Rabu, 15 Juli 2015

Satu Tahun Pertama di Sekolah Dasar

Jumat tanggal 12 Mei kemarin saya ijin terlambat ke rumah sakit karena ingin ke sekolahnya Pio untuk mengambil rapot. Sebisa mungkin pada momen-momen penting sekolah saya menyempatkan diri hadir setelah selama 1 tahun pelajaran yang banyak mondar-mandir ke sekolah adalah papanya. Sekali-sekali mamanya muncul..(dan Pio happy sekali karena papa-mama komplit datang ke sekolah)..

Rasanya baru kemarin Pio menempuh psikotest di TK B sebagai salah satu rangkaian seleksi masuk SD, dan mengumumkan kepada semua orang kalau sebentar lagi dia akan menjadi anak sekolah dasar. Belum hilang dari ingatan bagaimana Pio berteriak-teriak karena digoda papanya supaya di TK terus saja.


** Waktu memang berlalu begitu cepat **

Minggu -minggu pertama Pio di kelas 1 SD, Pio bersemangat sekali bercerita jika ditanya ngapain saja tadi di sekolah? Bagaimana ibu guru mengajar, duduk di mana, siapa teman sebangkunya, de el el.
Saya masih mengingat pilihan Pio saat dibagikan lembar pendaftaran ekstrakurikuler di mana  setiap siswa wajib mengikuti minimal  1 kegiatan ekstrakurikuler. Coba tebak apa yang dipilih Pio sebagai kegiatan ekskul nya? Baca -Tulis ! Sebisa mungkin saya dan suami membujuk Pio untuk mau mengganti pilihan ekskulnya. Bukannya kenapa, saya sudah kasihan melihat materi pelajaran anak kelas 1 SD sekarang, jadi sebisa mungkin waktu setelah pulang sekolah (setelah dipotong untuk mengerjakan PR) digunakan untuk hidup sebagai kanak-kanak (baca : bermain). Saya bilang, Pio boleh pilih ekskul apa saja tapi bukan yang belajar lagi ya...ikut yang senang-senang saja dan Pio pingin... main bola, berenang, nyanyi, menari....dan akhirnya Pio menjatuhkan pilihan ke bina vokalia. Karena pemikiran itu pula, Pio tidak kami ikutkan segala macam les yang berbau pelajaran bahkan pelajaran tambahan (peltam) di sekolah. Kalaupun Pio mau les, biarlah non pelajaran seperti musik, renang, melukis atau apalah yang lain yang Pio suka (tapi kok sepertinya tidak ada yang diminati ya)..

Keputusan untuk tidak menyekolahkan  Pio di sekolah full day dan tidak mengikuti pelajaran tambahan dalam bentuk apapun memberikan satu konsekuensi untuk saya (memang sudah diniatin to?) : Pio full belajar dengan orang tua nya. Berhubung kebanyakan suami keluar rumah di sore hari, mau tidak mau episode belajar Pio banyak dihabiskan dengan saya ketimbang dengan papanya. Disinilah saya dituntut untuk lebih banyak berbenah diri agar bisa menjadi mama yang lebih baik lagi buat Pio dan Deo. Sehari-hari saya berangkat kerja pukul 06.30 pagi bersama dengan Pio sekolah, dan sampai rumah sekitar pukul 16.30, langsung dikawal ketat dengan si kecil yang nempel kemana-mana. Dalam kondisi lelah dan nyambi kesana kemari inilah kesabaran saya benar-benar diuji. Mungkin tidak adil kalau saya membandingkan pelajaran kelas 1 SD sekarang dengan kondisi ketika saya duduk di kelas 1 SD sekitar 28 tahun yang lalu, tetapi saya tetap merasa tingkat kesulitan belajar anak kelas 1 SD sekarang amatlah tinggi dan super ruwet.

Bagaimana mau dibilang bahwa anak TK yang akan masuk ke tingkat pendidikan SD tidak wajib bisa baca tulis? Sedangkan buku pelajaran untuk anak kelas 1 SD yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah sudah memuat tulisan yang panjaaaang sampai membentuk paragraf utuh.....apa ya nututi anak yang belum bisa baca tulis mengikutinya? Sering juga saya harus menterjemahkan kata-kata "ajaib (untuk kls 1 SD lho)" ketika Pio tidak mengerti maksudnya saat membaca buku cetak.  "Mama, masyarakat itu apa?", "Kinetik itu apa"......
Belum lagi membuat alat peraga sederhana di rumah agar Pio mampu mengerti prinsip  cahaya dan bayangannya, dasar-dasar bentuk bangun 3 dimensi (semacam limas, prisma, tabung, kubus, dll). Itu belum soal matematikanya.  Sampai dengan akhir tahun ajaran, Pio sudah harus menguasai penjumlahan - pengurangan  bertingkat yang mencapai angka puluhan (cth 57-29, 18+35), entah itu mau pakai acara meminjam menyimpan bilangan. Lalu bagaimana dengan soal cerita matematika (Ingatkan soal cerita jaman kita sekolah dulu yang penutup jawabannya adalah JADI, bla bla bla.................) : Ayah membeli 34 butir telur, pecah 7, tinggal berapa telur ayah sekarang?
Saya tidak ingat persis di kelas berapa saya mendapatkan semua materi itu, tapi saya yakin 1000% pasti bukan di kelas 1 SD.

Hal yang sering membuat saya hilang kesabaran adalah Pio sering pecah perhatian ketika belajar. Di saat saya menjelaskan, Pio nya malah meleng entah memperhatikan tingkah adiknya, entah ngumek hal lain : mamanya dicuekin ..huaaaaaa nangis bombay dah. Sekali oke, dua kali masih sabar, ketiga mama mulai mengingatkan Pio, ayo perhatikan dulu, keempat : mama mengamuk......
Setelah kehilangan kendali emosi dan membentak Pio, menyesaal banget dan juga merasa bersalah apalagi melihatnya terkejut dan terdiam. Setelah selesai belajar, biasanya saya peluk Pio dan berkata maaf ya Pio tadi mama marah.. Lalu Pio akan balik memeluk saya dengan  (ini yang membuat hati saya meleleh karena menyesal) tangannya menepuk-nepuk bahu / punggung saya sambil berkata : Nggak papa kok ma, aku juga maaf ya, cuman tadi Pio takut waktu mama marah (hicks..hicks maaf ya nak, mama-mu ini akan belajar lebih sabar lagi )...
**Betapa polosnya hati seorang anak, dan betapa cepat mereka memaafkan....**

Sepertinya  saya yang  kurang bersyukur. Kalau dipikir-pikir Pio termasuk anak yang mudah  dan cepat sekali belajarnya. Yang bikin lama justru saya, karena mumet merangkai kalimat sederhana untuk menerangkan kata-kata ajaib tadi, atau butuh waktu lumayan banyak untuk membuat prakarya dari bahan bekas sebagai alat peraganya Pio. Kalau sudah menumpuk banyak remasan kertas yang berarti gagal terbentuk sesuai maksud hati, itu adalah saat di mana kepala saya  mulai berasap. Diperparah saya harus bolak-balik menyelamatkan pensil, penggaris, gunting, atau instrumen lainnya dari sabetan tangan Deo yang siap merampas (fiuhhh)...
Satu hal lagi, Pio juga bukan anak yang susah disuruh nyicil belajar, paling-paling nawar  : buku catatan saja dulu ya ma, buku cetaknya besok (hehehehe)..mengalir begitu saja sehingga yang ada  malam sebelum hari H ujian Pio malah ngajak jalan-jalan. Sering juga terjadi hari Senin ujian, Minggunya ngajak ke pantai (yang berarti : jalan-jalan sehari penuh). Mamanya hayuk aja karena persiapan ujian sudah kelar,  paling-paling di sela main pasir ditanya beberapa materi ujian  (mamanya sampai ikutan hafal ).

