Kamis, 16 April 2015

MPASI

Saat pertama memberikan makanan pada bayi adalah saat-saat penting terkait perubahan tekstur makanan dari yang semula berupa cair menjadi lebih padat. Gampang-gampang susah, artinya tidak dapat saklek berlaku sama persis untuk semua bayi, sehingga disinilah orang tua musti belajar mengenali tanda dan bahasa tubuh bayi dalam menentukan waktu yang tepat untuk meningkatkan kepadatan makanan.

Panduan tahap-tahap pemberian MPASI sudah banyak dibahas baik di artikel bebas, buku makanan bayi, sampai kalau mau yang ilmiah ada dalam text book kesehatan anak, prinsip dasarnya adalah sama : pengenalan bertahap. Pengenalan ini berlaku untuk konsistensi (tingkat kepadatan) maupun jenis bahan makanannya. Untuk konsistensi, bayi dikenalkan bertahap dari bubur susu encer (konsistensinya mendekati cair) yang ditingkatkan perlahan sehingga menjadi bubur dengan konsitensi kental. Biasanya ditahap inilah terkadang muncul masalah jika bayi terlalu cepat dikenalkan dengan konsistensi padat yang belum dapat ditoleransi ususnya : invaginasi atau masuknya segmen usus atas  ke segmen usus bawahnya sehingga dapat menyebabkan sumbatan atau jepitan. Ada faktor "Lucky" juga sih, secara kita juga sering menjumpai bayi usia 2 bulan baik-baik saja setelah disuap pisang, di sisi lain ada yang terpaksa naik ke meja operasi setelahnya karena invaginasi.

Pio dan Deo mendapatkan MPASI homemade karena saya tidak menggunakan bubur instan untuk mereka. Saya pernah sekali mencoba bubur susu instan (pingin tahu sih, karena mau saya ajak bepergian ke luar kota)  dan langsung disembur pada suapan pertama. Karena itu akhirnya mau tidak mau harus setia  pada bubur susu buatan sendiri, dan jadi rajin membaca buku resep makanan bayi maupun browsing resep. Untuk bubur susu saya memakai tepung beras Gazol, dan diencerkan dengan susu / ASI. Ini juga yang menyebabkan stok ASI beku cepat berkurang, karena selain dipakai untuk minum selama saya bekerja, dicairkan juga untuk mengencerkan bubur. Saya tidak lama memakai tepung beras hanya sekitar 2 minggu. Setelah merasa yakin kalau bayi saya bisa menerima makanan padatnya, saya mulai mencobakan berbagai macam sayur, buah, dan umbi mengikuti aturan 3-4 hari (artinya 1 bahan dicobakan selama 3-4 hari, jika tidak timbul tanda-tanda alergi berarti aman). Saya mencoba semua bahan yang banyak direkomendasikan sebagai makanan bayi satu per satu. Lucu juga melihat ekspresi mereka saat mencoba pertama kali. Ada yang langsung suka, ada yang pakai acara mengernyit dulu tapi lama-lama mau, ada yang emoh jadi mundur dulu untuk dicobakan kapan-kapan lagi. Tidak sulit menyiapkan bubur bayi ini, tinggal kukus, haluskan, lalu encerkan sesuai kebutuhan. Kalau si baby sudah sanggup makan dengan tekstur padat, malah tidak perlu diencerkan. Lebih mudah dan lebih cepat dibanding membuat makanan orang dewasa karena tidak bermain bumbu. Setelah Pio dan Deo mengenal semua bahan tunggal, barulah saya mencoba menggabungkan dua atau lebih bahan dalam bubur mereka, tetap menggunakan prinsip 3-4 hari.

Untuk protein, berhubung ada riwayat alergi dari keluarga saya dan suami  maka yang boleh diberikan sampai dengan usia 1 tahun hanyalah kedelai dan daging dari hewan berkaki empat. Untuk pengenalan kacang tanah, telur, ikan (tawar maupun laut), unggas, dan hewan laut lainnya baru boleh mulai dicobakan setelah berusia 1 tahun dimana sistem saluran cerna sudah matur benar. Yang berdiit bukan cuma bayi-nya, selama saya menyusui mereka sayapun mendapatkan pantangan yang sama : hanya boleh makan daging hewan kaki empat dan kedelai..yang berarti pantangan saya adalah hampir semua jenis makanan. Contoh : pantangan telur berarti meliputi juga semua hasil olahan telur : cookies, roti, mie. Dan saya dapat berkata bahwa selama 1 tahun itu saya bosan setengah mati dengan makanan yang ada.
Demikian pula dengan garam dan gula baru saya tambahkan ke makanan bayi setelah mereka berusia 1 tahun. Bumbu dapur lain (bawang puting, bawang merah, prei, dll) sudah saya pakai lebih awal sejak mereka mulai mendapatkan bubur nasi.

Saya tidak mencampur perlengkapan perang MPASI dengan peralatan dapur lainnya. Jadi, saya memiliki sendok, panci, telenan, pisau, mangkuk, saringan, blender khusus untuk membuat MPASI, dan semua peralatan tersebut saya rebus terlebih dahulu sebelum digunakan (untuk blender hanya saya rendam dengan air mendidih). Pisau juga saya bedakan antara pisau untuk memotong buah dan pisau untuk bahan mentah lain (sayur, daging, bumbu). Penyimpanannya juga saya pisahkan di rak khusus.
Saya bersyukur bahwa suami juga tidak segan untuk berbagi tanggung jawab dalam perawatan anak, termasuk dalam menyiapkan MPASI anak, akibatnya Ice cube bertutup yang saya siapkan untuk membuat frozen food makanan bayi sehingga tinggal ambil dan cairkan hanya terpakai sebagian saja. Tiga hari sekali saya membuat frozen food untuk olahan daging karena membutuhkan waktu lama jika ingin mengolah ndadak.. untuk bahan sayur dan buah suami masih mampu mengolah fresh.

Metode frozen food rumahan untuk makanan bayi juga sangat bermanfaat saat kami bepergian keluar kota sehingga anak-anak tetap memakan makanan buatan sendiri. Masukkan ke dalam coolerbox, isi dengan ice gel dalam jumlah cukup, sesampai di hotel titipkan ke freezer makanan matang. Hanya perlu membawa kompor listrik kecil untuk menghangatkan / memasak frozen food yang dibawa dari rumah (disamping peralatan makan tentunya). Travelling oke, MPASI rumahan pun tetap terjaga.

Mungkin karena Pio dan Deo ketika bayi diperkenalkan satu per satu dengan cita rasa murni makanan, mereka tumbuh menjadi anak yang tidak terlalu rewel dalam urusan makan. Ada sih masa-masa tertentu di mana Pio menjadi sangat pemilih, tapi tidak pernah berlanjut dengan aksi GTM berat dan masih bisa diatasi dengan menyerahkan urusan pemilihan menu makanan kepada Pio. Sampai sekarangpun setiap malam saya selalu bertanya dengan Pio besok dia mau makan apa. Seperti sudah menjadi ciri khasnya, Pio selalu detail dalam menyampaikan sesuatu hal : besok masak sup ya ma,  pakai wortel, brokoli, buncis, sama makaroni. Sama tempe goreng. Lain waktu dia akan meminta sayur bening bayam dan labu siam dengan ketentuan labunya dipotong kotak-kotak. Besok-besok request kare ayam paha, telur, dicampur labu siam yang dipotong panjang-panjang kayak mie.

MPASI instan? Saya termasuk kelompok ibu yang tidak setuju, kecuali digunakan saat benar-benar kepepet, darurat, terdesak, dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

Seingat saya, ketika masih bertugas di poliklinik dan bertemu dengan pasien atau para ibu yang mengeluhkan anaknya tidak mau (atau selalu sulit) makan, sebagian besar  dari mereka menyampaikan bahwa anak mereka menggunakan MPASI instan full.
Beberapa bulan yang lalu ketika ada permintaan bantuan tenaga ahli gizi sebagi pemateri pertemuan orang tua di suatu PG-TK-SD  dan kebetulan materi yang diminta adalah makanan pada anak, topik MPASI mau tidak mau ikut terserempet. Sudah terlambat jika kita baru akan mengenalkan rasa bahan makanan kepada anak ketika dia sudah besar. Membutuhkan effort, kemauan, dan kesabaran yang cukup besar untuk menjalaninya. Pilihan bahan makanan pada MPASI instan sangat-sangat terbatas, dan umumnya cita rasa murni bahan makanannya sudah lenyap. Saya pribadi selalu bergidik jika membayangkan ada daging atau kaldu ayam yang disimpan selama bertahun-tahun di rak supermarket dan itu diberikan kepada bayi..hiiiiii.

Karena saya sendiri adalah seorang ibu pekerja, dan saya bisa memberikan MPASI rumahan, maka ibu lain pasti juga bisa. Jika kondisi rumah tidak seberuntung saya (ada anggota keluarga terpercaya yang mau dan bisa mengolah fresh makanan bayi), metode frozen food rumahan bisa dipakai. Hasilnya tidak jauh beda dengan menyiapkan makanan instan. tinggal ambil berapa ice cube frozen food yang diperlukan, mau tunggal atau dikombinasi, cairkan, hangatkan, siap untuk disuapkan. Memang membutuhkan pengorbanan waktu (entah hari libur, entah malam hari) untuk mempelajari, memilah bahan yang bisa dan tidak bisa dipakai kemudian membuat frozen food... tapi demi buah hati, kenapa tidak? Apalagi masa-masa ini tidak akan pernah terulang, dan saya percaya besooook saat anak-anak kita sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri, kita akan merindukan saat di mana kita kepontalan menyiapkan makanan mereka  :)

Semua pilihan hidup pasti akan mendatangkan konsekuensi sendiri-sendiri, tergantung kepada masing-masing orang untuk mau dan siap menanggung konsekuensi yang mana. Saya juga yakin bahwa semua ibu menyayangi dan menginginkan yang terbaik untuk buah hati mereka, tetapi saya juga tidak dapat menyangkal bahwa masih ada ibu yang dalam caranya mengasihi anak terselip "enggan / demi praktis nya". Mempunyai anak adalah sebuah pilihan, dan lakukanlah yang terbaik semaksimal kita bisa. Kalau sudah mentok, dan itu adalah hal terbaik yang bisa diberikan...ya sudah, disitulah tempat kompromi dibuat.
Saya juga bukan ibu yang sempurna (bahkan mungkin masih jauh dari sempurna), hanya saja saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk belajar menjadi ibu yang lebih baik lagi dari sekarang, dan bahwa waktu / moment bersama Pio dan Deo tidak akan pernah bisa saya putar ulang..

Sabagai penutup saya akan meng-share pengalaman  ketika menggantikan dokter spesialis anak yang sedang cuti, dan bertatap muka dengan ibu yang datang untuk memeriksakan anaknya. Kondisi  ini cukup ekstrem menurut saya (dan beneran terjadi, suer!!)  :

Saya (S) : Ada apa bu, anaknya kenapa?
Ibu (I)    : batuk dok, sama panas
S  : sudah mulai kapan bu, ada riaknya? grok-grok?
I   : ..(menoleh ke pembantunya /ART  yang sedang menggendong si anak)..mulai kapan ya mbok? grok-grok?
S  :  (dalam hati) lho?
Sang ART  memberikan jawaban cerita panjang lebar tentang batuk si anak
S  : Kalau panasnya bagaimana? mulai kapan, sampai berapa ..bla..bla..
I   : (menoleh lagi kepada ART-nya) ..panasnya yak apa mbok, kemarin di-tem berapa ya?
S  : (dalam hati lagi) astaga ini yang jadi orang tuanya siapa.....
ART memberikan jawaban dengan gamblang nya
S : sudah diberi obat apa?
 Karena sang ibu menoleh lagi kepada ART-nya, dan saya juga tidak membutuhkan penerjemah, saya memutuskan untuk pertanyaan selanjutnya langsung saya tujukan kepada sang ART.
**mengelus dada**

2 komentar:

  1. Hai mbak Ika, aku juga lagi mulai MPASI buat Neno. Tantangan besar ya. Selain nyiapin makanannya, nyuapinnya juga musti super kreatif dan sabar. Salah satu tips yang aku baca, pake jari ibu sebagai sendok. Ternyata abener lo. Anakku lahap banget. Setelah itu, baru muali belajar disuapin pakai sendok. Praktiknya tidak semudah teori ya.
    Btw, mb Ika ini yang pernah les EKG di dr. Lina Surabaya, bukan ya?

    Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, salam kenal...
      Iya, kalau berhubungan dengan makanan anak sudah banyak sekali teori dan tips. Tetapi penerapannya, masih harus disesuaikan dengan kondisi anak masing-masing.
      Hehehe, saya tidak pernah ikut pelatihan ECG di Surabaya, tapi ika juga bukan nama yang jarang dipakai :)

      Hapus