Jumat, 30 Oktober 2015

Mau sekolah lagi?

Sebagai seorang GP (Indonesianya = dokter umum), pertanyaan yang sering dilontarkan kepada saya adalah : Tidak sekolah lagi ambil spesialis kah? dalam berbagai macam versi dan variasi susunan kata.

Duluuuu sekali ketika saya masih kuliah, saya dan beberapa teman kelompok belajar saya pernah bicara-bicara menghayal jika sudah lulus GP kami bakal meneruskan sekolah spesialis apa ya? Dan saya juga masih ingat kala itu saya selalu menjawab bahwa saya akan melanjutkan ke PK. Alasannya simpel : biaya sekolah PK masih termasuk yang paling murah saat itu (entah kondisi sekarang saya tidak tahu).
Pun ketika saya wawancara sebagai bagian dari proses rekrutmen karyawan tempat saya bekerja sampai sekarang,... pertanyaan yang sama juga terlontar. Jawaban saya masih tetap sama : PK ...

Tahun demi tahun berlalu, saya menikah kemudian mempunyai 2 orang anak. Pertanyaan " Tidak ambil spesialis?" masih tetap sering terlontar kepada saya. Hanya, jawaban saya sudah berubah (entah sampai kapan) : Nggak (dan biasanya sambil senyum simpul) hehehehe

Entah apa, bagaimana, dan kapan "sesuatu" telah mengubah cara pandang saya tentang persoalan sekolah lagi ini. Hal yang dulu merupakan persoalan penting bagi saya, kali ini telah kehilangan daya tariknya. Jujur saja ada banyak hal berputar-putar ruwet di dalam kepala, memunculkan berbagai pertimbangan yang akhirnya membuat saya mengambil keputusan "tidak"  lanjut ambil spesialis.
Kelak, jika Pio dan Deo telah dewasa mungkin mereka juga akan mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya. Apalagi di masa itu, teman-teman seangkatan saya tentunya telah banyak yang menjadi dokter spesialis konsultan hebat, guru besar atau profesor....

Dari sudut pandang pribadi,  inilah pertimbangan saya untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis :
Klise pertama : anak.
Apabila saya sekolah spesialis, akan ada banyak waktu bersama kedua jagoan kecil saya yang akan hilang baik siang ataupun malam hari mengingat dalam rangka pendidikan, seorang residen akan mendapatkan jadwal jaga malam hari yang bersambung dengan waktu pendidikan pagi-siang.. Suami sendiri awalnya nggak masalah dan menyediakan diri untuk menjaga anak-anak jika saya memutuskan sekolah lagi.
Entah kenapa saya tidak sanggup. Bukan berarti tidak mampu "sengsara" karena harus double job antara mengurus rumah tangga dan menyelesaikan bejibun tanggung jawab sebagai seorang peserta didik dokter spesialis, tetapi lebih kepada saya tidak sampai hati untuk melakukannya. Kalau soal bekerja dan capek, (bukannya sombong)...kondisi telah menempa saya untuk terbiasa dengan kehidupan yang cukup keras. 
Saya tidak sampai hati meninggalkan kedua anak saya, kehilangan lebih banyak waktu lagi bersama mereka. Apalagi hanya ada saya dan suami di rumah, tanpa orang tua ataupun saudara yang dapat membantu mengawasi krucils.
Saya tidak sampai hati untuk meminta pengorbanan lebih banyak lagi dari suami. Demi kedua buah hati kami, suami sudah banyak mengalah kepada saya. Untuk memastikan Pio dan Deo tetap terawasi minimal oleh salah seorang orang tuanya dan tidak full lepas ke tangan orang yang tidak benar-benar kami kenal, suami telah banyak mengubah jadwal kerjanya, bernegosiasi dengan pelanggannya untuk dapat menemui mereka sambil membawa anak (walau ada ART yang mengikuti), survey lokasi dan hunting barang sambil menggendong Deo, juga berkali-kali harus menyusun ulang jadwal sambil meminta maaf karena harus membatalkan janji ketemu oleh karena saya musti lembur atau dapat tugas ke luar kota.

Klise kedua : biaya
Sudah bukan rahasia lagi bahwa biaya pendidikan dokter spesialis pasti cukup besar, dengan lama pendidikan paling cepat 3-3,5 tahun..ditambah lagi selama masa pendidikan saya tidak dapat bekerja. Terjemahan kasar dan sempit  dari sisi saya adalah : pengeluaran besar tanpa ada sumbangan penghasilan sama sekali (hufffgh--murni nodong suami)
Pikir-pikir kok berat ya,...uang sebesar itu jika diinvestasikan dan dipakai sebagai tambahan modal kerja 3 tahun ke depan pasti hasilnya sudah dapat dipetik, diputar lagi ..berkembang, putar lagi de es te...
Saya memikirkan kebutuhan biaya pendidikan Pio dan Deo di masa yang akan datang pasti akan besar, apalagi kalau si kakak tetap dengan cita-citanya sekarang : Paris..
Tidakkah akan lebih baik jika kami memiliki dana yang cukup, dana tersebut kami gunakan untuk persiapan pendidikan anak-anak? Siapa yang dapat menerka masa depan akan bagaimana?

Alasan ketiga : ??
Yang ini benar-benar kusut masai, sehingga saya juga tidak mampu memberi kepala judul :(
Apa sih sebenarnya yang saya kejar, yang menyebabkan saya mau tidak mau harus menjadi dokter spesialis?
Pertanyaan sebaliknya jika saya tetap sebagai GP,  memangnya apa yang akan saya alami di  masa mendatang? Apakah dampak negatifnya akan sedemikian besar mempengaruhi masa depan saya?
Kaaaaannn? Bingung deh.....

Yang saya ketahui, keinginan terbesar saya saat ini adalah melihat Pio dan Deo dapat mencapai cita-citanya, mampu hidup bahagia lahir dan batin. Lalu, apakah harus dengan menjadi dokter spesialis? Mungkin iya mungkin juga tidak.

Apakah soal pengembangan ilmu? Sepertinya tidak, karena sebagai GP ada jalur pengembangan ilmunya.

Apakah soal aktualisasi diri dan pengembangan karir? Heeh... apakah masih kurang semua yang telah saya capai selama ini?  Saya merasa tidak mempunyai target yang terlalu muluk lagi, dan dari jaman dahulu kala memang tidak pernah bernafsu mengejar jabatan , pangkat , kedudukan , atau apalah istilahnya. Tetaplah target kerja ada, tetapi hanya sebatas saya ingin mempunyai hasil kerja yang baik, apa yang saya lakukan dan saya hasilkan tidak mengecewakan banyak orang...intinya adalah menyelesaikan apa yang menjadi tugas saya sebaik mungkin.

Apakah soal uang? Meningkatkan penghasilan?
Sejak saya lulus sampai detik ini saya belum pernah membuka praktek dokter mandiri, lalu setelah saya menyandang gelar spesialis apakah saya akan tetap begini atau buka praktek?
Bukannya sok tidak butuh uang, tapi saya juga tidak ingin dipanggil "tante" oleh anak saya (lebay) karena saya pulang dari rumah sakit sampai rumah rata-rata jam 4-5 sore, kalau masih buka praktek pastinya datang, mandi, berangkat lagi, pulang malam pas mereka sudah lelap. Belum faktor suami, kapan dia punya waktu free ngurus kerjaannya?
Praktek di rumah donk jadi nggak perlu meninggalkan anak, disambi. Untuk hal ini saya tidak mau, prinsip saya adalah saya tidak ingin mendatangkan berbagai macam kuman dan penyakit ke rumah tempat di mana anak dan keluarga saya tinggal. No way!!

Soal penghasilan tambahan, saya berpikir bisa memperolehnya dari usaha lain yang bisa dikembangkan dan dilakukan tanpa menyita terlalu banyak tenaga dan waktu. Mungkin untuk awal merintis pengorbanan waktu, tenaga, biaya pastinya ada. Tetapi jika sudah berjalan, usaha dikerjakan oleh karyawan, kami tinggal mengkonsep, melakukan nego, dan kontrol ( contohnya : join urun pendapat dan mikir pengembangan usaha suami saja .. hehehehe )
Kalau praktek dokter, semakin ramai penghasilan akan semakin besar, tetapi pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran akan berjalan sebanding. Praktek dokter mandiri bukan pekerjaan yang bisa didelegasikan kepada orang lain.

Dengan segala keruwetan pemikiran di atas (atau jangan-jangan saya saja yang terlalu mbulet mikirnya?#!), saya benar-benar salut  dengan teman-teman yang telah menyelesaikan perjuangan dan sekarang sudah menyandang gelar Sp. Sukses untuk kalian semua ya...

Oke lah sudah, saya mantap untuk tidak lanjut spesialis.

Selesai masalah? Oh, no... dalam dua tahun terakhir ini, direktur tempat saya bekerja sering meminta saya untuk melanjutkan pendidikan (OMG). Saya diminta memikirkan apakah saya akan ambil spesialis PK atau S2 manajemen rumah sakit....

Dan inilah jawaban saya kala itu :
Seandainya boleh tidak sekolah, saya memilih untuk  tidak sekolah.
Tetapi jika memang diharuskan, saya lebih memilih untuk mengambil S2.

Saat ini saya sudah dicemplungkan di dunia manajemen, jadi kalau mau serius ya ayo sekalian basah. Bagi saya tidak masalah ditempatkan di bidang apa saja, toh masing-masing akan mempunyai masalah sendiri.
Masa pendidikan S2 lebih singkat daripada spesialis yaitu hanya 2 tahun sehingga beban biaya yang harus saya dan suami tanggung pasti akan lebih kecil. Saya memang belum tahu persis berapa sih kebutuhan financial yang riil, tetapi andaikata sama pun dengan besaran SPP spesialis, paling tidak fator pengalinya akan lebih kecil (masa studi lebih singkat).
Rumah sakit tidak mungkin membiayai full pendidikan lanjutan ini, yang bisa diberikan adalah bantuan pendidikan yang nominalnya mungkin hampir tidak berarti untuk jenjang S2 dan spesialis.
S2  waktu kuliahnya lebih flexibel, yaitu Jumat dan Sabtu, sehingga saya masih tetap bisa berkerja walau harus mengganti jam yang saya pakai untuk menghilang dari rumah sakit.
S2 tidak ada jaga malamnya, sehingga tidak nemen-nemen lah meninggalkan anak.

So? Kita lihat saja.................................

**Hidup adalah sebuah pilihan, dan setiap pilihan mempunyai konsekuensinya sendiri-sendiri**



1 komentar:

  1. It's ok. You know what is right for you. Coz nobody can walk in your shoes. Ciayo!!!

    BalasHapus