Sebisa mungkin saya tetap mempertahankan hobby Pio dalam mencecar orang jika bertanya, termasuk guru-gurunya. Saya berharap Pio tetap menjadi anak yang berani mengemukakan pendapat dan pikirannya, namun tetap dengan cara yang santun.  Baru-baru ini ketika suami bertemu dengan petugas perpustakaan dan tata usaha sekolah, ada banyak cerita tentang Pio. Ternyata setiap hari Senin dan Selasa selama jeda 1 jam sebelum kegiatan ekskul, sembari menunggu Papa datang membawa makan siang, Pio sering bertandang ke perpustakaan  dan ruang tata usaha. Dia masuk tanpa dipanggil lalu menunggui petugas yang ada sambil bertanya tanpa henti. Jika sudah capek meladeni atau kewalahan menjawab biasanya para guru tersebut "mengusir halus" Pio : ayo dilihat dulu Papa sudah datang belum, atau Ayo Pio kembali ke kelas dulu saja main sama temannya ...

Sepanjang tahun ajaran, ada 2x acara luar kelas : ke Eco Green Park dan Kampung Kids. Yang paling saya ingat adalah saat Pio ke Kampung Kids. Ketika saya menjemputnya sore hari sepulang dari Batu, saya melihat semua teman-teman rombongannya membawa tanaman kecil seorang satu, tetapi Pio melenggang santai dengan kedua tangan bebas merdeka. Saya bertanya : Pio, teman-teman Pio bawa pohon semua kok Pio nggak bawa sih? Jawabannya : "Ada kok mama, di dalam tas Pio" --- ternyata Pio memasukkan sebuah tanaman seledri beserta potnya ke dalam ransel sekolah   >_<

Ada satu kejadian  terkait peringatan hari kemerdekaan RI. Tanggal 17 agustus tahun 2014 jatuh pada hari Minggu, dan seperti biasanya saya dan Pio ada upacara bendera di tempat kami masing-masing. Keluar dari rumah  pk.06.10 perhitungan waktu lebih dari cukup untuk menurunkan Pio di sekolah lanjut mengantar saya ke rumah sakit. Yang terjadi adalah 5 menit kemudian saya terjebak kemacetan total di jalan seputaran sekolahnya Pio. Rupanya hari itu Car Free Day tetap ada sehingga jalan Ijen ditutup, tetapi semua sekolah tetap masuk untuk upacara bendera. Hasilnya semua arus lalu lintas tumplek bleg di jalur Wilis. Sampai dengan pukul tujuh kurang lima belas menit, kami tetap belum bisa keluar dari jalan Wilis, maju tidak bisa mundurpun tidak mungkin : macet total, rupanya ngunci di perempatan Pulosari belakang sekolah.  Pasti terlambat nih Pio, kalau saya meski terlambat masih nggak pa-pa...Ditengah jepitan kendaraan depan belakang itu, Papa memutuskan turun dan mencegat sepeda motor untuk minta tolong diantar ke Panderman (sekolahnya Pio). Seorang bapak-bapak setengah baya berhenti dan bersedia mengantar Papa dan Pio sampai ke depan sekolahnya, otomatis saya harus mengambil alih kemudi mobil berdua bersama Deo (untunglah ruang tengah mobil kami full kasur, sehingga Deo bisa duduk tenang di situ). Tidak lama setelah Pio lenyap dari pandangan mata bersama bapak penolongnya, pintu-pintu mobil di deretan depan serta samping saya terbuka dan anak-anak sekolah berhamburan berlari. Demikian pula rupanya dengan mobil di belakang saya karena banyak sekali anak-anak sekolah yang berlari melewati mobil kami.
Satu pembelajaran penting untuk Pio : hari itu dia belajar bahwa suatu saat kita akan membutuhkan bantuan orang lain, jadi Pio juga harus belajar untuk membantu orang lain.

Rapot sudah dibagikan, sekarang Pio sedang menikmati liburan kenaikan kelas yang panjaaaaang (1,5 bulan) karena langsung disambung dengan libur Lebaran..

Semoga Pio tetap menikmati proses pendidikannya, dan kami diberikan kesempatan plus kemampuan untuk mengantar Pio  mencapai cita-citanya : Paris!

Hari pertama masuk sekolah dasar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar