisa. Kalau sudah mentok, dan itu adalah hal terbaik yang bisa diberikan...ya sudah, disitulah tempat kompromi dibuat.
Saya juga bukan ibu yang sempurna (bahkan mungkin masih jauh dari sempurna), hanya saja saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk belajar menjadi ibu yang lebih baik lagi dari sekarang, dan bahwa waktu / moment bersama Pio dan Deo tidak akan pernah bisa saya putar ulang..

Sabagai penutup saya akan meng-share pengalaman  ketika menggantikan dokter spesialis anak yang sedang cuti, dan bertatap muka dengan ibu yang datang untuk memeriksakan anaknya. Kondisi  ini cukup ekstrem menurut saya (dan beneran terjadi, suer!!)  :

Saya (S) : Ada apa bu, anaknya kenapa?
Ibu (I)    : batuk dok, sama panas
S  : sudah mulai kapan bu, ada riaknya? grok-grok?
I   : ..(menoleh ke pembantunya /ART  yang sedang menggendong si anak)..mulai kapan ya mbok? grok-grok?
S  :  (dalam hati) lho?
Sang ART  memberikan jawaban cerita panjang lebar tentang batuk si anak
S  : Kalau panasnya bagaimana? mulai kapan, sampai berapa ..bla..bla..
I   : (menoleh lagi kepada ART-nya) ..panasnya yak apa mbok, kemarin di-tem berapa ya?
S  : (dalam hati lagi) astaga ini yang jadi orang tuanya siapa.....
ART memberikan jawaban dengan gamblang nya
S : sudah diberi obat apa?
 Karena sang ibu menoleh lagi kepada ART-nya, dan saya juga tidak membutuhkan penerjemah, saya memutuskan untuk pertanyaan selanjutnya langsung saya tujukan kepada sang ART.
**mengelus dada**

Rabu, 15 April 2015

Pernikahan Part 2

Masih tentang pernikahan , tapi yang ini adalah pernikahan adik-adik saya (tentu dilihat dari sudut pandang saya hehehe)

1. Dedi - Nunik 

Pernikahan adik yang satu ini berlangsung tahun 2008, saat saya hamil Pio.  Yang saya ingat prosesi lamaran di Porong berlangsung cukup jauh sebelum mereka menikah yakni tahun 2007.  Ada dua kejadian yang cukup membekas di memori saya berkaitan dengan momen lamaran Dedi.  Pertama : Dedi jatuh di rel kereta api saat berangkat ke Surabaya. Perjalanan dengan mengendarai sepeda motor dari Jember ke Surabaya, hujan turun sehingga mungkin jalanan  licin, jatuh. Untung hanya mendapat sedikit luka babras. Kedua : Saat saya dan Doni pulang dari Surabaya, ee di Malang mendapati mas Yudi terpincang-pincang dengan punggung kaki bengkak. Jatuh terkilir saat berlari mau melerai 2 anjing yang bertengkar. Kuatir patah, difotokan. Hasilnya  retak (untung tidak patah del). Bertolak-belakang dari pembuka dan penutup yang sedikit tidak enak bagi saya, inti acara lamaran berlangsung lancar, termasuk moment narsis kami hihihi..

Pernikahan Dedi dan Nunik terdiri dari dua tahap. Tahap pertama pemberkatan nikah di Gereja St. Yusuf Jember, dan tahap kedua adalah resepsi yang dilangsungkan di Porong (tempat asal Nunik). Beruntung bagi saya (yang saat itu adalah ibu hamil yang sedang mengeman-eman cuti untuk dikumpulkan saat melahirkan) dua acara tersebut dilaksanakan pada hari Minggu walau berbeda hari.
Berangkat hari Sabtu dari Malang dengan menyewa mobil (agar saya bisa tiduran kalau capek), kami sampai di Jember sudah malam, dan rumah telah penuh sesak dengan keluarga dari mama. Peluk sana peluk sini, cipika-cipiki, ngobrol sebentar, ngintip baju yang mau diapakai mempelai, saya langsung tidur.
Besok paginya ngikut dedi mengambil hand bouquet di perangkai bunga (aslinya sih pingin jalan-jalan ^_^), pulang, makan, lalu saya diantar ke salon untuk dirias. Untuk salon saya sengaja memisahkan diri dari pengantin berhubung saya ogah ngantri dirias subuh-subuh dengan membawa perut buncit. Untuk pakaian saya  juga tidak mengikuti pakaian keluarga mempelai karena mencari praktis berkaitan dengan ukuran perut yang menggelembung, sehingga saya membeli pakaian pesta untuk ibu hamil dengan potongan sederhana. Minggu sore setelah acara gereja selesai saya pulang ke Malang karena Senin-nya masuk dinas.




Resepsi pernikahan Dedi dan Nunik dilangsungkan di Porong, di rumah mempelai wanita. Saya berangkat langsung hari Minggu pagi dari Malang, sempat muter-muter juga nyari rumahnya (lupa arah..). Adat yang dipakai adat Jawa, jadi sesampainya di Porong saya langsung mencari si Dedi, pingin tahu bagaimana wujudnya dibalut pakaian pengantin Jawa lengkap. Hihihihi lucu juga, mana dengan periasnya dipakaikan lipstik cukup mencolok untuk ukuran cowok (menurut saya lho..). Seumur hidup bahkan sampai saat ini, inilah satu-satunya pengalaman saya menjadi bagian dari barisan pengiring pengantin. Hahaha.. rasanya bagaimana gitu, berbaris mengiring pengantin sambil dilihatin orang (sama-sama barisnya, sama-sama ditonton orang, tapi beda rasa dengan waktu saya ikut gerak jalan atau marching band waktu sekolah).

Temu pengantin, prosesi ini dan itu, daann ...dipajanglah mereka berdua di atas panggung ( bahasa kerennya : Pelaminan). Ehem..ehem.. sudah curi-curi mesra, dulang-dulang-an berdua...lebih dari itu masih belum bisa karena di kanan kiri nya masih dikawal orangtua (mana berani coba?), apalagi masih dimonitor sama audiens yang hadir (wkwkwk). Secara keseluruhan acara berjalan lancar.
Permasalahan datang bagi saya saat tiba waktu jamuan. Sudah berusaha menghindar, dirayu juga : sediikiiit saja, ngincipi saja buat syarat. Karena sungkan, oke-lah, saya makan. Yang saya kuatirkan terjadi. Tidak lama setelah makanan lenyap ke perut, saya sudah ndekem di kamar mandi karena muntah-muntah. Berhubung perut saya dalam kondisi kosong, suami mengubah rute pulang ke Malang melewati Trawas. Rencananya mau cari ikan bakar di sana, tentu dengan beberapa pesan sponsor agar makanan yang ada cukup aman (maksudnya : tidak saya muntahkan), plus mendapat sedikit bonus : Jalan-jalan melihat hijaunya pemandangan


Bersanding berdua
Tuh...mesra kan ......



 2. Doni - Nita 

Adik bungsu saya ini bisa dibilang masih pengantin baru, berhubung baru menikah bulan Agustus 2014 kemarin. Dilangsungkan hari Sabtu dan Minggu di Jember, hanya beberapa hari setelah Lebaran usai. Problem saya waktu itu, hari Senin nya Pio sudah masuk sekolah dan ini adalah bulan pertama dia menginjakkan kaki di SD. Saya khawatir jika belum-belum sudah tidak masuk sekolah, akan mengganggu adaptasinya. Kalau dipaksakan masuk hari Senin takutnya ini anak masih capek, belum lagi jalan masuk ke Malang pada puncak arus mudik bakal minta ampun macetnya mulai persimpangan Purwosari. Karena hari pernikahan dan resepsi tidak bisa dinego, alternatif lain yang bisa ditempuh adalah masuk Malang saat tengah malam / dini hari. Antisipasi macet parah, saya dan suami memutuskan untuk menggunakan driver saat perjalanan pulang ke Malang.

Selama pernikahan Doni dan Nita saya menginap di hotel Royal Jember dengan tujuan mendekati tempat resepsi yang berlokasi di area UNEJ. Supaya seru, Dedi saya ajak untuk ikut menginap di Royal. ..jadinya cukup ramai bisa ngumpul di tempat yang sama untuk beberapa hari. Sayangnya mama tidak mau diajak bergabung karena takut ada keluarga yang nyasar ke rumah saat hari H.
Sama dengan waktu pernikahan Dedi, saat pernikahan si Doni pun saya memisahkan diri dari perias pengantin dan keluarga. Kali ini  suami  yang merasa tidak sanggup mengatasi 2 anak kecil sendirian kalau saya musti berangkat subuh untuk antri dirias, apalagi Deo masih menyusu ke saya (pasti rewelnya). Ceritanya sama, saya mencari perias sendiri, dan kali ini saya mencari yang mau datang ke hotel tempat saya menginap. Karena saya mencari  via internet, dan hari tersebut masih berbau mudik Lebaran, cukup sulit mencari MUA yang sedang free plus bersedia datang ke tempat tanpa minimal order. Singkat cerita saya mendapatkan 2 MUA berbeda untuk rias 2 hari (MUA yang saya dapat pertama hanya bisa untuk hari kedua, jadi hari pertama saya cari yang lain). Yang penting dapat dulu, perkara kualitas riasan, entahlah..saya tidak pernah tahu, hanya bisa memilih yang terlihat bagus di data foto internet.

Hari Sabtu adalah hari pernikahan di gereja dengan dresscode bertema internasional, sedangkan  hari keduanya (Minggu) adalah saat resepsi yang menggunakan adat Jawa. Untuk pakaian keluarga ada dua, berwarna ungu fanta untuk sakramen nikah di gereja dan kebaya biru untuk resepsi. Berhubung status saya masih sebagai Busui ( ibu menyusui ), saya sedikit memodifikasi model kemben untuk dibuat dengan retsleting depan. Jadinya gampang kalau si kecil sewaktu-waktu minta mimik.
Saya dan Nunik mulai dirias sekitar pukul setengah enam pagi, sehingga saya harus bangun jam empat-an untuk menyiapkan makannya Deo. Syukurlah saya memutuskan untuk rias di tempat saja, tidak membayangkan jika harus meninggalkan tiga kunyil kecil hanya bersama dengan papa-papa mereka. Hari pertama masih lumayan, setidaknya para papa masih lengkap. Hari kedua, astaganaga, dengan absennya Dedi yang harus gabung dengan perias pengantin karena mau dipermak dengan beskap lengkap,.kami harus dirias dengan selingan menangkapi 3 anak kecil yang melesat ke seluruh penjuru mata angin, melompati dan memanjat semua benda yang terjangkau, bahkan saya sempat menjalani dirias sambil menyusui.

Sepanjang acara baik di gereja maupun resepsi  gedung, menurut saya Pio dan Michelle - lah bintangnya (hihihi). Mereka berdua jarang sekali bisa duduk tenang, dan kalau jujur sih benar-benar mirip sama saya dan Dedi waktu kecil. Michelle nyaris membuat pohon kecil di sebelah gereja menjadi gundul serta membawa masuk tumpukan daun yang berhasil dikoleksinya. Pasangan dancer Pio - Michelle juga sempat berdansa berdua di lorong samping bangku gereja, tersandung kaki kursi dan jatuh terguling. Untung tidak sampai benjol atau membuat suara gedubrakan.
Resepsi di gedung? Kondisinya 11-12 alias sama saja. Bayangkan sulitnya mengejar mereka menjelajah gedung, menyisip diantara dekorasi, naik-turun tangga dengan memakai jarik dan selop..masih lumayan ada suami sehingga bisa gantian menghandle penangkapan duo Pio-Michelle atau menggendong Deo. Saya, Nunik, dan mas Yudi baru bisa istrirahat sejenak setelah Pio - Michelle menemukan singgasananya, yakni di kursi orang tua di panggung pelaminan (astaga..nih anak dua ini ada saja tingkahnya).. sepertinya mereka menikmati mengambil alih bangku Oma sama Dedi atau kalau tidak rupanya pangku juga sudah cukup memuaskan buat mereka. Sambil memandang Pio-Michelle di panggung pelaminan, saya berpikir enak juga menjadi anak kecil, bisa jujur dan polos dengan apapun yang ada di kepala dan hati mereka.







Me and Nunik
Michelle berlari

Pio berlari

Setelah Check Out
Resepsi















Jumat, 10 April 2015

Swim!

Beberapa hari yang lalu saya menonton video yang memperlihatkan bayi sedang berenang sendiri, maksudnya mengapung dan bergerak sendiri di dalam air walau tetap didampingi orang tua masing-masing. WOW luar biasa ! Jika saya bertemu dengan orang yang sudah ahli dan berpengalaman menangani renang bayi, oke juga tuh. Masalahnya, saat ini bayi-bayi saya sudah menjelma menjadi anak usia 2 dan 6 tahun, dan sampai detik ini saya tidak berencana untuk mempunyai bayi lagi hihihi...

Pio dan Deo suka bermain air, menikmati sekali sepertinya kalau sudah ada di kolam, tapi mereka belum bisa berenang. Pio masih sangat setia dengan pelampungnya, sementara Deo tidak mau lepas dari mama-nya kalau sudah di air. Waktu di kolam renang, saya selalu mencuri-curi kesempatan untuk menyerahkan Deo ke papa-nya, supaya saya bisa berenang beberapa putaran sampai Deo berteriak-teriak memanggil.

Kok nggak di-les-kan sich?
Ketika Pio masih Playgroup -TK, dan kami masih rutin berenang seminggu sekali (masih air hangat sih kolamnya setiap akhir minggu, sekarang sudah tidak ada) saya pernah menanyakan kemungkinan les kepada guru renang yang ada. Rata-rata mereka meminta minimal usia adalah 4-5 tahun, dan si anak memang kepingin banget belajar berenang. Berhubung si Pio selalu menjawab "Tidak Mau" saat ditawari belajar berenang, ya tidak terwujudlah episode les renang untuk Pio.
Jadi, urusan belajar renang nunggu anaknya kepingin saja..Untuk ngajarin renang sendiri,  saya kayaknya nggak bakat deh. Kalau Pio lepas pelampung, kemudian belajar berenang dengan saya, tidak sampai 5 menit pasti sudah nangkring di punggung saya (=gendong), bagaimana bisa belajar coba? hihihihi....

Deo? Si kecil ini sepertinya orang yang lebih nekat dibanding si kakak, jadi kami harus ekstra ketat mengawasinya. Sudah tidak suka memakai pelampung (ribut terus minta dilepas),ada-ada saja tingkahnya. Deo bisa langsung loncat ke kolam setelah berhitung : dua..iga..ujuh..yee..BYUR...tidak boleh lengah sedetik pun. Deo selalu minta dibawa ke tengah kolam, mengejar kakaknya yang melesat ke sana ke mari dengan pelampungnya.

Yang penting bagi saya, baik Pio atau Deo sangat menikmati saat-saat mereka berada di dalam kolam renang. Deo bahkan beberapa kali harus dipaksa untuk naik dari kolam karena sudah tampak kedinginan.










Rabu, 01 April 2015

Pernikahan

Menurut saya, pernikahan adalah salah satu titik yang akan mengubah hidup seseorang selain lahir, memiliki anak, dan meninggal. (Masih pendapat pribadi) pernikahan adalah awal dari hidup yang baru, bukanlah suatu ending. Ada banyak hal yang harus diperjuangkan untuk menentukan jadi seperti apa kehidupan yang akan dijalani nantinya..(Semangat!)
 *** flashback mengingat kenangan pernikahan sendiri, hampir 8 tahun yang lalu***

 Sebenarnya kami berdua sudah punya rencana untuk menikah di tahun 2006. Tapi setelah mempertimbangkan ini-itu-de el el, sepakatlah untuk menunda pernikahan kami demi punya rumah dulu. Artinya, uang yang ada kami pakai sebagai uang muka rumah, waktu dan tenaga yang awalnya untuk survey baju, kartu, atau pernak-pernik pernikahan lain dialihkan buat berburu rumah. Setelah berhasil mendapatkan rumah (yang terjangkau tentunya dengan uang kami sendiri), barulah mulai kasak-kusuk menentukan tanggal. Untunglah saya dan suami sama-sama penganut faham yang menganggap bahwa semua hari yang diberikan Tuhan adalah hari baik. Berhubung saat itu status masih sebagai karyawan kontrak tahun pertama yang belum mendapatkan cuti tahunan, maka bisa dibayangkan pusingnya kepala kalau masih harus menyesuaikan pemilihan hari dengan perhitungan hari baik. Karena kondisi dan juga kesepakatan berdua, saya dan suami memutuskan untuk menikah dengan biaya kami sendiri tanpa menadahkan tangan kepada orang tua. Apalagi saya masih  mempunyai dua adik yang masih butuh biaya untuk kuliah.

 Hanya, tetap saja kami berdua memimpikan (sejujurnya lebih tepat "saya" ya...) bahwa pernikahan ini dapat dikenang secara khusus. Pertama, entah kenapa dari kecil kalau membayangkan pengantin perempuan, yang terbayang adalah wanita yang memakai gaun pengantin eropa (ini mungkin yang dinamakan impian), alasan logis versi saya waktu itu adalah : kalau kebaya, saya tidak harus jadi pengantin untuk bisa memakainya. Kedua, (kalau ini beneran impian berdua) pingiiiin sakramen pernikahan yang benar-benar sakral dan indah walaupun tidak mewah. Ketiga...nothing! Tidak ada, hanya dua itulah impian kami berdua tentang pernikahan.

Untuk gaun pernikahan kami berkeliling dari salon satu ke salon yang lain, nanya kanan dan kiri, sayangnya tahun 2006 - 2007 belum musim wedding expo di malang. Cari yang murah tapi yang penampakannya masih lumayan lah, ga nemen-nemen banget. Sempat terlintas mau menjahitkan longdress saja dari kain brokat tapi nggak jadi. Capek berkeliling, ternyata ya balik juga ke Tinara. Kartu undangan dan souvenir kami dapat sponsor (bahasa halusnya sumbangan), untuk konsumsi kami pesan kue di kenalan ibu.

Yang paling kami pikirkan adalah acara di gereja, karena inilah satu-satunya acara dalam wedding kami yang tanpa resepsi atau acara lain setelah sakramen pernikahan. Bagaimana caranya supaya bisa berkesan. Untuk gereja kami sepakat menikah di Gereja katedral Malang karena kami suka dengan suasana gereja ini dan sudah sangat familier. Point pentingnya adalah kami memilih Malang sebagai tempat menikah, bukannya Jember (kota asal saya) atau  Salatiga (kota asal suami) karena H-1 dan H+1 saya tidak libur, dan tidak kepikiran untuk hutang cuti. Jadi hari H pernikahan harus hari Minggu atau tanggal merah. Singkat cerita, tanggal pernikahan ditetapkan 27 Mei 2007.
Untuk dekorasi bunga gereja kami sempat kebingungan harus kemana yang cukup badgetnya. Banyak sekali yang menyarankan kami untuk datang ke salah satu florist (punya nama juga di Malang, jadi agak takut-takut dengan biaya) karena menurut mereka beliau lah yang paling indah rangkaian hand bouquetnya. Walaupun juga survey melihat kemungkinan lain perangkai bunga, kami memberanikan diri datang ke florist yang banyak disarankan oleh rekan-rekan kami. Wellcome sekali .. Pemilik florist banyak bertanya tentang pernikahan kami. Tidak ada konsep dekorasi khusus dari kami karena memang tidak ada, pasrah bongkok-an, kami hanya minta dibuatkan bunga tangan dan rangkaian bunga standar seperti misa mingguan biasa. Tidak mahal (untunglah..)

Saya mempunyai satu kelompok paduan suara favorit sejak masih kuliah. Sukaaaa sekali dan jatuh cinta dengan suaranya sewaktu mereka mengiringi tugas koor misa di gereja ..love...love.. Jika tahu mereka tugas, saya biasanya berusaha ngepaskan jadwal misa yang saya ikuti. Karena itulah saya sangat mengharapkan paduan suara ini untuk mengiringi pernikahan kami. ..dan ternyata bukan perkara mudah.. Kelompok ini terkenal bukan sebagai kelompok paduan suara murah, karena mereka adalah kelompok profesional, dan sudah beberapa kali menjuarai perlombaan internasional. Demi mewujudkan impian, bondo nekat saja datang ke markas mereka dan bertemu dengan pimpinan / koordinatornya (entah apa istilah yang benar untuk person ini). Awalnya memang dibilang sih biaya mereka berapa, tetapi setelah ngobrol-ngobrol kita dibebaskan boleh bayar berapapun sebisanya. Karena kita tidak ada niatan "memiskinkan diri demi dapat murah", setiap kali berhasil mengumpulkan sedikit kita antar ke markas paduan suara, begitu terus sampai mendekati hari pernikahan. Saya masih sambang ke sana sampai beberapa hari menjelang hari H, dan diomelin pula (omelan sayang kalau menurut saya)..."Besok sudah mau nikah kok masih kluyuran kesana kemari naik motor "..

Untuk pastor, pertama kali saya meminta seorang romo yang dulunya adalah kepala sekolah saya waktu SMU. Beliau bilang akan melihat jadwal lebih dulu dan beliau yang akan menghubungi saya nantinya. Tunggu menunggu kok tidak ada kabar,.. dan berhubung saya dipesan tidak usah menghubungi ya sungkan mau menelepon, dan saya berpikir sudah ada kegiatan lain hari itu...(note: ternyata beliau lupa! 1 minggu setelah pernikahan beliau menghubungi saya dan protes kenapa tidak dikabari kalau saya menikah @_@ aduuuh mo.....) Setelah itu entah bagaimana ceritanya (karena saya lupa kronologis persisnya), saya bertemu monsinyur dan beliau bertanya apakah sudah ada pastor untuk pernikahan saya dan jika belum monsinyur bersedia hanya saja tidak bisa tanggal 27 tetapi tanggal 20 Mei. Salon ok, bunga ok, dan yang penting paduan suara juga ok dengan perubahan tersebut, sehingga kami datang ke sekretariat paroki untuk memperbaharui tanggal. Ternyata sudah ada daftar pernikahan kami untuk tanggal 20 Mei yang ditulis oleh monsiyur sendiri.

Pada hari pernikahan, ada beberapa teman yang menginap di rumah kami. Makan, tidur, ngobrol bersama, hanya berpisah saat saya dirias dan saat di gereja. Seru ! Ramai ! Sweet memory... Benar-benar lain auranya.
Luar biasa berkat Tuhan melalui banyak orang di sekitar kami. Ada banyak hal yang terjadi di hari pernikahan kami, bahkan yang kami berdua pun tidak berani membayangkan. Pertama, saat memasuki gereja saya sempat terbengong-bengong, tidak percaya dengan mata sendiri. Gereja benar-benar full dengan bunga, padahal kami hanya memesan rangkaian bunga kecil standar misa mingguan biasa. Tapi yang diberikan justru rangkaian bunga luar biasa, penuh mulai dari belakang sampai altar. Speechless..thankyouuu very much..terima kasih banyak untuk semua bunga ini.  "Kado pernikahan" adalah jawaban dari pemilik florist saat kami menanyakan kejutan ini.

Kedua, ketika memiliki kesempatan untuk memandang ke belakang, terharu sekali melihat gereja katedral penuh. Sesuatu yang luar biasa bagi kami, dan juga berharga, bahwa banyak sahabat yang mau datang ke gereja walau kami tidak mengadakan resepsi, ikut dari awal sampai akhir. Setelah sakramen pernikahan selesai, hari berganti, ada beberapa sahabat yang bercerita bahwa mereka sampai kesulitan mencari tempat parkir sehingga terpaksa memarkir kendaraan agak jauh. Seorang ibu lain berkata kepada suami saya : " Om itu sampai umur 60-an tahun, ini adalah nikahan gereja pertama yang didatangi (kecuali keluarga tentu). Biasanya tante di drop, terus ntar dijemput. La ini dari pagi om sudah siap, ribut ngajak berangkat supaya nggak telat, lalu duduk manis di gereja. Kok dengaren, tante sampai heran". Masih ada komentar lain, tapi dua inilah yang paling berbekas buat saya.

Dan, tidak ketinggalan adalah paduan suara yang indaaaah sekali. Saya tidak bisa menilai mereka dengan kata-kata atau skor, tapi sungguh keterlibatan mereka membuat pernikahan kami sangat berkesan bukan saja bagi kami berdua, tetapi juga bagi banyak orang yang hadir.
Satu cerita sedihnya, dan ini pula yang mendorong saya untuk "menyimpan" moment pernikahan saya dan suami di blog ini..... file dokumentasi pernikahan kami hilang saat komputer terkena virus. CD foto sudah entah kemana, hilang saat kami bongkaran rumah,  jadinya hanya tersisa foto-foto yang sudah tercetak di album. Hicks nggak papa lah, mau bagaimana lagi? Yang penting kami adalah satu hati, satu keluarga ....Sampai akhir hayat ....

Ini adalah soft copy foto pernikahan kami yang terselamatkan (karena saya upload di facebook).























Holiday : Christmast 2014

Di Akhir tahun 2014 saya berkesempatan untuk mendapatkan cuti yang cukup panjang, mulai tgl 25 Desember 2014 sampai 1 Januari 2015...Harus dimanfaatkan nih, moment langka untuk refreshing sejenak.

 Saya punya waktu libur total dengan tanggal merah adalah 8 hari, bingung juga mau ke mana. Rencana besarnya sih ke Jawa Tengah sekalian suami pulang kampung. Cuma 1 minggu itu mau ke mana aja ? Salatiga pasti, lalu rencana awal mau ke Jogjakarta tepatnya ke Parangtritis. Biasanya, Pio kalau sudah masuk hotel susah banget diajak keluar, sedangkan saya pingin ke pantai...jadi jalan tengahnya adalah mencari hotel di tepi pantai. Sudah browsing hotel di pantai Jogja, suami ngajak ke pantai utara saja. Alasannya saat ini sedang musim hujan, takutnya jalan ke pantai selatan Jawa biasanya naik -turun cukup curam, berdinding tebing pula.. Ganti haluan cari info tempat wisata pantai utara di Jateng. Minat pertama jatuh di Karimunjawa, tapi berhubung musim libur panjang, harga kamar hotel ajubileee mahalnya, dan karena membawa 2 kunyil kecil ga bisa ambil sembarang hotel. Tambahan lagi kita juga bawa serta Oma Jember (mama-ku) buat liburan. Jadi inilah daftar perjalanan kami :

 25 - 27 Desember 2014 : JEPARA

 Berangkat malam Natal,kami tiba di kota Salatiga sekitar pukul 7 pagi. Jalan nyantai, gantian suami dan saya yang nyupir, karena kali ini kami liburan ga bawa driver. Setelah numpang mandi dan makan di rumah bapak, tengah hari kami meluncur ke Jepara Dan sampai di hotel pukul 3 sore. Selama 3 hari kami menginap di Palm Beach Resort, pantai Bandengan Jepara. Gara-gara tidak segera memutuskan akan menginap di mana, kami mendapatkan 2 kamar yang berbeda untuk 2 malam di Pantai Bandengan..hehehe....habis mau bagaimana, cuma tinggal itu yang tersedia. Hotel ini terletak persis di tepi pantai Bandengan, kamar dan lingkungan hotel bersih, serta kita dapat   melihat laut dari swimming pool nya. Pantai pribadinya bersih, sedangkan pantai umum persis di sebelahnya. Jadi kalau ingin bermain dengan wahana wisata yang tersedia di pantai Bandengan tinggal jalan beberapa langkah. Di pantai Bandengan ada wisata ke pulau panjang dengan menumpang perahu motor. Tarif per orangnya cukup murah, kalau tidak salah 15 ribu per orang. Karena kami menyewa 1 perahu sendiri, tarifnya 350ribu PP plus mengitari pulau panjang.Tidak banyak yang bisa dilihat di pulau Panjang, untung saja perjalanan berperahu pulang pergi cukup mengasyikan...Sempat juga menyewa perahu karet dayung, tapi Pio agak takut gara-gara mamanya ga pinter mendayung. Alhasil perahu selalu meluncur ke arah yang tidak diinginkan, atau berputar-putar..(maaf ya Pio, besok-besok lebih pinter dah mama ndayungnya). Saya masih ngidam pingin naik banana boat, belum kesampaian soalnya Deo ga mau lama-lama ditinggal mamanya..kapan-kapan ah...
Overall menginap di Palm Beach menyenangkan, yang kurang bagi saya adalah soal makanan resto hotel. Terlalu pedas (banyak merica) untuk anak kecil walaupun kita sudah request tidak pedas, tidak pake lombok dan   merica.


Oma dan Deo di depan cottage
Silaauuuu.....


Di atas perahu motor

Siluet






Oma dan Pio berjalan di pulau Panjang. Pulau ini masih membutuhkan banyak 'sentuhan' untuk bisa menjadi objek wisata yang menarik. Kesannya tidak terawat..eman..














 27-29 Desember 2014 :SALATIGA
Tidak banyak agenda kegiatan di kota ini karena edisi pulang kampung. Jadinya selain main ke rumah ortu, yang kami lakukan adalah bersantai di hotel, berenang sepuasnya, berendam air hangat, bahkan suami sempat spa lho hihihihihihihi.....
O ya, satu lagi agenda penting di Salatiga : me-laundry baju (edisi kehabisan)....


 29-31 Desember 2014 : SOLO.
Tujuan utama ke Solo ada 2 : cari batik (khas emak2) dan makan bakmi sabar menanti.
Bonus tak terduga di Solo ternyata hotel yang kami booking terletak tepat di depan Pusat Grosir Solo, tinggal nyebrang jalan saja. Lalu, entah karena kesalahan teknis yang bagaimana dari pihak hotel sehingga kamar yang kami pesan penuh,dan di up grade 1 tingkat ke kamar suite dengan harga sama. Hari pertama puas-puasin berenang..mungkin karena terletak di koridor terbuka lantai 3 (kalau ga Lantai  4 ---maaf lupa) air kolam dingiiiin banget. Deo ga betah berenang lama, sebentar juga sudah menggigil. Kalau Pio sama Oma kayak ga mau mentas deh. Besok-besoknya pun mereka berdua seperti balapan ngajak nyemplung. Bahkan tgl 31 selesai packing masih sempat berenang nemenin Pio
.
Acara berburu batik? Oo tentu jadi dunk.... Rugi kalau ke Solo ga cari baju batik, murah..dapat banyak buat dipakai kerja ataupun santai. Bakmi sabar menanti? Jadi juga.. Menurut saya, bakmi ini enak nggak eneg. Cuma ya itu, sesuai namanya harus sabar menanti matang karena dimasak dengan arang. Malam ke dua, kami sempat ke acara sekaten di keraton. Wuuuaaaa banyak sekali manusia, tumplek bleg di areal keraton. Walau berdesakan,rasanya seneng banget lihat  Pio asyik mengamati dan mencoba permainan. Sayang saya tidak bisa ikut Pio sampai puas karena perut tidak mau diajak kompromi, sehingga saya harus berlari dari keraton ke hotel sambil menggendong Deo dengan tujuan akhir : toilet..

 Akhir cerita, Pio jatuh hati dengan hotel ini dan berpesan kalau besok ke Jawa Tengah lagi dia mau bobok di Royal Surakarta Heritage..