Jumat, 05 Juni 2015

Home Sweet Home

Memiliki sebuah rumah pastilah impian semua keluarga, termasuk kami berdua. Demi mendapatkan rumah ini pula, kami sepakat untuk menunda rencana pernikahan selama satu tahun dan memutuskan untuk membeli rumah dulu (atau kalaupun dananya tidak mencukupi minimal tanahnya dulu)

Keinginan kami saat itu adalah memiliki rumah dengan luas tanah paling tidak 100 meter persegi. Tidak berani memimpikan tanah yang lebih luas lagi karena sadar akan kemampuan financial diri sendiri. Prinsip kami adalah kami akan berusaha memiliki rumah dengan keringat kami, apapun bentuknya nanti. Kami tidak akan meminta bantuan dana dari orang tua, sudah cukup mereka membekali kami dengan pendidikan. Jikapun orang tua masih memiliki simpanan dana, biarlah digunakan untuk menikmati hari tua. Kami berdua masih sehat, masih muda dan kuat, diberi badan utuh dengan seluruh anggota tubuh yang  berfungsi  baik, jadi  tidak pantas dan harus malu  jika masih menadahkan tangan pada orang tua yang sudah banting tulang menyekolahkan kami sampai lulus. Kalau kami tidak bisa langsung sampai di atas, kami masih sanggup untuk merangkak dari bawah.

Berburu rumah dengan modal dana pas-pas-an juga tidak mudah. Kalau tidak salah ingat, tabungan kami berdua di tahun 2006  ada di nominal 11 juta-an. Tidak banyak untuk ukuran cukup buat beli rumah. Keliling ke semua area di kota Malang untuk melihat-lihat lokasi, mengunjungi setiap pameran property, dan juga mengoleksi segunung brosur  rumah. Banding-banding, menelepon setiap ada tulisan rumah dijual yang kami suka, sampai tanya-tanya bank bagaimana kami bisa mengajukan KPR. Setelah umek mencari selama beberapa waktu, tersisa beberapa kandidat rumah yang kami incar, salah satunya rumah yang kami tempati sampai saat ini.

Kami berdua memang memilih rumah di perumahan dengan pertimbangan kemudahan jika nanti mencoba mengajukan KPR, bukan perumahan elit tentu karena dana belum ada. Rumah kami sekarang dulunya adalah rumah type 36 dengan kondisi hancur. Rupanya lama tidak ditempati. Sudah ada pagar tembok keliling, tetapi gerbangnya sudah roboh. Rumput dan tanaman beledu berduri tumbuh lebat sampai ke atap dan menutupi penampakan rumah. Jangan ditanya bagaimana kondisi bangunannya. Tembok batu bata masih utuh, tetapi yang namanya kusen dan pintu sudah habis diserbu rayap, keramik lantai banyak yang pecah. Secara fisik, sama sekali tidak menarik. Yang kami suka adalah tanahnya yang cukup luas... 176 meter persegi, jauh di atas angan-angan kami dan harga tidak mahal-mahal banget karena kondisi rumah yang tidak layak huni.

Rumah ini dibuka dengan harga 120jt nego tipis. Pikir-pikir lagi... duit kami jauuuh dari cukup..mana untuk pengajuan KPR kayaknya hampir mustahil bisa mengcover kebutuhan pembelian rumah berhubung suami masih merintis usaha, sedangkan saya baru lulus, dan masih berstatus pegawai klinik. Sambil tetap jalan negosiasi, berusaha mencari alternatif  rumah  dan sumber dana lain. Sudah tidak nemu rumah lain yang cocok  (luas tanah plus harganya), kami mulai serius mengejar rumah rusak satu ini. Deal harga 100 juta pajak tanggung sendiri-sendiri. Di sini lah 2 keajaiban terjadi. Pertama, selang beberapa hari setelah deal harga, suami ditelepon oleh pemilik rumah, ditanya apakah tidak mau menawar lagi....Aneh! Akhirnya harga  turun lagi sampai ke 97 juta, lumayan 3 juta bisa buat bayar pajak. Plus kami diijinkan untuk memberi DP 5 juta dan minta tenggat waktu pelunasan 3 bulan lagi dengan alasan jatuh tempo pencairan deposito ( guaya pol, padahal aslinya : mau cari duit dulu).
Keajaiban kedua baru kami ketahui setelah rumah resmi menjadi milik kami. Saat bersih-bersih ada bapak-bapak yang datang menghampiri, bertanya apakah rumah ini sudah kami beli. Dari obrolan suami dengan bapak ini, rupanya beliau juga terlibat negosiasi dengan pemilik rumah. Sama-sama deal harga 100 juta, akan dibayar tunai 75 juta, sisanya minta waktu 1-2 bulan untuk mengurus KPR guna melunasi sisa 25 juta..dan ditolak. Sampai saat ini pun saya dan suami selalu terheran-heran bagaimana dua hal tersebut bisa terjadi.. Nggak bisa diomong, mungkin rumah ini memang sudah jodoh kami .....

Lalu bagaimana ceritanya kami mendapatkan dana untuk melunasi pembelian rumah? Berjuang ! Berusaha mencari celah apapun yang bisa dimasuki.  Cukup banyak  Bank yang kami jajagi dan hasilnya tidak ada yang bisa menurunkan dana dalam jumlah cukup untuk menutup seluruh kebutuhan pembiayaan rumah (plus biaya notaris dan administrasi lain-lain). Bantuan Tuhan datang melalui seorang rekan suami yang bersedia membantu kami meminjamkan dana tunai sebanyak yang kami butuhkan untuk melunasi pembelian rumah dan tanpa jaminan (jadi sertifikat rumah tetap kami pegang), walupun tetap dikenakan bunga pinjaman. Selain itu, banyak pintu rejeki dibuka sehingga tanpa kami sadari dalam tempo 3 bulan tabungan kami dapat meningkat dari saldo akhir 6 juta (setelah terpotong pemberian DP rumah) menjadi hampir 5x nya walau saat itu suami harus berangkat kerja subuh pulang malam serta menempuh jarak Jakarta - Malang demi mengejar saldo tabungan (maklum, saat itu saya masih karyawan klinik dan masih keluar biaya untuk kost hehehe, jadi sumbangsih tabungan terbesar untuk beli rumah berasal dari keringat suami).

Singkat cerita, kami akhirnya memiliki rumah. Biarpun jelek, kecil, dan kondisi bangunannya hancur, rasa hati ini senang sekali..Rumah kami sendiri, dengan keringat sendiri... wow...
Renovasi rumah kami lakukan bertahap, yang penting saat kami menikah rumah sudah dalam kondisi tertutup bisa ditempati. Gerbang rumah ternyata masih ada tertimbun rumput, tinggal memperbaiki rel-nya. Untuk kusen pintu dan jendela kami mencari kusen jati bekas (biar lebih kuat dan murah). Pintu yang diganti pintu keluar saja, untuk pintu kamar ditutup kain sudah cukup lah buat sementara. Menjelang menikah, kami menambahkan 1 ruang extra  di belakang, dan sampai hari H pernikahan wujud ruang tambahan tersebut masih batu bata berdiri tanpa peluran, lantai semen kasar, dan tanpa plafon. Yang penting sudah tertutup, lumayan bisa digunakan untuk menyimpan barang serta lemari.

Renovasi rumah yang cukup besar terjadi menjelang saya hamil Pio. Saat itu salah seorang rekan suami mendorong kami untuk segera membereskan rumah (ganti keramik dan menambah ruang). Keramik disuruh ngambil ke gudang miliknya, bahan bangunan ada referensi toko yang ternyata kenalan suami juga, sehingga baik keramik maupun material lainnya kami tinggal ambil, perkara bayar terserah sepunya-nya. PR kami saat itu hanyalah mencukupi kebutuhan pembayaran ongkos tukang. Hasilnya, saat Pio lahir kondisi rumah sudah lapang dan bersih.  Perbaikan-perbaikan selanjutnya tetap berlanjut, tapi dalam skala kecil sehingga tidak terasa saat ini rumah kami bisa dikatakan full bangunan.

Perjuangan saat itu untuk memiliki rumah merupakan pengalaman yang sangat berharga, dan kami bangga dengan hasilnya. Rumah yang kami peroleh dengan susah payah, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar uang muka, melunasi cicilan, dan sedikit demi sedikit memperbaiki rumah. Rumah kami bukan rumah bertingkat, tidak terletak di kawasan hunian elit, namun bagi kami rumah ini mendatangkan aliran rejeki tersendiri, serta merupakan "monumen" bahwa kami dianugerahi kesempatan dan kemampuan untuk memperjuangkan rumah tinggal (murni dengan keringat kami berdua)....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar