Jumat, 28 Agustus 2015

Masa Kuliah

Perjalanan hidup saya di Malang dimulai saat saya membuka koran mencari pengumuman hasil tes UMPTN. Yang pertama kali dicari tentu ada atau tidak  saya dalam daftar nama peserta yang diterima di perguruan tinggi negeri. Sebagai anak pertama dari seorang ibu single parent, tentu bisa diterima di perguruan tinggi negeri adalah hal yang "mutlak"  harus saya usahakan jika masih ingin kuliah. Jauh hari sebelum waktu kelulusan SMU, mama saya sudah berkata dengan jelas bahwa beliau tidak akan sanggup membiayai saya jika kuliah di perguruan tinggi swasta berhubung gaji sebagai seorang guru smu kejuruan  saat itu pasti sangat pas-pasan untuk membiayai hidup dan pendidikan 3 orang anak (apalagi saya adalah anak pertama). Oleh karena itu, di saat teman-teman SMU saya berlomba-lomba mendaftar jalur prestasi perguruan tinggi swasta, saya hanya bisa menonton saja. Lama-lama gelisah juga, bagaimana jika ternyata saya tidak lulus UMPTN? Cari-mencari akhirnya ketemulah pengumuman pendaftaran STAN, dan berbeasiswa walau nanti ada ikatan dinasnya. Oke  saya coba untuk ikut tes-nya, dan ternyata tidak lulus. Sempat down juga, saya tidak berhasil di  tes masuk STAN apakah saya bisa menembus UMPTN? Tidak menemukan jalan keluar, ya sudah pasrah saja sambil belajar.

Jadi bisa dibayangkan betapa leganya saya saat menemukan nama saya termasuk mereka yang lolos UMPTN. Baru setelah itu saya melirik dimanakah saya bakal kuliah. Yah, begitulah ternyata saya diterima di FK Unibraw Malang. Lega? Pasti iya karena ternyata saya masih bisa kuliah. Tapi takut!! Lho kenapa? Jujur saja kedokteran bukan pilihan saya. Itu adalah harapan dari mama, dan karena perhitungan saya waktu itu bakal sulit menembus kedokteran maka saya oke-oke saja meletakkan fk sebagai pilihan pertama. Sebenarnya sasaran awal saya adalah pertanian. Pertimbangannya dunia itu bukan dunia asing bagi kami karena bidang orang tua adalah pertanian, juga karena dulunya sebelum meninggal papa adalah dosen, maka buku-buku pertanian dan statistik tersedia melimpah ruah di rumah. Pikiran saya, bisa hemat uang tidak perlu beli text book terlalu banyak. Bagaimana tidak takut mau sekolah di fk berhubung setiap kali melihat darah saya selalu jatuh pingsan?

Hidup tetap harus jalan, takut atau tidak saya tetap harus sekolah. Pingsan urusan belakang dah...
Kos pertama saya persis di perempatan jalan Veteran - Sutami, turun di bawah tanah. Satu kamar kos diisi dua orang, 1 lemari triplek dipakai bersama, dan masing-masing mendapatkan dipan single kasur kapuk dengan 1 bantal dan 1 meja kursi. Singkatnya kamar kos saya yang pertama dalah kamar kos sangat sederhana. Tidak ada dapur, tidak ada tempat jemuran, tidak ada tempat cuci-cuci (apalagi mesin cuci), hanya ada 2 kamar mandi yang lokasinya campur jadi satu dengan gudang. Saya lupa berapa harga kamarnya, tetapi itulah kamar paling lumayan yang bisa saya dan mama temukan dengan harga yang masih terjangkau.

Ketika melalui masa Ospek (ini nih yang menyebabkan saya setuju perploncoan dihapuskan), ada satu orang tua teman yang tidak tega saya kepontalan mencari berbagai benda aneh dalam kondisi sendiri dan buta kota Malang. Saya dijemput ke tempat kos dan diboyong ke rumahnya. Selamatlah saya terbantukan mencari dan mengerjakan berbagai tugas aneh khas ploncoan.

Ketakutan terpendam saya akhirnya mau tidak mau terjadi juga. Perjumpaan pertama saya dengan darah adalah saat praktikum patologi klinik di mana kami harus saling mengambil darah teman sebagai bahan praktikum. Asli semalaman saya tidak bisa tidur, takut membayangkan bagaimana besok saya bakal jatuh pingsan di tengah praktikum.
Kalau tidak salah ingat kami dibagi menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 2 (atau 3 orang ya? Lupa). Kok ya apes saya kebagian tugas mengambil darah, padahal kalau bisa saya lebih memilih jadi yang diambil saja (kan bisa duduk dan  merem). Sambil berkeringat dingin saya berdoa supaya tidak pingsan (apa jadinya coba kalau saya pingsan saat menusukkan jarum atau saat menyedot sampel darah?). Dan saya terselamatkan oleh kebingungan karena pasangan saya justru duluan pusing hampir pingsan, juga kehebohan adanya teman lain yang beneran jatuh pingsan.  Dengan adanya keributan di kanan kiri, saya justru melupakan ketakutan saya sendiri ...

Stigma mahasiswa kedokteran biasanya identik dengan orang kutu buku. Mungkin saya pun juga begitu, tetapi kealiman saya  sedikit banyak juga disebabkan keterbatasan financial. Waktu itu kiriman dari mama berkisar di angka 200 ribu all in. Ya itulah biaya kuliah saya, biaya kos, dan juga biaya hidup sehari-hari. Untuk jaga-jaga biaya kuliah, saya mewajibkan diri entah bagaimana caranya harus bisa menyisihkan uang kiriman. Mungkin di mata teman-teman saat itu saya benar-benar sosok yang aliiiim pol. Soalnya saya lebih memilih perpustakaan daripada kantin kampus jika ada waktu kosong. Kalau ikut nongkrong di kantin kampus, sering kali saya hanya pesan minum saja (kan ada makanan di kos yang saya masak pagi-pagi gelap?). Pernah sih sekali sekali pesan makan juga apalagi jika ada rencana kegiatan yang lanjut sampai sore. Saya juga akan lebih memilih pulang ke kos daripada ikut jalan-jalan. Yang ada di dalam otak saya : jajan / jalan-jalan = pengeluaran ekstra.  Untuk memonitor keluar masuknya uang (lebih banyak keluarnya sih), semua pengeluaran saya tercatat detail di buku khusus. Sekecil apapun nilai rupiah yang saya belanjakan pasti ada catatannya.

Pada akhir tahun pertama, salah seorang kakak kelas saya mengajak pindah kos ke tempat yang juga tidak mahal tetapi jauh lebih bersih dan layak. Jadilah saya pindahan dari kos lama ke asrama mahasiswi milik Keuskupan Malang. Dan yang terjadi adalah saya memboyong semua barang tetek bengek kehidupan plus buku-buku saya kardus demi kardus dengan berjalan kaki dari perempatan Bendungan Sutami  ke jalan Pandeglang dekat Taman Makam Pahlawan. Setelah semua selesai dan saya sudah pindahan total, teman-teman pada bertanya tentang proses migrasi  saya...dan semuanya pada ngomel kenapa saya tidak minta tolong mereka untuk membantu pindahan...

Sehari-hari saya bangun jam empat pagi, memasak nasi sambil saya tinggal mandi, kemudian memasak makanan untuk 1 hari itu, berbelanja bahan  untuk dimasak besok pagi, sarapan, ganti baju, dan berangkat kuliah. Menu makanan saya selama kuliah yang pasti adalah nasi dan sayur. Untuk lauknya paling sering tahu tempe, sesekali telur, dan kalau pas kepingiiin makan ayam saya membeli ceker atau sayap untuk dimasak. Berangkat kuliah saya selalu berjalan kaki, pulangnya diantar oleh teman sampai di depan gerbang asrama.

Sebagaimana anak kuliah perantauan pada umumnya, saya paling menunggu datangnya waktu-waktu liburan panjang untuk pulang kampung. Walau urusan kampus baru kelar sore hari ya tetap langsung cabut ke terminal cari bus jurusan Jember. Oya, saat itu jika saya mencari bus selalu cari bus ekonomi , duduk dekat jendela yang saya biarkan terbuka. Alasannya, saya selalu mabuk kalau harus naik bus ber AC (sekarang sudah nggak lagi lho..). Hari-hari di rumah biasanya terasa ngebut, tahu-tahu masa liburan sudah berlalu dan harus kembali ke Malang lagi. Kalau sudah begini, rasanya malaaasss banget yang mau balik. Bekal yang sering dibawakan oleh mama saya saat kembali ke kehidupan anak kos adalah ayam goreng atau kering tempe.
Paling seneng kalau pas waktu balik ke Malang saya dapat barengan mobil gereja karena ada romo / bruder yang ada keperluan di Malang. Lumayan tidak perlu susah membawa tas besar berdesakan di bus atau angkutan kota (biasanya awal dan akhir masa liburan, bus dan angkutan kota selalu berebut dan berdesakan, serta tak jarang berdiri)

Selama kami masih menempuh perkuliahan di kampus sebelum fase dokter muda di rumah sakit, saya memiliki suatu kelompok belajar. Sering kami berkumpul untuk belajar bersama dan ini sangat membantu dalam mempelajari materi kuliah yang bejibun  banyaknya. Saat ini hampir seluruh anggota kelompok belajar saya sudah menjadi dokter spesialis. Yang masih menjadi GP hanya saya dan satu teman lagi..tapi teman saya yang satu ini sudah melang-lang buana keliling dunia. Sukses  untuk kalian semua ya guys ... Hal yang sama juga terjadi di kelompok kecil fase dokter muda. Dari empat orang, hanya saya yang masih GP. Tiga lainnya sudah menyandang gelar spesialis semua.

Selama kuliah, beberapa kali saya keluyuran bareng teman-teman  KBMK. Yang menjadi agenda rutin tahunan adalah kegiatan semacam retret untuk menyambut mahasiswa baru. Keseruan usaha mencari dana, menyiapkan acara dan lokasi, sampai asyiknya berkumpul bakar jagung malam-malam akan tetap menjadi kenangan manis tersendiri. Ada satu rekan kuliah di fk sering menjadi partner saya keluyuran mengikuti acara sosial entah unit universitas entah keuskupan. Yang paling saya ingat adalah dua kali saya diseret dalam acara muda mudi katolik katedral Malang : pengobatan masal di Blitar, dan yang paling seru adalah menyeberang ke pulau garam ikut serta bakti sosial bagi pengungsi kerusuhan Sampit. Yang tidak dinyana ternyata dokter rombongan kloter kami saat itu sekarang menjadi rekan kerja saya di rumah sakit (hehehe...dunia memang sempit).

Saya bersyukur saya dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu, dan apa yang saya alami selama itu telah banyak memberikan pelajaran hidup yang menempa saya untuk menjadi lebih dewasa. Suatu harta yang tak ternilai bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar