Jumat, 14 Agustus 2015

Persahabatan : Tiga sekawan Jember

Semasa SMU saya memiliki dua sahabat karib (Diah dan Patty) yang masih tetap berhubungan sampai dengan saat ini, dan itu berarti ikatan persahabatan kami telah berjalan lebih dari 15 tahun. Sebenarnya kami bertiga sudah menjadi teman satu sekolah sejak duduk di bangku SMP, hanya saja hubungan kami belum menyentuh relung hati yang dalam (aduuh..abaikan saja kalimat lebay ini)..

Memori tentang awal mula persahabatan kami bertiga sudah mulai kabur. Saya harus mengaduk-ngaduk kotak memori untuk menemukan kembali kenangan lama mengenai kapan dan bagaimana kami menjadi sahabat erat. Dengan lubang ingatan di sana sini, inilah yang berhasil saya ingat (mudah-mudahan tidak terlalu jauh melenceng), dan biarlah nantinya dikoreksi juga oleh Diah atau Patty sendiri.
Hubungan pertemanan saya dengan Patty dimulai sejak kelas 1 SMU. Saat itu saya, Patty, dan Richard (sekarang teman cowok kami itu kayaknya sudah menetap di benua kangguru) tergabung menjadi 1 kelompok kecil yang saya lupa buat apa. Kalau tidak salah kelompok untuk lomba mading (Pat,..benar nggak sich?). Karena mengerjakan proyek (yang tidak berhasil saya ingat dengan jelas) itulah saya mulai sering bertandang ke rumah Patty yang terletak di tepi jalan besar daerah Sumbersari, tidak terlalu jauh dari rumah saya. Semenjak saat itu saya dan Patty menjadi semakin akrab, sehingga kunjungan saya ke rumahnya tidak berhenti seiring berakhirnya proyek kecil kami. Kami masih sering berkumpul untuk belajar bersama, dan yang paling saya ingat adalah kami mengerjakan PR bahasa Inggris bersama (PR vocabnya bu Hedwig--Patty jagonya dah kalau soal cas cis cus in English). Tambahan lagi kami berdua biasanya jalan kaki bersama sepulang sekolah untuk mencegat angkutan kota, atau kadang ya bablas jalan sampai rumah masing-masing.

Naik kelas dua, saya dan Patty berpisah kelas tetapi hubungan kami tetap berjalan baik. Bahkan dialah yang berdiri di samping saya dan merangkulkan lengan kepada saya selama prosesi pemakaman Papa. Di kelas dua SMU ini saya mulai akrab dengan Diah karena kami sama-sama mengikuti lomba karya tulis ilmiah (LKTI) dan bersama-sama berangkat ke Surabaya untuk mempresentasikan karya tulis kami (tapi saya dan Diah berbeda kelompok). O ya saya, Patty, dan Diah juga sama-sama tergabung dalam kelompok paduan suara sekolah.

Nah, baru di  kelas tiga SMU  kami bertiga bersatu. Penyebabnya adalah lomba karya tulis (again). Kali ini saya dan Patty satu kelompok, sedangkan Diah di kelompok lain. Keikutsertaan kami di lomba ini menyebabkan kami bertiga sering bertemu dan bergadang bersama di sekolah. Saya dan Patty mengambil topik tentang tembakau sebagai tema, dan dengan polosnya nekat menerobos rektorat Universitas Jember untuk meminta bertemu langsung dengan rektor UNEJ. Alasan  kami melakukannya karena beliau adalah salah seorang penulis buku tentang tembakau, jadi kami berharap dapat mendapat sedikit bahan / ilmu tentang tembakau sebagai bahan karya tulis kami. Dasar dewi fortuna sedang berpihak kepada kami, rektor UNEJ pada saat itu bersedia menerima kami (padahal pihak sekolah sudah menasihati kami agar tidak terlalu banyak berharap), memberi kami beberapa buku tentang tembakau, dan (ini yang luar biasa) memberi kami salah seorang staf ahli nya untuk menjadi pembimbing kami. Apes bagi saya ternyata pembimbing kami dari universitas ternyata adalah rekan papa saya, dan beliau otomatis mengenali saya. Tentu saja kenal, karena om Martinuslah yang sering berkunjung ke rumah  dan mensupport kami setelah meninggalnya papa. Tapi efek positifnya saya tidak perlu penyesuaian lagi dan tidak perlu sungkan-sungkan untuk "merepotkannya" menyisihkan waktu membimbing anak SMU yang mau ikut lomba.  Jadi, saya dan Patty selalu mondar-mandir antara sekolah - UNEJ dalam mengkonsulkan karya tulis kami.
Singkat cerita setelah berkali-kali bermalam di sekolah serta merongrong om Martinus sampai hari gelap di kantornya, kelompok saya dan juga kelompok Diah maju ke final di Surabaya. Nah keberangkatan kami ke Surabaya inilah yang menyatukan kami bertiga. Di Surabaya, Diah mengalami sedikit permasalahan dan banyak curhat kepada kami berdua (saya dan Patty maksudnya). Sepulang dari Surabaya kami juga menemani Diah menangis dan meluapkan perasaannya seusai misa hari Minggu pagi di teras pastoran.

Mulai saat itu saya, Diah dan Patty menjadi lebih sering bersama. Saling bermain bahkan menginap di salah satu rumah (tapi sepertinya yang paling sering ketiban sampur rumahku ya?). Saya masih ingat Patty sukaa sekali minum seduhan daun teh, sampai-sampai saya dan Diah (dengan sengaja) memindahkan daun-daun teh dari gelas kami ke gelas Patty. Kalau Diah mah nggak rewel, semua yang disuguhkan diterima tanpa komplain (hehehe). Malam-malam sesudah belajar, kami menggotong kasur ke ruang tamu, bergelung bertiga di sana sambil ngobrol cekikikan membicarakan banyak hal. Topik yang tidak ketinggalan tentu ramalan kehidupan kami masa depan kami sebagai cewek, contohnya siapa yang kira-kira bakal menikah lebih dulu, siapa yang bakal punya anak lebih dulu. Juga saya dan Diah selalu meributin Patty karena prinsip masa gadisnya : Ga mau melahirkan normal, sehingga besok kalau cari suami bakalan cari yang mau merestui dia operasi caesar (Haloo Arnold, dirimu sudah tahu hal ini belum ya?). Kamu ingat nggak Diah kalau kita berdua dulu pernah dimintain tolong salah seorang teman cowok untuk bantu nyomblangi dia sama Patty, tetapi sayangnya gagal total berhubung si cowok sudah menyerah duluan sebelum berjuang dengan "keras kepala nya" Patty.....

Hubungan kami bertiga akhirnya juga menyeret salah seorang guru SMU yang juga seorang bruder masuk dalam lingkaran persahabatan kami. Beliau sudah seperti kakak bagi kami, dan hubungan komunikasi saya dengannya masih terjalin hingga sekarang walau tidak se-intens seperti waktu saya masih menjadi warga Jember.
Ada satu komentar dari kepala sekolah kami saat SMU yang masih saya ingat sampai saat ini. Beliau berkata bahwa persahabatan kami bertiga akan buyar nanti saat kami masing-masing menikah atau kami bertiga akan bersuamikan satu orang yang sama, dan untungnya ramalan beliau tidak terjadi (Yeeee...Yippii ...Yippiii.....)

Lulus SMU, kami bertiga bersama-sama mengikuti program persiapan UMPT di Primagama (seumur hidup, baru kali itu saya ikut les pelajaran). Sebelum ke Primagama, biasanya kami berkumpul di rumahnya Patty dan berangkat bersama-sama. Kadang naik becak, kadang jalan kaki. Selesai les, tidak jarang jalur pulang kami melenceng arah ke rumah salah seorang guru SMU kami. Entah kenapa waktu itu kami hobby sekali bertamu ke rumah Pak Yoseph dan Bu Ima, tanpa berpikir apakah kemunculan kami yang lumayan kerap itu mengganggu atau tidak. Pulang les kepikiran pingin mampir ya langsung membelokkan langkah kaki. Mama saya sudah hafal kalau saya berangkat ke Primagama dan baru tiba di rumah setelah gelap, pasti saya lagi sambang ke rumah pak Yoseph.

Mendaftar UMPTN, mengembalikan berkas, survey tempat, sampai berangkat ujian kami juga bertiga. Berhubung saat itu saya adalah satu-satunya yang tidak bisa mengendarai sepeda motor, maka saya selalu menjadi pembonceng entah itu di sepeda Patty atau Diah. Tapi saat itu yang lebih tatag membonceng adalah Diah karena jam terbangnya yang sudah tinggi dalam hal bonceng-membonceng.
Suara sepeda motor Patty adalah yang paling nyaring (2 tak), sehingga saya selalu tahu jika dia datang berkunjung ke rumah. Belum lagi suaranya juga nggak kalah nyaring saat memanggil saya : Ikaaa atau malah mama saya : Tantee.... (hihihi peace Pat..). Yang paling kasihan tuh Diah, sudah suara sepeda motornya lebih teredam, Diah sering merasa sungkan (dan malu) untuk mengeluarkan suara panggilan setinggi 10 oktaf seperti Patty.  Sering-sering saya melihat Diah sudah bengong di depan pintu menunggu ditemukan (hehehe).

Sesaat sebelum pengumuman UMPTN, saya dan Diah pernah pergi ke Malang berdua saja (Patty ke mana ya waktu itu? Lupa). Menuju rumah tante saya sebagai jujugan, kami berdua pingin nginceng seperti apa sih rupa Universitas Brawijaya soalnya saya dan Diah punya pilihan di situ. Sama-sama buta arah dan hanya berbekal petuah dari tante saya mengenai angkutan apa saja yang harus kami naiki dari Blimbing ke Brawijaya, saya dan Diah sampai tersesat dua kali. Yang pertama sehabis menjelajah Unibraw dan ingin pulang, kami salah menaiki angkutan sehingga bukannya kembali ke Blimbing tetapi malah terbawa sampai terminal Landungsari. Kedua, patokan daerah Blimbing tempat rumah tante saya adalah jembatan penyebrangan. Dan secara naif, kami yakin sekali bahwa di kota Malang hanya ada satu jembatan penyeberangan sehingga akibatnya kami dengan PD menghentikan angkutan dan turun begitu melihat ada jembatan penyeberangan. Hasilnya : celingak-celinguk tidak kenal daerah, sadar kalau kami keliru memutuskan titik pemberhentian. Setelah bertanya sana sini dan jalan kaki lumayan gempor, akhirnya kami berhasil menemukan jembatan penyeberangan yang benar dan pulang dengan selamat (horee...nggak jadi hilang)..

Perpisahan kami benar-benar dimulai saat masa perkuliahan dimulai. Saya di Malang, Patty di Surabaya, dan Diah paling jauh sendiri di Jogja.  Putus hubungan? Tentu tidak. Walau masa itu belum ada WA dan BBM tetapi kantor pos masih buka dan berjaya. Saya paling sukaaa jika menerima surat entah itu dari mama, dari Patty, atau dari Diah. Kami kalau surat-suratan bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk meluapkan kerinduan dan berbagi cerita. Surat-surat itu saya kumpulkan dan saya urutkan sesuai tanggalnya, jika sewaktu-waktu saya kangen sama mereka saya tinggal membaca ulang kisah mereka di surat. Melalui kiriman tulisan tangan ini juga kami berbagi info mengenai jadwal libur semester dan janjian ketemu di Jember. Sebagai satu-satunya yang tidak punya telepon di rumah, saya selalu merajinkan diri menelepon rumah mereka. Kalau ternyata Diah atau Patty belum pulang kampung, papa-mama mereka lah yang saya rongrong dengan pertanyaan kapan kira-kira mereka tiba di Jember. Tapi juga tidak jarang jika Diah dan Patty libur lebih awal dari saya, tahu-tahu mereka berdua sudah muncul di depan pagar rumah.

Selain lewat telepon, kami bertiga mempunyai satu cara yang cukup efektif untuk bisa bertemu ketika libur semester : Misa pagi (harian). Setelah kelulusan SMU kami bertiga cukup rutin mengikuti misa pagi di gereja, selesainya bisa ngobrol dulu sebentar baru pulang ke rumah masing-masing (untuk saya kadang lanjut belanja dulu ke pasar Kepatihan). Kebiasaan tersebut tetap berlanjut saat liburan semester. Hal ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjamin hubungan kami tetap terjalin. Tinggal datang saja ke misa pagi, jika sahabat-sahabat saya sudah pulang ke Jember pasti akan bertemu. Rasanya hangat di dada jika saya merasa ada orang yang duduk di sebelah saya , kemudian ketika menoleh saya menemukan wajah mereka yang sedang nyengir ada di sisi saya.

Kami  pernah membeli  kaos kembaran, sama model  hanya berbeda warna. Rencananya sih mau dipakai bareng jika kami pulang ke Jember. Rencana tinggal rencana, setiap kali bertemu di Jember kok ya nggak pernah jangkep tiga kaos ini dibawa pulang..(nggak bakat mungkin ya?)

Dari kami bertiga, Diah yang pertama kali menikah. Jadi saya dan Patty menghadiri pernikahannya di Jember dengan status nona.

Saya baju hitam, Patty baju merah


Giliran kedua :  saya,  menikah di Malang. Diah sudah menggandeng belahan hatinya, sedangkan Patty masih single.

Diah di sebelah kanan  saya, dan  Patty sebelahnya Diah memakai baju merah


Ketika tiba saatnya Patty mengikat janji sehidup semati, saya dan Diah menghadiri pernikahannya di Surabaya  dengan diikuti seorang anak...

Saya paling kanan (longdress biru), Diah sebelah kanan Arnold (batik hitam).. Pio dan Fraya ditinggal di hotel :)


Sampai dengan saat ini, saya sudah pernah menginjakkan kaki di rumah kedua sahabat saya. Rumahnya Patty di Surabaya (sebelum dia pindah apartemen) dan rumah Diah di Karanganyar (sebelum Diah migrasi ke Jakarta). Patty juga sudah sampai ke rumah saya di Malang, tinggal menunggu Diah .....


**Peluk dan cium untuk kalian**

3 komentar:

  1. Awwwwwww...melting daku melting dehhhh baca post ini hiks hiks hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha...itu tadi testing comment soalnya daripada sdh ngetik panjang2 trus gagal ke-post (sering tjd krn pake hp) hihihi...
      Duh Ika aq kangen berat baca tulisanmu ini. Kangen sm kmu dan diah dan masa2 kita barengan dulu.... Kpn bs ketemu lg, sdh 4 thn lohhhh.... Untung skrg ada blog bs ngobati kangenku dgn baca cerita2mu... Diah tuh yg baru ngepost 1-2x sdh cuti... Aku lg libur nulis dulu Ka...sibuk berat + capek hiks...

      Hapus
    2. Eh masih punya foto kita bertiga di studio di jbr ? Ada di fb ku kalo gak salah... Bagus kalo ditambahin. Hebat kmu pny 3 foto merit kita :D

      Hapus