Selasa, 16 Juni 2015

Fresh Fish

Karena Pio dan Deo memiliki garis alergi dari orangtuanya, kami sangat memperhatikan tahapan pengenalan bahan makanan kepada mereka berdua, termasuk berusaha mendapatkan bahan-bahan yang sesegar mungkin terutama saat pertama pengenalan protein. Untuk telur ayam kampung kami membeli dari orang (di daerah Dau) yang memelihara ayam sendiri, untuk daging sapi dan ikan laut (saking niatnya) suami rmbelani ke pasar induk gadang  tengah malam dini hari untuk mencegat sapi yang baru potong dan ikan laut yang baru turun dari truk. Untuk ikan air tawar kami membeli ikan yang masih hidup di sungai di dekat bendungan Sengguruh (Kepanjen terus ke arah Pagak, kurang lebih 1,5 jam perjalanan  mobil dari Malang kota). Semuanya kami lakukan demi mendapatkan bahan-bahan yang paling segar dan paling minim tercemar bahan-bahan kimia semaksimal yang bisa kami lakukan. Sekarang, ketika Pio dan Deo telah lolos uji coba makanan, alias tidak timbul tanda alergi kami sudah longgar mengenai ritual pembelian bahan makanan, kecuali ikan tawar dan telur ayam kampung. Kalau telur ayam kampung karena Pio dan Deo menjadi tidak terlalu suka dengan telur ayam negeri (tetapi kami sudah bisa menitipkan telur ayam kampung ini kepada mlijo langganan untuk dicarikan), sedangkan untuk ikan air tawar kami memang masih mengusahakan ikan segar untuk mereka berdua.

Karena jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah, kami memang harus menyediakan waktu ekstra saat hari libur atau sore sepulang saya kerja langsung berangkat dari rumah sakit. Mungkin jika dilihat dari kaca mata orang lain kami lebay banget ya...sampai segitunya hanya untuk membeli ikan yang bisa dibeli di pasar dekat rumah atau mlijo. Tetapi semua waktu dan tenaga yang kami keluarkan untuk membeli ikan di Sengguruh ini akan terbayar saat melihat Pio dan Deo sangat lahap menyantap ikan yang kami beli. Karena masih segar, daging ikan terasa manis, tidak amis, dan lembut. Tekstur, rasa, dan bau ini  akan terasa berbeda ketika ikan sudah masuk freezer,  sudah tidak seenak hari pertama.

Kalau dihitung-hitung sudah 7 tahun ini kami mondar-mandir ke Sengguruh untuk membeli ikan. Mulai dari belum ada apa-apa di sana, sampai sekarang sudah berdiri tanggul yang memakan sebagian "kebun mahoni".  Tidak mengherankan jika suami sudah sangat dikenal diantara bapak ibu penjual ikan, mengingat kami selalu memilih ikan dengan ukuran jumbo supaya mudah untuk menyuap anak kecil, dan nilai pembelian yang cukup banyak. Rata-rata jika kami membeli ikan, nominalnya sering-sering di atas 200rb. Dapatnya? Buanyaaak banget. Ikan-ikan itu tidak kami konsumsi sendiri, melainkan juga kami bagi dengan tukang, tetangga, atau teman sekantor saya. Filosofi suami dengan nominal yang tidak terlalu besar semua orang senang : yang jual senang ikannya habis diborong, mereka yang kebagian juga senang bisa makan ikan fresh, Pio dan Deo pun makan dengan lahap.
Sangking akrabnya dengan orang-orang Sengguruh, suami sampai bisa membawa pulang satu dayung milik salah seorang penangkap ikan  sebagai kenang-kenangan.

Pio memegang dayung kenang-kenangan dari bapak penangkap ikan Sengguruh

Sampai kapan kami akan seperti ini, membeli ikan air tawar di Sengguruh? Entahlah kami sendiri juga tidak tahu.. Sampai kami tidak sanggup lagi menyediakan waktu dan tenaga ekstra ke sana? Sampai Pio dan Deo bosan dengan ikan? Atau mungkin sampai ikan di sungai sekitar bendungan Sengguruh habis (hadooh...berlebih dah..)? Kita lihat saja nanti......

Ini foto lokasi kami membeli ikan di Sengguruh, sekitar bulan Mei 2015 dan sungai dalam kondisi penuh airnya. Karena berangkat sepulang saya dari rumah sakit, tiba di lokasi sudah sore. Suasana sudah sepi hanya ada satu dua orang yang mencari ikan, sayang saya tidak bisa mendekat ke bibir sungai karena Deo lagi tidur nyenyak di mobil.

Papa sedang menunggu ikan dinaikkan

Sinar Matahari....

Senja di tepi sungai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar