Selasa, 15 September 2015

Pantai Tamban dan Sendang Biru

Tidak salah jika Malang dijuluki sebagai kota seribu pantai karena banyaknya pantai yang bisa dijumpai di sepanjang pesisir selatan kabupaten Malang. Sebagai anak penggemar pantai, Pio sangat bersemangat mencari dan bertanya pantai mana lagi yang belum pernah dilihatnya. Ada beberapa pantai yang sudah kami pegang namanya tapi belum sempat didatangi seperti pantai Tamban dan Wonogoro. Sebenarnya masih banyak pilihan pantai lain tetapi target dalam waktu dekat mungkin itu dulu dengan mempertimbangkan kemudahan akses roda 4. Daripada terulang kejadian saat kami mengincar pantai Bantol sebagai tujuan wisata, dan terpaksa balik kucing di tengah jalan karena medan akses yang belum bersahabat untuk roda empat. Padahal di salah satu review (dan ini juga faktor pertimbangan kami untuk memasukkan pantai ini ke daftar target wisata alam kami) disebutkan bahwa akses jalan ke pantai Bantol sudah bagus untuk dilalui roda empat karena juga menjadi jalur truk. Kami pikir separah-parahnya paling tidak seperti jalan makadam ke Kondang Merak...ternyata jalur jalan lebih sempit (hanya cukup satu mobil), dengan jeglongan lumayan dalam di sisi kanan kiri (tempatnya ban) serta menggunduk tinggi  di tengah. Daripada mobil kami nyanggrok, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Pantai Tamban merupakan salah satu pantai di kompleks pantai Sumbermanjing Wetan. Untuk pantai  ini saya yakin kalau perkara jalan sih nggak masalah karena juga merupakan kampung nelayan, hanya yang saya ragu adalah kebersihan pantainya. Umumnya jumlah kunjungan wisatawan akan berbanding terbalik dengan tingkat kebersihan . Namun  hal  menarik bagi saya saat mencari informasi mengenai pantai ini adalah adanya kolam muara air tawar  yang bisa dipakai untuk berenang serta bermain air (mirip dengan Ungapan nih), yang oleh masyarakat sekitar disebut Kedung Ijo. Jadi akhirnya kami --saya dan Pio maksudnya-- memutuskan untuk menengok pantai Tamban, dengan membawa baju ganti dobel sehingga jika kami merasa tidak nyaman untuk bermain di pantai ini, kami bisa pindah ke tempat lain.

Jalan menuju pantai Tamban seperti dugaan mulus beraspal sampai titik tujuan. Begitu melewati gerbang tiket, sudah nampak suasana kampung nelayan yang penuh sesak, dan tampak perahu nelayan berjejer ditambatkan.

Perahu bersandar di Pantai Tamban
Tempat parkir tidak terlalu luas, dan ...juga tidak terlalu bersih..
Ada guk-guk nya juga lho walaupun sepertinya mereka sudah jinak sekali dengan orang.


Papa sudah kepingin cabut saja tetapi tidak bisa karena saya dan Pio berkeras mau turun dan lihat-lihat dulu. Iya dong, masak jauh-jauh datang ke Tamban saya tidak turun untuk mencari Kedung Ijo yang katanya bagus untuk main air.  Setelah saya dan Pio turun, ternyata papa sama Deo juga menyusul, rupanya nggak mau berdiam diri di dalam mobil. Kami akhirnya menemukan Kedung Ijo di ujung kiri (dari arah pintu masuk) pantai Tamban, dan sesuai namanya, airnya memang tampak kehijauan. Berbeda dengan muara pantai Ungapan yang ramai dipakai orang untuk bermain air (entah berenang, bermain kano atau ban), muara pantai Tamban sepi sekali. Orang hanya berfoto di tepian kedung, jadinya ya mikir 3x kami yang mau bermain di situ. Kesannya rada-rada serem  ...ntar kalau ada ular bagaimana?


Kedung Ijo
Kami akhirnya hanya bermain di  sungai kecil  tempat pertemuan air tawar dan air laut.




Pemandangan pantai di area itu cukup menarik dengan adanya batu-batu besar  bertebaran, yang menurut cerita  berasal dari longsoran tebing karang.



Pasir pantai Tamban berwarna coklat dan terbentang panjang serta luas sekali, nyaris tanpa karang kecuali di dekat tebing muara. Cocok untuk bermain bola deh. Karena pasir pantai yang berwarna coklat, ombak yang sampai di tepian pun akan berwarna coklat keruh kotor karena bercampur pasir.

Air yang bergulung ke pantai tampak coklat keruh
Ombak dapat dikatakan relatif tenang, tetapi tetap harus hati-hati karena pantai Tamban dikenal dengan gelombang laut yang susah ditebak. Tampak tenang tetapi tiba-tiba bisa datang gelombang yang cukup besar.
Deo lebih suka bermain di  area muara karena riak ombak yang sampai ke situ kecil dan pelan tanpa suara bergemuruh yang ditakutinya. Bersama Pio, mereka berdua berbasah-basah, bermain pasir, berbaring, telungkup, tidak peduli kotor dan celemot pasir di sana-sini. Ketika diajak ke bagian lain pantai (menjauhi muara), Deo tidak mau lagi mendekati bibir pantai karena debur ombak terdengar jelas.



 



Kotor? Siapa takut?




Disepanjang  pantai banyak dijumpai aneka ragam rumput laut yang terdampar terbawa ombak. Rata-rata berbentuk panjang dan warnanya kecoklatan.

 

Melihat banyaknya perahu yang bersandar membuat saya dan Pio kepingin naik juga.
Ketika kami di loket karcis, ada keterangan bahwa di pantai Tamban ada beberapa spot wisata yang bisa dilihat dengan menggunakan jasa perahu, salah satunya gua di tebing karang. Jadi lebih ngidam lagi untuk naik perahu, apalagi di tengah-tengah bermain pasir kami melihat satu keluarga (ada anak kecilnya juga) pergi menggunakan kapal motor yang cukup besar. Kalau perahu besar begitu rasanya -mungkin- Deo tidak terlalu takut walau terkena gelombang (berharap nih ceritanya).
Di tunggu-tunggu kok lamaa sekali nggak balik-balik ya? Mau naik perahu motor kecil khawatir Deo takut jika nanti  diombang-ambing gelombang di tengah laut. Capek menunggu akhirnya kami memutuskan untuk mandi saja. Waah..Pio menolak untuk mandi, dia ngotot tetap ingin menunggu perahu datang,.. dan baru mau mentas setelah kami mengajaknya naik perahu di Sendang Biru.

Foto setelah mandi :


Setelah membersihkan badan dan membeli cumi-cumi, kami meninggalkan pantai Tamban menuju Sendang Biru untuk naik perahu.

Papa membeli cumi-cumi

Ketika keluar dari kompleks pantai, mobil kami sempat tertahan oleh rombongan tentara yang berbaris. Sedang latihan sepertinya.

Rombongan tentara lewat

Sampai di sendang Biru sekitar pukul tiga sore, laut dalam kondisi surut. Jika bertujuan untuk bermain air, sepertinya pantai sendang Biru bukan tempat yang cocok. Karena berfungsi sebagai tempat bersandar perahu nelayan dan berdekatan dengan TPI, ketika memasuki area pantai samar sudah tercium bau amis ikan. Ketika kami berjalan ke tempat perahu, kaki kami terbenam di  dasar pantai yang ternyata lumpur lengket, berwarna keruh coklat, serta berbau seperti lumpur kolam ikan (kira-kira begitulah).

Perahu yang berjajar bersandar di Sendang Biru

Berhubung hari sudah sore, kami hanya bersantai naik perahu dari ujung ke ujung pulau tanpa bersandar ke pantai pulau Sempu.  Perahu yang kami tumpangi rupanya terdiri dari 2 perahu kecil yang dijadikan satu, dengan biaya Rp. 130.000,-  Tidak ada perbedaan harga apakah 1x jalan seperti kami atau turun di pantai pulau Sempu, main-main di sana, trus dijemput lagi (jam penjemputan berdasarkan perjanjian).
Setelah perahu  berjalan agak jauh dari dermaga Sendang Biru, suasana menjadi fresh lagi. Air laut tampak bening biru kehijauan, tidak tercium bau amis, dan banyak pemandangan yang bisa dinikmati di sepanjang selat.




 Dari dermaga Sendang Biru  kami dibawa ke ujung TPI, berputar menyusuri pulau  Sempu, setelah sampai di ujung pulau Sempu yang satunya perahu akan putar balik lagi ke dermaga. Karena laut dalam kondisi surut, di tepian pantai pulau Sempu dapat dijumpai karang  beraneka ragam bentuk. Banyak juga orang yang bermain pasir, duduk-duduk santai, dan berenang di pantai pulau Sempu. Sepertinya menyenangkan bermain air di situ karena selain air yang jernih, ombak di selat ini memang tenang karena terhalang pulau.

Pantai pulau Sempu tampak dari perahu
Pantai pulau Sempu
  Di salah satu pantainya, kami malah melihat sekawanan monyet bermain dan berlarian kesana kemari.

 Dan inilah pemandangan laut lepas arah depan perahu
 

Di sisi sendang Biru setelah perahu berputar, pemandangannya juga cukup menarik untuk dinikmati. Dinding tebing berwarna kecoklatan tampak kontras dengan hijaunya air laut, dan di beberapa titik terlihat beberapa pemancing duduk manis di atas tebing menunggu umpannya direspon ikan.

Tebing dengan pemancingnya
Selesai menikmati alunan gelombang, niat hati mau ke kamar mandi buat membersihkan kaki yang belepotan lumpur saat turun dari perahu....lhaa yang antri di toilet banyak banget! Celingak-celinguk mencari toilet lain kok ya nggak ketemu. Akhirnya cuci kaki pakai air mineral.....

Oya ada satu hal yang menarik perhatian saya selama berperahu. Saya hitung-hitung hanya tampak 3 jaket pelampung dan 1 pelampung bundar, sangat kurang memadai jika perahu terisi penuh. Belum lagi jaket pelampungnya tampak berjamur hitam-hitam gitu. Untung saja kami berempat sudah punya pelampung sendiri-sendiri, hanya tinggal driver kami yang tidak mau mengenakan pelampung milik perahu.
Semoga di waktu yang akan datang  hal-hal seperti ini dapat ditingkatkan kualitasnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar